Jumat, 17 Oktober 2008

4 tahun yudhoyono-kalla

Historia Vistae Magistra. Sejarah telah mengajarkan kebijaksanaan. Dalam konteks negeri ini, sejarah telah memberikan pelajaran bagaimana perbedaan dan pertentangan sesungguhnya telah mengantarkan kita pada kemerdekaan. Melalui keragaman pendapat para pendiri republik ini, kita banyak belajar bagaimana caranya bertoleransi. Dan sudah menjadi anggapan umum bahwa sejarah masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan sopan. Itu selalu tergambar dalam teks-teks sejarah yang diajarkan di sekolah. Keramahan dan kesopanan itu pula yang menyebankan orang asing mau singgah di negeri ini.
Namun sikap ramah tamah, sopan , dan beradab yang menjadi karakter masyarakat di negeri ini sepertinya hanya tinggal menjadi sejarah. Belum lama kita mendengar bahwa di daerah Jawa Timur ada seorang lelaki penyuka sesama jenis yang membunuh lebih dari 10 orang. Lelaki yang bernama Rian tersebut dengan sadis menghabisi korban-korbannya. Bahkan, semua korban ditemukan terkubur di sekitar rumah Rian.
Tidak berselang lama dari berita itu, beberapa saat yang lalu kita disuguhi kabar yang mengagetkan sekaligus memprihatinkan. Ada orang yang mati bunuh diri setelah melaksanakan solat Ied di Masjid Istiqlal. Kabar ini tentu cukup mempermalukan harga diri kita sebagai bangsa Indonesia. Sebab orang itu nekat mengakhiri hidupnya justru di saat sebagian besar penduduk negeri ini tengah menikmati kemenangan setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa.
2 berita di atas sebenarnya adalah sedikit dari ratusan bahkan ribuan masalah sosial yang tengah menghinggapi Indonesia. Bahkan bisa dibilang, kasus di atas tidak bisa menggambarkan permasalahan sosial di negeri ini. Sebab, banyak masalah yang lebih ironis dari 2 berita di atas namun tidak terekspos ke masyarakat luas. Tak jarang kita memperoleh kabar ada keluarga yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban hidup. Belum lagi mengenai kasus penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang menyebabkan pengangguran di negeri ini semakin bertambah banyak.
Sementara itu, akhir-akhir ini kita juga disuguhi dengan drama yang bernama Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi. Drama ini telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat meluas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya aksi-aksi yang dilakukan baik oleh mereka yang mendukung RUU ini maupun mereka yang menolak disahkannnya RUU menjadi Undang-Undang. Beberapa provinsi malah dengan tegas sudah menyatakan penolakannya terhadap RUU ini.
Belum disahkan, namun RUU ini secara tidak langsung telah mengadu domba masyarakat di negeri ini. Baik mereka yang menolak maupun mendukung sering terlibat bentrok. Belum sampai tahap bentrok fisik memang. Namun jika dibiarkan terus, ini akan menjadi bom waktu yang akan meledakkan konflik horizontal di masayarakat. Itu terlihat dari perang wacana yang cukup gencar dilakukan oleh kedua belah pihak. Masyarakat yang tidak paham apa-apa pun bisa menjadi korban.
Konflik sesama warga pun sudah sering terjadi. Contoh terakhir adalah kasus penyerangan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap AKBB. Yang ironis, kejadian tersebut terjadi di tugu Monumen Nasional (Monas). Padahal seperti kita ketahui bersama, Monas merupakan salah satu simbol persatuan dan kesatuan negeri ini.
Dari sedikit penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa bangsa ini sedang sakit. Mohammad Sobary bahkan mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami kondisi kebudayaan yang sakit sebagai akibat dari campur tangan kekuasaan di masa lalu. Indonesia saat ini ibarat wajah manusia yang bopeng di sana-sini. Orang yang berwajah tampan atau cantik, ia akan bangga dengan wajah yang dimilikinya. Namun tidak demikian dengan Indonesia, karena wajahnya bopeng, seolah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri ini.
Kalau mau jujur, kita sendiri mungkin akan kaget jika melihat kondisi yang seperti ini. Bangsa yang pernah punya sejarah beradab ini, mungkin tidak bisa lagi disebut beradab. Kebrutalan terjadi dimana-mana. Tentu kita masih ingat konflik antar agama yang pernah terjadi di negeri ini. Yang ironis, kejahatan tidak hanya dilakukan oleh sesama masyarakat. Pejabat di negeri ini justru menyengsarakan masyarakatnya sendiri. Terlihat dari terungkapnya kasus korupsi yang semakin lama semakin banyak lebih jauh, ini mnjadi semacam tragedi dalam sejarah bangsa.
