Kamis, 31 Maret 2011

Aksi Demonstrasi itu Tidak Ilmiah dan Melanggar Ajaran Agama


Hari ini (30/3) BEM se-UGM menggelar aksi demonstrasi ke sekian kali terkait penolakan kebijakan Kartu Identitas Kendaraan (KIK). Dalam dua tahun belakangan, aksi ini adalah aksi yang paling massif dan dilakukan secara berkelanjutan oleh mahasiswa UGM entah yang mengatasnamakan lembaga internal maupun komunitas-komunitas mahasiswa yang merasa resah dengan ada kebijakan KIK ini. Saya tidak ingin menulis tentang mendukung atau menolak KIK, itu sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, dan sudah banyak tulisan terkait hal itu. Yang mau baca tulisan-tulisan tentang KIK bisa dilihat di group Facebook Gertak (Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus UGM). Nah, yang ingin saya bahas adalah, aksi hari ini menjadi menarik karena rektor ( di luar kebiasaan) mau menemui mahasiswa yang melakukan aksi di Gedung Pusat.

Biasanya, pak rektor tidak mau menemui mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi. Apalagi kalau yang melakukan aksi adalah organisasi yang tidak terdaftar namanya di direktorat kemahasiswaan. Apa yang menarik dari pernyataan-pernyataan rektor tadi ketika menemui mahasiswa? Ada beberapa hal yang saya catat dan ini diungkapkan oleh rektor tadi.

Sabtu, 26 Maret 2011

Dominasi dan Resistensi di Bangku Sekolah



Judul Buku : Politik Ruang Publik Sekolah
Penulis : Hairus Salim, Najib Kailani, Nikmal Azekiyah
Penerbit : Center for Religious Cross-cultural Studies, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : 95 halaman
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo

Ruang publik adalah arena terbuka yang tidak hanya bersifat fisik-spasial tetapi juga melingkupi ranah sosial-kultural. Ia menjadi ruang bagi tindakan komunikatif beragam kepentingan untuk berdialog. Melalui dialog inilah demokratisasi bisa terjadi karena adanya pertukaran gagasan dengan bebas. Secara ideal, pertukaran gagasan yang bebas memunculkan keputusan bersama yang tentu saja bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Jika kita baca dalam konteks keindonesiaan, ruang publik menjadi sarana deliberatif dalam membicarakan ide-ide tentang Indonesia. Dalam ruang yang diskursif ini, setiap warga negara tanpa memperhatikan latar belakangnya bisa menyampaikan pendapat dalam posisi yang sama dan setara. Ide-ide keindonesiaan pun menjadi tak mudah kering karena terus menerus dibaca ulang. Bukankah ini menjadi penting ketika proses pelapukan identitas keindonesiaan terjadi dengan cepat?

Senin, 21 Maret 2011

Pelatihan bagi Pejuang Rakyat

Berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang masih muda (secara akademik) memang selalu menyenangkan. Ada semangat yang masih menyala-nyala, ada emosi yang membuncah ketika menyampaikan argumentasi. Diskusi dengan mereka kadang juga menuntaskan rasa rindu mendiskusikan kondisi bangsa yang karut-marut seperti saat ini. Harus diakui, diskusi ini susah ditemui dengan kawan satu angkatan yang sudah memiliki orientasi berbeda, lulus, lanjut kuliah S2, maupun langsung cari kerja. Karena itulah saya selalu antusias ketika ada kawan-kawan yang mau mengajak mendiskusikan arah bangsa ini ke depan. Tak terkecuali ketika hari Minggu (20/3) kemarin, Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum mengundang saya untuk menjadi pemantik diskusi dengan anggota Dema yang baru.

Dema menamai kegiatan ini dengan nama yang bagi saya cukup gagah dan menggelegar, Latihan Dasar Pejuang Rakyat (LDPR). Membaca dari namanya saja sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Pejuang rakyat. Ada beban sejarah yang tidak main-main dalam kata rakyat ini. Dan ketika mahasiswa sudah berani mendeklarasikan dirinya sebagai pejuang rakyat, itu artinya dia siap menanggung beban maha berat yang menuntut keberanian berpihak dan konsistensi sikap. Setidaknya, apa yang dilakukan oleh Dema ini menjadi semacam harapan di tengah gempuran zaman yang menumpulkan nalar berpikir kritis mahasiswa. Kondisi yang selanjutnya memisahkan mahasiswa dari masyarakatnya. Setidaknya, membuat mahasiswa melupakan tanggung jawab sosialnya.

Kamis, 10 Maret 2011

Mengapa Saya Menolak KIK?


Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan datang dan mengajak membicarakan isu-isu seputar kampus. Tanpa basa-basi dia bertanya, “Kenapa kamu menolak KIK, Nu? Apa alasanmu? Bukankah KIK itu baik karena dia menjadi instrumen untuk mendukung terwujudnya kampus educopolis?” Dalam kesempatan yang lain, seorang kawan menanyakan pertanyaan yang hampir mirip. “Kalau banyak mahasiswa yang membuat KIK, itu menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak bermasalah dong. Penolakanmu tentu sebuah kesian-siaan. Bahkan cenderung konyol”. Sementara itu kawan yang lain bilang, “Kampus jelas berhak menarik dana dari masyarakat yang melintas area kampus. Sekarang coba pikir, subsidi negara untuk pendidikan semakin sedikit, sementara kampus dituntut untuk menghidupi diri. Jadi, menarik dana dari masyarakat termasuk menarik ongkos parkir menjadi wajar. Jangan naif, Nu!”

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan banyak kawan kepada saya. Tapi tentu tak akan akan saya tuliskan semua di sini. Terlalu banyak. Dan jujur saja saya kewalahan untuk menjawabnya satu per satu. Selain karena terkadang pertanyaan yang diajukan tidak sesuai kapasitas saya (misal : “Emang kamu pernah ngukur tingkat polusi udara di UGM?!!”), jujur saja saya sudah lelah menjawab pertanyaan yang sama dan berulang kali ditanyakan. Jadi dalam konteks ini, kira-kira tulisan ini secara singkat berupaya untuk menjawab (dengan singkat) banyaknya pertanyaan tadi. Saya tak akan menggunakan referensi-referensi layaknya sebuah karya tulis ilmiah, karena ini bukan karya tulis ilmiah. Tulisan ini cuma sebuah uneg-uneg yang berharap untuk mendapat tanggapan. Namanya uneg-uneg, tentu jangan diletakkan dalam logika benar-salah. Oke?