Senin, 21 November 2011

Merawat Ingatan Keindonesiaan

Bangun tidur dengan hidung bumpet, tenggorokan sakit, dan kepala pusing selalu tidak mengenakkan. Itu yang saya alami pagi ini, senin ketiga di bulan November. Akumulasi rasa lelah yang bertemu dengan cuaca yang sedang labil memang merupakan perpaduan yang pas untuk sakit. Semua orang akan mewajarkan ketika flu, pilek, radang tenggorokan, sampai hidung tersumbat datang pada masa transisi musim kemarau menuju penghujan ini. Wajar, tapi selalu saja itu menyebalkan. Sakit tidak pernah datang tepat waktu. Setidaknya itu pengalaman yang saya alami sepanjang 22 tahun lebih beberapa bulan di muka bumi. Pernah saya masuk rumah sakit ketika SMA dan itu terjadi hanya beberapa minggu menjelang Ujian Akhir Nasional! Siapa yang tidak kesal dengan hal itu?

Kurang lebih dengan situasi yang hampir sama, saat ini adalah saat di mana saya sedang mengerjakan skripsi. Ya kira-kira sama dengan saat-saat UAN. Dan senin ini saya mengagendakan mengerjakan bab 1 sampai seminggu ke depan. Judul sudah disetujui dosen, materi dan bahan untuk menulis sudah ada di tangan. Tinggal mengesktraksikan gagasan yang bertebaran dalam benak dan menuangkan dalam kata-kata. Tapi malang tak dapat ditolak. Tuhan memberi saya sakit. Kesal hanya membuat energi saya terbuang percuma.

Senin, 24 Oktober 2011

Pengalaman Pertama


Ada banyak pengalaman pertama yang selalu meninggalkan jejak. Sulit dilupakan, dan mengendapkan kesan mendalam. Persis seperti saat aku mengenalmu. Itu adalah perjumpaan pertama kali. Perjumpaan yang tidak pernah aku bayangkan bakal sampai sejauh ini. Terlalu dalam, terlalu susah dilukiskan dengan kata-kata. Tentu saja aku tak akan pernah menyesali perjumpaan itu.

Aku ingat, kau tiba-tiba saja mengajakku berpetualang ke dalam duniamu. Dunia yang belum benar-benar aku pahami. Dan entah kenapa aku mau saja mengikuti kemauanmu. Semacam gairah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta yang tumbuh pelan-pelan, tanpa syarat, dan pengertian untuk saling memahami.

Rabu, 19 Oktober 2011

Marzuki Alie dan Sumpah Pocong

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan keputusannya atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pejabat KPK. Hasilnya, seluruh unsur pimpinan KPK dinyatakan bebas dari pelanggaran pidana.

Beragam penafsiran segera muncul pasca keputusan Komite Etik ini, tak terkecuali dari anggota DPR. Mayoritas pendapat anggota DPR yang mengemuka rata-rata mempertanyakan hasil keputusan tersebut. Ketua DPR, Marzuki Alie bahkan sampai menyarankan untuk menggunakan sumpah pocong agar mendapatkan kebenaran yang sebenarnya.

Saran ini ia ungkapkan karena menurut Marzuki, “Ini negara yang aneh, orang-orangnya aneh, maka kita gunakan saja cara yang aneh. Sudah tidak saling percaya kan” (kompas.com 6/10/2011). Barangkali Marzuki sedang ingin mengikuti trend terbaru beberapa film nasional yang menggunakan pocong sebagai judulnya.

Kamis, 22 September 2011

Setelah 13 Tahun Reformasi, Apa yang Harus Kita Lakukan?

(Makalah untuk Seminar Kepemimpinan Mahasiswa Baru Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM 2011)

Perjuangan mahasiswa dalam Reformasi 1998 secara dramatis telah membuka kran demokratisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Ini kemudian menumbuhkan harapan mengenai “kehidupan yang lebih baik” setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah otoritarianisme Orde Baru. Sayangnya, tepat di titik inilah ironi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa reformasi 1998 sekaligus menjadi titik balik bagi gerakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa kehilangan orientasi gerakan karena tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyalur aspirasi bagi masyarakat. 13 tahun pasca reformasi, mahasiswa tergagap membaca zaman. Mahasiswa tidak tahu di mana dia berada, apa yang harus dia lakukan, dan ke mana harus melangkah. Ringkasnya, mahasiswa mengalami disorientasi.

Hermawan Sulistiyo dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), mengajukan empat alasan utama mengapa mahasiswa mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, gerakan mahasiswa terkadang justru menjadi lawan masyarakat.

