Rabu, 19 Oktober 2011

Marzuki Alie dan Sumpah Pocong

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan keputusannya atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pejabat KPK. Hasilnya, seluruh unsur pimpinan KPK dinyatakan bebas dari pelanggaran pidana.

Beragam penafsiran segera muncul pasca keputusan Komite Etik ini, tak terkecuali dari anggota DPR. Mayoritas pendapat anggota DPR yang mengemuka rata-rata mempertanyakan hasil keputusan tersebut. Ketua DPR, Marzuki Alie bahkan sampai menyarankan untuk menggunakan sumpah pocong agar mendapatkan kebenaran yang sebenarnya.

Saran ini ia ungkapkan karena menurut Marzuki, “Ini negara yang aneh, orang-orangnya aneh, maka kita gunakan saja cara yang aneh. Sudah tidak saling percaya kan” (kompas.com 6/10/2011). Barangkali Marzuki sedang ingin mengikuti trend terbaru beberapa film nasional yang menggunakan pocong sebagai judulnya.

Ungkapan Marzuki ini mungkin tidak menjadi soal jika hanya menjadi perbincangan warung kopi. Persoalannya, ia adalah seorang Ketua DPR yang dipilih untuk mewakili rakyat. Ia seorang pemimpin. Mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara aneh dengan orang-orang aneh adalah sebuah ucapan yang saya kira mengandung sesat pikir yang luar biasa. Pertama itu melapukkan imajinasi bersama bangsa Indonesia. Kedua, pernyataan ini menunjukkan rasa frustasi seorang pemimpin.

Pelapukan Imajinasi

Saya percaya bahwa Indonesia dibangun di atas imajinasi kolektif yang diikat dengan perasaan senasib sepenanggungan. Bulan Oktober ini menjadi saksi imajinasi bersama itu. 83 tahun yang lalu, anak-anak muda dari berbagai penjuru negeri sepakat untuk mendeklarasikan sumpah pemuda, bertumpah darah, berbangsa dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Indonesia. Sebuah tonggak penih arti dalam proyek besar mencipta Indonesia.

Imajinasi kolektif ini kemudian diikuti dengan kerja keras hari demi hari yang dilakukan oleh seluruh rakyatnya. Kerja keras yang kadang harus ditebus dengan darah dan nyawa. Bung Karno bahkan pernah mengatakan bahwa bangsa ini adalah “bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.

Saya kira kondisi saat ini pun demikian, kita saksikan betapa petani, buruh, guru, nelayan, pedagang, polisi dan lainnya bekerja dengan giat. Pagi-pagi berangkat kerja, baru pulang ke rumah sore hari, bahkan terkadang sampai larut malam. Mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil pun terkadang harus jalan kaki sejak dinihari untuk mencapai tempat kerjanya. Kerja keras yang dengan ikhlas dijalani “sekadar” untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Anak-anak muda di republik ini pun menunjukkan kerja keras yang sama. Berbagai prestasi terus menerus ditorehkan pelajar Indonesia baik di dalam negeri maupun luar negeri. Sementara itu, mahasiswa-mahasiswa Indonesia dengan tekun belajar untuk menyiapkan diri menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Masih ada harapan bahwa negeri ini akan jauh lebih maju ketika nanti anak-anak muda ini yang memimpin.

Dengan modal sosial yang sedemikian besar, peran pemimpin di negeri ini seharusnya menjadi “relatif mudah”. Dalam bahasa Anies Baswedan, pemimpin di negeri ini tinggal menjadi dirigen yang mampu menghadirkan energi, nuansa, dan aurora di republik ini. Selanjutnya, biarkan rakyat yang bekerja. Toh rakyat tidak pernah berpikir muluk-muluk. Yang diharapkan hanyalah masa depan yang cerah dengan hidup makmur dan sejahtera.

Nah, ketika rakyat sudah bekerja keras dengan segenap usahanya, bukankah ungkapan “Ini negara aneh, orang-orangnya aneh” yang keluar dari mulut Ketua DPR justru pelan-pelan membunuh semangat bersama itu?

Seorang pemimpin, seperti diungkapkan Napoleon Bonaparte, adalah a dealer in hope. Ini bermakna bahwa seorang pemimpin mestinya menjadi pelayan yang selalu memberikan harapan kepada rakyatnya. Seberapun sulitnya krisis multidimensi yang dihadapi, seberat apapun tantangan yang ada di depan, pemimpin harus selalu menyuntikkan energi-energi positif kepada rakyatnya.

Dalam konteks pemberantasan korupsi misalnya, kita bisa melihat sosok pemimpin yang inspiratif di India beberapa saat lalu. Kita menyaksikan betapa seorang Anne Hazare telah dengan gigih dan teguh menjadi salah satu pejuang anti korupsi di negerinya. Di tengah karut marut korupsi yang semakin menggurita dengan melibatkan aparat negara dari atas sampai bawah. Hazare tidak putus asa. Dia tidak menyalahkan keadaan negaranya.

Perlawanannya sederhana. Model perlawanan yang terinspirasi oleh Mahatma Gandhi. Tidak banyak wacana, apalagi pidato. Ia melakukan aksi mogok makan selama berhari-hari. Perlawanan tanpa kekerasan ini kemudian menggerakan ribuan rakyat India untuk turun ke jalan. Mereka bergabung mendukung Hazare dalam perlawanannya terhadap korupsi.

Dari satu contoh ini kita bisa melihat bagaimana peran seorang pemimpin yang transformatif. Mampu menggelorakan harapan, menyuntikkan motivasi, serta mampu menerjemahkannya dalam tindakan konkret yang berorientasi kerakyatan.

Dengan demikian, mengungkapkan rasa frustasi di depan publik adalah sebuah kesalahan besar. Rakyat tidak butuh keluh kesah pemimpinnya. Marzuki harusnya paham hal ini.

Tidak ada komentar: