Jumat, 18 Desember 2009

Wajah Buram Universitas Riset

UGM merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan
(Mubyarto)

Sejak berdiri pada 19 Desember 1949, UGM telah memposisikan dirinya sebagai kekuatan kritis terhadap negara. Dalam konteks ini, UGM dengan jelas menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat kecil yang tertindas. Maka tak heran jika sejak berdiri, kampus ini dikenal sebagai kampus kerakyatan. Simbolisasi kampus kerakyatan tersebut, dipertegas oleh Teuku Jacob dengan istilah “Universitas Kiri”. Universitas yang menentang bentuk-bentuk penindasan negara terhadap rakyat.
Dengan berdiri sebagai kekuatan kritis terhadap negara, UGM kerap kali menjadi kampus yang menjadi ajang demonstrasi dan protes. Tidak hanya protes secara fisik, kampus ini pun sering mengajukan protes keras dengan pemikiran-pemikiran radikal yang muncul. Sebagai contoh, konsep ekonomi kerakyatan yang digagas oleh Mubyarto. Gagasan ekonomi kerakyatan ini pada dasarnya merupakan bentuk protes UGM terhadap sistem ekonomi kapitalis model rezim Orde Baru (Orba) yang hanya berpihak kepada segelintir orang.
Pasca jatuhya Orba, terbersit harapan bahwa penindasan negara terhadap masyarakat akan memudar. Namun, kondisi tersebut pun nampaknya hanya merupakan harapan kosong. Dalam waktu yang relatif singkat, kekuatan negara berhasil mengkonsolidasikan ulang dirinya untuk kembali menjadi kekuatan besar yang tidak dapat ditandingi oleh masyarakat. Kuskridho Ambardi (2009) menggambarkan bahwa kekuatan negara yang muncul pasca reformasi tak ubahnya kartel-kartel dalam dunia perdagangan yang menguasai pasar. Partai-partai politik sebagai pemilik modal dalam pemerintahan, saling bekerja sama untuk menguasai pasar (baca : negara). Persaingan antar parpol hanya terjadi ketika pemilu saja. Namun setelah pemilu usai, masing-masing parpol akan saling mendekat dan berkoalisi untuk duduk di pemerintahan. Dan pada akhirnya, masyarakat lah yang kembali dirugikan.
Buku UGM Menuju Universitas Penelitian (Anwari, ed:2006) menjelaskan bagaimana posisi antara UGM, negara dan masyarakat seperti sudah digambarkan di atas. Selain menjadi kekuatan kritis terhadap negara, posisi keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat menjadi catatan berharga bagi untuk menghadapi masa depan. Apalagi dalam kondisi globalisasi yang kini melanda dunia.
Globalisasi mendatangkan keuntungan dan malapetaka dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, malapetaka yang ditimbulkan jauh lebih besar. Globalisasi bahkan menimbulkan ketercerabutan masyarakat karena hancurnya sistem sosial yang hanya diarahkan semata-mata pada pola pikir pasar. Sebagai contoh, semakin mahalnya biaya pendidikan sebagai dampak dari adanya liberalisasi pendidikan. Alih-alih memperdalam ilmu pengetahuan, masyarakat justru disibukkan dengan susahnya mengakses ilmu pengetahuan. Dalam kondisi demikian, daya saing bangsa dalam persaingan global pun dilemahkan pelan-pelan. Dimulai dari pelemahan ilmu pengetahuan sampai bentuk-bentuk penjajahan baru yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai buruh.
Konsekuensi Logis
Dari uraian di atas, ada satu pesan yang dapat diambil, perguruang tinggi seharusnya menjadi benteng ilmu pengetahuan di Indonesia. Ia harus bisa memperkuat ketahanan nasional sebagai sebuah negara, Artinya, tak ada hal mendasar yang dapat dilakukan oleh UGM selain menguatkan dirinya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, pengabdian, serta mendidik lahirnya figur-figur kepemimpinan. Dengan kata lain, posisi menjadi universitas riset adalah sebuah conditio sine quanon, konsekuensi logis yang mesti diambil.
Hal ini dikarenakan – meminjam istilah Jean Francois Lyotard – tidak ada satu pun “toko” yang “menjual” segala macam metodologi riset yang akan menyelesaikan segala permasalahan sosial. Ini menjelaskan kenapa mereka yang menjadi peneliti – termasuk universitas – seharusnya merancang sendiri metodologi yang digunakan. Selain karena tidak akan memadai jika hanya mengacu pada teks-teks lama, dinamika persoalan terus berkembang dan menuntut munculnya inovasi-inovasi baru dari para peneliti aktif. Ini membuat cita-cita UGM untuk menjadi universitas riset seperti tercantum dalam Rencana Strategis 2008-2012 menemui relevansinya. Karena dengan menjadi universitas dengan basis utama pada riset-riset akademik, UGM akan mampu menjawab berbagai keresahan yang melanda bangsa ini. Termasuk dalam menghadapi persaingan dengan negara lain.