Jumat, 06 Mei 2011

Presiden yang Terlupakan



Judul Buku : Presiden Prawiranegara
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : 370 halaman
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo

Syafrudin Prawiranegara adalah presiden Republik Indonesia yang dilupakan bangsanya sendiri. Kisahnya dipinggirkan, sosoknya tidak diberikan tempat yang layak dalam narasi besar sejarah republik. Ia tidak dianggap sebagai presiden bahkan juga tidak dianggap sebagai seorang pahlawan nasional. Setidaknya sampai peringatan 100 tahun Syafrudin yang jatuh pada tahun ini, usulan pengangkatan namanya sebagai pahlawan nasional berkali-kali ditolak oleh pemerintah. Gambaran rezim yang tuna sejarah.

Padahal sosok Pak Syaf, sapaan akrabnya, adalah salah satu sosok penting dalam menjaga keberlangsungan hidup republik. Ketika itu, tahun 1948, usia RI yang baru menginjak angka 3 tahun masih rentan diserang oleh Belanda. Dan memang terbukti. Belanda melangsungkan agresi militer dan menguasai Ibukota RI waktu itu, Yogyakarta. Beberapa pemimpin seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Syahrir ditangkap. Republik nyaris lumpuh dan kembali berada di bawah penjajahan Belanda.

Senin, 18 April 2011

Kampus dan Kebebasan Berpendapat

Ruang publik adalah arena terbuka yang tidak hanya bersifat fisik-spasial tetapi juga melingkupi ranah sosial-kultural. Ia menjadi ruang bagi tindakan komunikatif beragam kepentingan untuk berdialog. Melalui dialog inilah demokratisasi bisa terjadi karena adanya pertukaran gagasan dengan bebas. Secara ideal, pertukaran gagasan yang bebas kemudian bisa memunculkan keputusan bersama yang tentu saja bermanfaat bagi kepentingan bersama. Jika kita baca dalam konteks pendidikan tinggi, kampus menjadi ruang publik yang merupakan sarana deliberatif bagi mahasiswa dalam membicarakan ide-ide tentang keindonesiaan.

Tentu saja ini karena kampus adalah ruang bersama yang mengakomodasi ekspresi kebebasan berpendapat. Perjumpaan beragam etnis, agama, dan budaya menjadi sarana awal mahasiswa untuk belajar menjadi pemimpin bangsa ini. Mengutip Nugroho Notosusanto, sejak masih menuntut ilmu, mahasiswa Indonesia sudah dituntut sumbangan pengetahuan dan pertimbangannya terhadap kondisi bangsa. Kampus menyediakan ruang-ruang untuk berpendapat, menyampaikan gagasan, termasuk melontarkan kritik dan otokritik. Kebebasan ini menjadi semangat awal untuk menghargai dan menghormati setiap perbedaan pendapat. Dari dalam kampus semangat itu dilatih dan dikembangkan.

Kamis, 31 Maret 2011

Aksi Demonstrasi itu Tidak Ilmiah dan Melanggar Ajaran Agama


Hari ini (30/3) BEM se-UGM menggelar aksi demonstrasi ke sekian kali terkait penolakan kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Dalam dua tahun belakangan, aksi ini adalah aksi yang paling massif dan dilakukan secara berkelanjutan oleh mahasiswa UGM entah yang mengatasnamakan lembaga internal maupun komunitas-komunitas mahasiswa yang merasa resah dengan ada kebijakan KIK ini. Saya tidak ingin menulis tentang mendukung atau menolak KIK, itu sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, dan sudah banyak tulisan terkait hal itu. Yang mau baca tulisan-tulisan tentang KIK bisa dilihat di group Facebook Gertak (Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus UGM). Nah, yang ingin saya bahas adalah, aksi hari ini menjadi menarik karena rektor ( di luar kebiasaan) mau menemui mahasiswa yang melakukan aksi di Gedung Pusat.

Biasanya, pak rektor tidak mau menemui mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Apalagi kalau yang melakukan aksi adalah organisasi yang tidak terdaftar namanya di direktorat kemahasiswaan. Apa yang menarik dari pernyataan-pernyataan rektor tadi ketika menemui mahasiswa? Ada beberapa hal yang saya catat dan ini diungkapkan oleh rektor tadi.

Sabtu, 26 Maret 2011

Dominasi dan Resistensi di Bangku Sekolah



Judul Buku : Politik Ruang Publik Sekolah
Penulis : Hairus Salim, Najib Kailani, Nikmal Azekiyah
Penerbit : Center for Religious Cross-cultural Studies, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : 95 halaman
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo

Ruang publik adalah arena terbuka yang tidak hanya bersifat fisik-spasial tetapi juga melingkupi ranah sosial-kultural. Ia menjadi ruang bagi tindakan komunikatif beragam kepentingan untuk berdialog. Melalui dialog inilah demokratisasi bisa terjadi karena adanya pertukaran gagasan dengan bebas. Secara ideal, pertukaran gagasan yang bebas memunculkan keputusan bersama yang tentu saja bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Jika kita baca dalam konteks keindonesiaan, ruang publik menjadi sarana deliberatif dalam membicarakan ide-ide tentang Indonesia. Dalam ruang yang diskursif ini, setiap warga negara tanpa memperhatikan latar belakangnya bisa menyampaikan pendapat dalam posisi yang sama dan setara. Ide-ide keindonesiaan pun menjadi tak mudah kering karena terus menerus dibaca ulang. Bukankah ini menjadi penting ketika proses pelapukan identitas keindonesiaan terjadi dengan cepat?

Senin, 21 Maret 2011

Pelatihan bagi Pejuang Rakyat

Berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang masih muda (secara akademik) memang selalu menyenangkan. Ada semangat yang masih menyala-nyala, ada emosi yang membuncah ketika menyampaikan argumentasi. Diskusi dengan mereka kadang juga menuntaskan rasa rindu mendiskusikan kondisi bangsa yang karut-marut seperti saat ini. Harus diakui, diskusi ini susah ditemui dengan kawan satu angkatan yang sudah memiliki orientasi berbeda, lulus, lanjut kuliah S2, maupun langsung cari kerja. Karena itulah saya selalu antusias ketika ada kawan-kawan yang mau mengajak mendiskusikan arah bangsa ini ke depan. Tak terkecuali ketika hari Minggu (20/3) kemarin, Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum mengundang saya untuk menjadi pemantik diskusi dengan anggota Dema yang baru.

Dema menamai kegiatan ini dengan nama yang bagi saya cukup gagah dan menggelegar, Latihan Dasar Pejuang Rakyat (LDPR). Membaca dari namanya saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Pejuang rakyat. Ada beban sejarah yang tidak main-main dalam kata rakyat ini. Dan ketika mahasiswa sudah berani mendeklarasikan dirinya sebagai pejuang rakyat, itu artinya dia siap menanggung beban maha berat yang menuntut keberanian berpihak dan konsistensi sikap. Setidaknya, apa yang dilakukan oleh Dema ini menjadi semacam harapan di tengah gempuran zaman yang menumpulkan nalar berpikir kritis mahasiswa. Kondisi yang selanjutnya memisahkan mahasiswa dari masyarakatnya. Setidaknya, membuat mahasiswa melupakan tanggung jawab sosialnya.

Kamis, 10 Maret 2011

Mengapa Saya Menolak KIK?


Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan datang dan mengajak membicarakan isu-isu seputar kampus. Tanpa basa-basi dia bertanya, “Kenapa kamu menolak KIK, Nu? Apa alasanmu? Bukankah KIK itu baik karena dia menjadi instrumen untuk mendukung terwujudnya kampus educopolis?” Dalam kesempatan yang lain, seorang kawan menanyakan pertanyaan yang hampir mirip. “Kalau banyak mahasiswa yang membuat KIK, itu menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak bermasalah dong. Penolakanmu tentu sebuah kesian-siaan. Bahkan cenderung konyol”. Sementara itu kawan yang lain bilang, “Kampus jelas berhak menarik dana dari masyarakat yang melintas area kampus. Sekarang coba pikir, subsidi negara untuk pendidikan semakin sedikit, sementara kampus dituntut untuk menghidupi diri. Jadi, menarik dana dari masyarakat termasuk menarik ongkos parkir menjadi wajar. Jangan naif, Nu!”

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan banyak kawan kepada saya. Tapi tentu tak akan akan saya tuliskan semua di sini. Terlalu banyak. Dan jujur saja saya kewalahan untuk menjawabnya satu per satu. Selain karena terkadang pertanyaan yang diajukan tidak sesuai kapasitas saya (misal : “Emang kamu pernah ngukur tingkat polusi udara di UGM?!!”), jujur saja saya sudah lelah menjawab pertanyaan yang sama dan berulang kali ditanyakan. Jadi dalam konteks ini, kira-kira tulisan ini secara singkat berupaya untuk menjawab (dengan singkat) banyaknya pertanyaan tadi. Saya tak akan menggunakan referensi-referensi layaknya sebuah karya tulis ilmiah, karena ini bukan karya tulis ilmiah. Tulisan ini cuma sebuah uneg-uneg yang berharap untuk mendapat tanggapan. Namanya uneg-uneg, tentu jangan diletakkan dalam logika benar-salah. Oke?

Rabu, 16 Februari 2011

Pilihan adalah Kutukan

Saat ini adalah akumulasi pilihan demi pilihan yang pernah kita ambil di masa lalu. Pantas saja Sartre pernah berkata bahwa manusia memang dikutuk untuk membuat pilihan demi pilihan. Tapi, mengapa pilihan dianggap sebagai kutukan? Mengapa bukan anugerah? Entah lah. Tapi memang aku mengamini kutukan itu. Kutukan yang membuat kita, mau tidak mau, suka tidak suka, harus mengambil pilihan, setiap hari, setiap saat. Begitu juga hari ini. Ini adalah keputusan yang tidak bisa diubah, aku telah sampai pada point of no return. Tidak ada jalan kembali. Demi alasan apapun.