Senin, 29 Juli 2013

Karena sesuatu dan lain hal, blog ini mesti ditinggalkan, saya bermigrasi ke alamat baru..

Sabtu, 28 Januari 2012

E-Book dan Potensi Bisnis Online

Dalam bukunya yang berjudul Materialisme Dialektika Logika (Madilog), Tan Malaka sempat mengutarakan kecemburuannya terhadap Bung Hatta. Kecemburuan ini berasal dari kebebasan yang diberikan Belanda kepada Bung Hatta selama pembuangannya di Digul. Bung Hatta diberikan kebebasan untuk membawa 16 peti yang berisi ratusan buku. Maka hari-hari selama pembuangan adalah hari-hari yang penuh dengan aktivitas membaca buku. Sementara itu, Tan Malaka tidak mendapatkan kesempatan itu.

Menjadi buronan tentara kolonial, Tan tidak memiliki kesempatan untuk membawa banyak buku karena ia harus sering berpindah-pindah tempat. Ia harus lari dari satu negara ke negara lain dengan menyamar. Dan tentu itu tidak memungkinkannya membawa buku. Padahal ia adalah seorang kutu buku. Tan bahkan sering merasa kesepian jika tidak membaca buku. Kesempatan membaca buku inilah salah satu yang membedakan dua founding fathers Indonesia tersebut.

Senin, 21 November 2011

Merawat Ingatan Keindonesiaan

Bangun tidur dengan hidung bumpet, tenggorokan sakit, dan kepala pusing selalu tidak mengenakkan. Itu yang saya alami pagi ini, senin ketiga di bulan November. Akumulasi rasa lelah yang bertemu dengan cuaca yang sedang labil memang merupakan perpaduan yang pas untuk sakit. Semua orang akan mewajarkan ketika flu, pilek, radang tenggorokan, sampai hidung tersumbat datang pada masa transisi musim kemarau menuju penghujan ini. Wajar, tapi selalu saja itu menyebalkan. Sakit tidak pernah datang tepat waktu. Setidaknya itu pengalaman yang saya alami sepanjang 22 tahun lebih beberapa bulan di muka bumi. Pernah saya masuk rumah sakit ketika SMA dan itu terjadi hanya beberapa minggu menjelang Ujian Akhir Nasional! Siapa yang tidak kesal dengan hal itu?

Kurang lebih dengan situasi yang hampir sama, saat ini adalah saat di mana saya sedang mengerjakan skripsi. Ya kira-kira sama dengan saat-saat UAN. Dan senin ini saya mengagendakan mengerjakan bab 1 sampai seminggu ke depan. Judul sudah disetujui dosen, materi dan bahan untuk menulis sudah ada di tangan. Tinggal mengesktraksikan gagasan yang bertebaran dalam benak dan menuangkan dalam kata-kata. Tapi malang tak dapat ditolak. Tuhan memberi saya sakit. Kesal hanya membuat energi saya terbuang percuma.

Senin, 24 Oktober 2011

Pengalaman Pertama


Ada banyak pengalaman pertama yang selalu meninggalkan jejak. Sulit dilupakan, dan mengendapkan kesan mendalam. Persis seperti saat aku mengenalmu. Itu adalah perjumpaan pertama kali. Perjumpaan yang tidak pernah aku bayangkan bakal sampai sejauh ini. Terlalu dalam, terlalu susah dilukiskan dengan kata-kata. Tentu saja aku tak akan pernah menyesali perjumpaan itu.

Aku ingat, kau tiba-tiba saja mengajakku berpetualang ke dalam duniamu. Dunia yang belum benar-benar aku pahami. Dan entah kenapa aku mau saja mengikuti kemauanmu. Semacam gairah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta yang tumbuh pelan-pelan, tanpa syarat, dan pengertian untuk saling memahami.

Rabu, 19 Oktober 2011

Marzuki Alie dan Sumpah Pocong

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyampaikan keputusannya atas dugaan pelanggaran kode etik pimpinan dan pejabat KPK. Hasilnya, seluruh unsur pimpinan KPK dinyatakan bebas dari pelanggaran pidana.

Beragam penafsiran segera muncul pasca keputusan Komite Etik ini, tak terkecuali dari anggota DPR. Mayoritas pendapat anggota DPR yang mengemuka rata-rata mempertanyakan hasil keputusan tersebut. Ketua DPR, Marzuki Alie bahkan sampai menyarankan untuk menggunakan sumpah pocong agar mendapatkan kebenaran yang sebenarnya.

Saran ini ia ungkapkan karena menurut Marzuki, “Ini negara yang aneh, orang-orangnya aneh, maka kita gunakan saja cara yang aneh. Sudah tidak saling percaya kan” (kompas.com 6/10/2011). Barangkali Marzuki sedang ingin mengikuti trend terbaru beberapa film nasional yang menggunakan pocong sebagai judulnya.

Kamis, 22 September 2011

Setelah 13 Tahun Reformasi, Apa yang Harus Kita Lakukan?

(Makalah untuk Seminar Kepemimpinan Mahasiswa Baru Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM 2011)

Perjuangan mahasiswa dalam Reformasi 1998 secara dramatis telah membuka kran demokratisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Ini kemudian menumbuhkan harapan mengenai “kehidupan yang lebih baik” setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah otoritarianisme Orde Baru. Sayangnya, tepat di titik inilah ironi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa reformasi 1998 sekaligus menjadi titik balik bagi gerakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa kehilangan orientasi gerakan karena tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyalur aspirasi bagi masyarakat. 13 tahun pasca reformasi, mahasiswa tergagap membaca zaman. Mahasiswa tidak tahu di mana dia berada, apa yang harus dia lakukan, dan ke mana harus melangkah. Ringkasnya, mahasiswa mengalami disorientasi.

Hermawan Sulistiyo dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), mengajukan empat alasan utama mengapa mahasiswa mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, gerakan mahasiswa terkadang justru menjadi lawan masyarakat.

Jumat, 06 Mei 2011

Presiden yang Terlupakan



Judul Buku : Presiden Prawiranegara
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : 370 halaman
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo

Syafrudin Prawiranegara adalah presiden Republik Indonesia yang dilupakan bangsanya sendiri. Kisahnya dipinggirkan, sosoknya tidak diberikan tempat yang layak dalam narasi besar sejarah republik. Ia tidak dianggap sebagai presiden bahkan juga tidak dianggap sebagai seorang pahlawan nasional. Setidaknya sampai peringatan 100 tahun Syafrudin yang jatuh pada tahun ini, usulan pengangkatan namanya sebagai pahlawan nasional berkali-kali ditolak oleh pemerintah. Gambaran rezim yang tuna sejarah.

Padahal sosok Pak Syaf, sapaan akrabnya, adalah salah satu sosok penting dalam menjaga keberlangsungan hidup republik. Ketika itu, tahun 1948, usia RI yang baru menginjak angka 3 tahun masih rentan diserang oleh Belanda. Dan memang terbukti. Belanda melangsungkan agresi militer dan menguasai Ibukota RI waktu itu, Yogyakarta. Beberapa pemimpin seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Syahrir ditangkap. Republik nyaris lumpuh dan kembali berada di bawah penjajahan Belanda.