Namun sayang, apa yang terjadi ibarat jauh panggang dari pada api. Cita-cita menjadi universitas riset menemui banyak rintangan. Niat mulia menjadi universitas riset berkelas dunia agar bisa “mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan” seolah dikhianati sendiri. Dimulai dari kebijakan-kebijakan rektorat yang sepihak. Biaya pendidikan tiap tahun naik dan semakin mahal (balkon edisi khusus 2008), pembangunan Gama Book Plaza yang sampai sekarang masih bermasalah, pembangunan hotel, penggusuran PKL ke Food Court, kenaikan biaya sewa asrama, serta terakhir kebijakan pemasangan portal gate yang memunculkan isu adanya penarikan biaya parkir. Sungguh sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan implementasi dari komersialisasi kampus. Sebuah hal yang justru kontraproduktif karena pada awalnya, harapan untuk membiayai diri sendiri seharusnya disandarkan dari hasil-hasil riset, bukan menarik biaya secara langsung dari fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi mahasiswa.
Tidak hanya itu, berbagai penelitian yang dilakukan pun menimbulkan masalah lain. Tercatat, tak hanya sekali UGM tersandung polemik yang menyangkut penelitian-penelitian yang dilakukan fakultas-fakultasnya. Di tahun 2008 lalu, ada dua penelitian yang memicu kontroversi publik. Pertama, “penelitian pesanan” yang melibatkan Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) dengan PT Asian Agri. Kala itu, JIK mengerjakan penelitian mengenai pemberitaan di Majalah Tempo dan Koran Tempo tentang isu penggelapan pajak senilai 1,3 trilyun. Kontroversi ini bergulir bak bola liar karena sampai muncul wacana JIK hanya membela koruptor tanpa melihat kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008).
Seolah masih belum cukup memicu kontroversi, penelitian UGM kembali bermasalah. Kali ini mengenai penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan (FKT) bekerja sama dengan PT Jogja Magasa Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo. Penelitian ini sendiri memicu konflik dengan petani Kulon Progo yang merasa dirugikan. Ribuan petani bahkan melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha Pramana (21/6 2008). Dua kasus penelitian ini setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana UGM kerap “berselingkuh” dengan korporat-korporat yang menjadi donor bagi penelitiannya.
Sementara itu, dalam konteks ekonomi politik, penelitian-penelitian seperti di atas pun dapat dimaknai sebagai ajang perebutan sumber daya bagi para dosen UGM. Dari segi ekonomi, dosen yang memiliki akses banyak ke penelitian tentu mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih. Seperti diutarakan Heru Nugroho, mereka yang terlibat dalam berbagai proyek penelitian bahkan akan menjadi “Godfather”. Dengan posisi yang memiliki kuasa besar itu, seorang dosen bisa melakukan permainan untuk melibatkan dosen-dosen lain dalam penelitiannya. Sebagai konsekuensi logis, hubungan itu dapat digunakan secara politis untuk mencari dukungan dalam beberapa hal, semisal pemilihan rektor, dekan, atau beberapa posisi strategis dalam birokrasi kampus.
Berbagai masalah di atas merupakan kontradiksi-kontradiksi yang teramat ironis bagi cita-cita universitas riset. Potret ini seolah menjadi wajah buram kampus kerakyatan ini. Alih-alih menjadi benteng bagi ilmu pengetahuan di Indonesia, UGM justru dimanfaatkan segelintir orang di kampus demi tujuan politis dan pragmatis. Riset-riset akademik – termasuk yang melibatkan dosen dan mahasiswa – yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, hanya menjadi proyek bersama yang orientasinya uang. Buat saya, UGM kini tak lebih hanya menjadi arena perebutan kekuasaan.
Meskipun demikian, saya tak ingin kelewat terlalu pesimis. Bagaimanapun juga, cita-cita menjadi universitas riset masih layak kita dukung. Cuma memang, harus ada pembacaan kembali untuk mendefinisikan apa ma

Senin, 14 Desember 2009

Menolak Pelarangan Film Balibo

Rilis Pers : Untuk SEGERA diberitakan
CP : Wisnu (08170584344)

Menolak Pelarangan Film Balibo

Masyarakat Indonesia kembali dibuat terkejut oleh pelarangan pemutaran film Balibo dalam acara Jakarta International Film Festival. Sebagai pihak yang berwenang menyensor film, Lembaga Sensor Film (LSF) memutuskan melarang film tersebut karena adegan-adegan terbunuhnya lima jurnalis dianggap terlalu sadis. LSF pun menilai skenario film ini dibuat tidak berdasarkan fakta sejarah sehingga akurasinya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik, juga mengatakan bahwa film ini terlalu menyudutkan Indonesia. Jero Wacik bahkan dengan tegas mengatakan kepada aparat untuk menangkap mereka yang nekat memutar film ini.
Bagi kami, bentuk pelarangan serta ancaman dari pemerintah tersebut merupakan bentuk arogansi penguasa. Tidak hanya menjadi ancaman bagi insan perfilman, ini juga bisa menjadi ancaman bagi kebebasan di alam demokrasi. Jika memang pemerintah merasa film ini terlalu menyudutkan Indonesia dan tidak sesuai fakta sejarah, seharusnya pemerintah bisa membuat film tandingan yang sesuai versinya. Alasan bahwa film ini akan menguak luka lama antara Indonesia-Australia-Timor Leste pun tidak bisa diterima.
Masyarakat Indonesia sudah semakin dewasa dan tentu tidak bisa dibodohi begitu saja dengan sebuah film. Artinya, melarang film ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru. Apalagi, meski pun dilabeli based on true story, film ini tidak diniatkan sebagai sebuah film dokumenter. Hal ini terlihat dari adanya dramatisasi dan tokoh fiksi dalam film. Justru dengan adanya film ini, kita dapat memahami beragam perspektif yang muncul dalam sebuah peristiwa, khususnya mengenai peristiwa Balibo 1975.
Karena itulah, kami akan mengadakan diskusi serta pemutaran film Balibo hari selasa 15 Desember 2009 pukul 18.00 – selesai di sekretariat kami, Jalan Kembang Merak, Bulaksumur B-21. Diskusi serta pemutaran film ini menjadi bentuk penolakan kami terhadap pelarangan yang dilakukan LSF. Jika pelarangan ini dibiarkan saja, akan menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Sebab, terlepas dari benar dan salahnya Film Balibo ini, dia merupakan salah satu bentuk kebebasan berpendapat. Artinya, melarang film sama saja dengan membungkam semangat kebebasan berpendapat!
Hidup Mahasiswa!

Pemimpin Umum BPPM Balairung UGM


Iryan Ali Herdiansyah