Melihat berbagai kejadian yang telah berlangsung di negeri, menunjukkan bahwa ternyata pemahaman akan pluralitas yang dimiliki oleh bangsa ini masih rendah. Ini juga mencerminkan betapa selama ini kita telah mengabaikan kebudayaan. Belum lagi jika melihat kondisi yang sangat kontras. Pemerintah yang seharusnya mampu memberikan teladan yang baik nyatanya tidak mampu melakukannya. Meskipun sebagian besar rakyat negeri ini masih sengsara, para pejabat dan keluarganya justru hidup bermewah-mewahan dan tidak memiliki sense of crisis.
Pada masa pemerintahan Yudhoyono pun belum terjadi perubahan yang sangat signifikan. Yang ada justru masalah sosial budaya bertambah semakin kompleks. Padahal, presiden yang untuk pertama kali dipilih langsung oleh rakyat ini sudah memerintah selama 4 tahun. Artinya, pemerintahan belum cukup efektif dalam meredam setiap gejolak sosial budaya yang berpotensi untuk mengoyak kebhinekaan. Salah satu contohnya adalah kasus Lumpur Lapindo. Kejadian yang sudah berlangsung lebih dari 2 tahun ini seperti dibiarkan berlarut-larut. Hal ini menimbulkan problem sosial baru. Masyarakat yang desanya terendam Lumpur dipaksa untuk mengungsi. Ganti rugi yang tersendat pun menjadi masalah lain. Bahkan, ini tidak hanya menyebabkan konflik antara pemerintah dengan warga. Tetapi ini juga menjadi sumber konflik antar anggota masyarakat yang saling mengklaim hak kepemilikan tanah agar bisa memperoleh ganti rugi.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga tidak tegas dan menjadi blunder. Pemerintahan Yudhoyono telah tiga kali menaikkan harga BBM. Karena kenaikan itu, pengangguran menjadi semakin banyak karena di-PHK oleh perusahaan-perusahaannya, sehingga masyarakat miskin semakin bertambah. Bertambahnya jumlah masyarakat miskin menimbulkan dampak sosial yang luar biasa. Banyak yang akhirnya menjadi gelandangan pengemis di perempatan jalan. Yang ironis bahkan justru ada daerah yang bangga menjadi pemasok gelandangan dan pengemis.
Selanjutnya adalah kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diharapkan mampu mengganti beban yang ditanggung masyarakat sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM juga telah memakan banyak korban. Dapat kita lihat pada tahun 2005 ketika BLT pertama kali dilakukan. Banyak warga yang salaing berebut hanya untuk mendapatkan uang ratusan ribu. Ada orang yang mampu secara ekonomi tapi mengaku miskin agar dapat BLT. Bahkan ada kepala desa yang dibunuh hanya karena tidak memasukkan warganya ke dalam daftar penerima BLT. Ini tentu menjadi sumber masalah sosial yang lain.
Penggusuran rumah-rumah warga serta Pedagang Kaki Lima (PKL) semakin sering dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan terkadang demi alasan yang tidak logis, demi keindahan dan kenyamanan bersama. Apakah hanya demi alasan keindahan, lalu pemerintah tega menggusur rakyatnya sendiri? Patut kita pertanyakan kembali sebenarnya pemerintah berpihak kepada siapa.
Menurut Ricklefs, desentralisasi telah membatasi kemampuan pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan-persoalan. Namun, pemerintah seharusnya bisa mengambil peran yang strategis dalam mengatasi berbagai persoalan sosial budaya yang terjadi di negeri ini. Francis Fukuyama (1999) mengatakan bahwa pemerintah dapat menciptakan sebuah tatanan sosial melalui wewenang kepolisian dan pendidikan. Tingkat kejahatan dapat turun drastis. Selain untuk mencegah kejahatan, penjagaan keamanan jelas memberi dampak yang penting bagi modal sosial.
Sebagai kesimpulan, secara alami bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Karena kemajemukan tersebut tentu perbedaan menjadi sebuah keniscayaan. Karena itulah seharusnya kita harus mampu mengendalikan diri dan menghargai perbedaan. Kemudian, pemerintah juga harus bersikap tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk mengatasi semua problem sosial budaya di negeri ini. Jangan seperti sekarang, dimana pemerintah justru membuat blunder kebijakan yag justru menjadi sumber masalah.

Minggu, 12 Oktober 2008

minggu pagi

Sesaat sebelum beranjak dari rumah dan kembali berjuang di kota perjuangan, Jogja. Minggu pagi adalah yang sangat menyenangkan. Penuh kenangan. Ingatan kembali melayang ke masa silam ketika hari minggu adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu setelah 6 hari bergelut dengan sekolah dengan tugas-tugas yang sangat menyebalkan. Sebenarnya hari minggu, sekarang ini, kurang begitu berarti yang sama seperti hari minggu yang dulu. Bagaimana tidak, kalau berbicara masalah libur, semester ini otomatis aku mendapat libur 4 hari setiap minggu. Kuliahku hanya 3 hari, selasa, rabu, kamis. 4 hari lainnya libur.
Tetapi hari minggu tetatplah hari minggu. Dalam bayanganku, hari minggu adalah hari yang berwarna biru muda. Entah kenapa, tapi aku memiliki bayangan-bayangan sendiri tentang hari. Mungkin hari minggu berwarna biru karena aku bisa lebih lama menikmati langit dibanding dengan hari-hari lainnya.
Dan hari minggu kali ini, aku kembali ke kota jogja, kota dengan berjuta pengalaman, berjuta pelajaran. Kembali belajar tentang cinta, impian serta jalan utnuk mencari tahu siapa sebenarnya diri sendiri. Saatnya untuk membulatkan tekad, aku pasti berhasil menaklukan jogja!

Sabtu, 11 Oktober 2008

Malam menjelang keberangkatan ke jogja

“Tiga aturan untuk sukses menulis adalah : 1. banyak membaca; 2. banyak menulis; 3. banyak membaca lagi, banyak menulis lagi” -Robert Silverberg-

Bukan bermaksud mendramatisir keadaan. Tapi sepertinya ini perlu ditulis sebagai bahan refleksi saja. Liburan berlalu dengan indah, menurutku. Banyak pengalaman. Banyak pelajaran yang bisa diambil. Banyak membaca buku. Banyak menulis. Banyak mendengarkan lagu. Banyak bermain. Beberapa menit yang lalu aku sepertinya enggan pulang ke jogja. Mungkin ini salah satu kelemahanku. Terkadang bisa sangat malas. Tapi sekarang, setelah baru saja aku mengantar barang belanjaan tetangga ke rumahnya, aku merasa bersemangat lagi. Aku harus bermanfaat buat orang lain. Ya, kuliah di jogja bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Untuk bapak ibu, pasti. Kemudian juga untk mereka yang kurang beruntung dan belum bisa menikmati belajar di perguruan tinggi. Aku hanya lebih beruntung dari mereka. Lalu apa yang bisa aku banggakan? Aku harus terus berusaha. Untuk diri sendiri dan untuk rakyat negeri ini.
Aku yakin apa yang aku rasakan sekarang pasti dialami oleh semua mahasiswa (mungkin juga semua orang) yang liburannya hampir berakhir. Antara keinginan untuk melanjutkan liburan dan gairah untuk menghadapi tantangan yang akan ditemui di depan. Tapi sudahlah, waktu harus terus berjalan. Biarkan saja. Apa yang dirasakan ya dirasakan saja. Satu yang penting adalah semangat untuk berubah harus terus dipertahankan. Negeri ini masih carut marut. Rakyatnya masih banyak yang sengsara. Kalau para pemuda seperti aku masih berpikir malas-malasan lalu bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Bisa hancur negeri ini.
Keadaan ekonomi akhir-akhir benar-benar mengkhawatirkan aku. Aku jelas tak paham dengan situasi yang demikian kompleks. Tapi sepertinya ini seperti efek bola salju, semakin lama semakin membesar dan bisa saja menghancurkan semua yang ada di depan. Buktinya saja Bursa Efek Indonesia (BEI) masih belum buka juga. Gejala apa ini? Aku juga belum bisa tenang meskipun Presiden Yudhono berkali-kali mengatakan kondisi perekonomian Negara kita masih under control, masih di bawah kendali. Tenan pora pak? Batinku.
Sebentar lagi bergelut dengan dunia kemahasiswaanku lagi. Apakah mahasiswa bisa menjadi salah satu solusi bagi permasalahan bangsa ini? Entah. Kita lihat saja nanti.

11 oktober 2008 ,, 18.41

Jumat, 10 Oktober 2008

Baca, Baca dan Baca

Seno Gumira Adji, setelah menerima Hadiah Sastra Asia Tenggara beberapa tahun lalu mengatakan bahwa : ….masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca untuk mencari alamat, membaca hanya untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca hanya untuk mengetahui hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan…”

Ini tentu menjadi hal yang sangat ironis. Sebab persoalan malas membaca ini tidak hanya menghinggapi masyarakat secara umum. Mahasiswa pun sekarang dijangkiti budaya malas membaca bacaan-bacaan yang berkualitas. Padahal mahasiswa adalah kalangan intelektual yang seharusnya kaya dengan pengetahuan. Tetapi, bagaimana mungkin bisa kaya pengetahuan jika membaca saja malas. Saat mahasiswa FISIPOL seharusnya membaca buku-buku tentang berbagai teori sosial politik, yang terjadi justru komik-komik yang menjadi bacaan kesukaan. Tak heran jika sekarang banyak mahasiswa FISIPOL yang ditanya tentang bermacam-macam teori hanya mampu menggelengkan kepala. Saat seharusnya mahasiswa fakultas ekonomi membaca koran-koran tentang perkembangan terbaru tentang krisis ekonomi, justru novel-novel yang berada di genggaman. Sebuah kejadian nyata, sungguh ironis ketika seorang mahasiswa tidak tahu apa itu Lehman Brothers. Padahal ini adalah perusahaan sekuritas yang beberapa waktu lalu bangkrut dan menyebabkan goncangan besar bagi perekonomian dunia. Mungkin sebentar lagi negeri ini akan merasakan dampak dari krisis tersebut.

Kalau mahasiswa masih mengaku sebagai agent of change, seharusnya dia mau lebih banyak membaca buku. Bukan berarti tidak boleh membaca novel atau komik. Tapi bagaimanapun juga, buku-buku tentang berbagai macam teori dan displin ilmunya harus mutlak dikuasai. Itu kalau masih mau disebut sebagai agent of change. Tapi terserah kepada teman-teman mahasiswa. Sekadar catatan, negeri ini nanti akan kita pimpin kawan!

Saatnya berjuang kembali..


Hari kesepuluh di bulan oktober. 2 hari lagi sudah harus pulang ke jogja. 2 hari lagi perjuangan sudah harus dimulai kembali. 2 hari lagi tekanan-tekanan akan datang menghampiri. Saatnya bersiap-siap atau aku akan dihancurkan sendiri. Saatnya membuktikan bahwa mahasiswa tidak hanya bisa demo. Saatnya membuktikan bahwa dalam keterbatasan pun aku bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Kasus RUUK DIY masih berlarut-larut meskipun Keppres sudah diberikan. Kasus RUU MA apalagi. Kenapa hakim agung masih ngotot pensiun di usia 70 tahun? Memang MA itu panti jompo? Apakah negeri kita lalu akan terkena imbas krisis yang terjadi di Amerika? Entah, aku kurang begitu paham mengenai masalah ekonomi. Tapi aku yakin, jika tidak bersiap-siap, negeri ini akan diterpa badai krisis ekonomi meskipun kata Yudhoyono tidak akan separah tahun 1998. kemarin perdagangan saham dihentikan. Katanya sih karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI jatuh sampai angka 1.451,669 karena rontoknya bursa global akibat dari krisis ekonomi Amerika Serikat. Itu berarti IHSG anjlok sekitar 10, 38 % dari angka 168, 052.

Indonesia sebentar lagi akan menjadi tuan rumah Asian Beach Games (ABG) yang akan dilangsungkan di Bali 18-26 oktober ini. Aku gak paham apa maunya pemerintah dengan ajang seperti ini. Sepertinya bukan arena untuk mengejar prestasi. Tapi lebih kepada arena untuk promosi pariwisata. Bagaimana tidak, dari 16 cabang yang akan dipertandingkan, tidak ada satupun yang dimainkan di SEA Games, Asian Games, apalagi Olimpiade. Ya karena ini merupakan ajang alternative. Buktinya ini baru pertama kali diadakan. KONI/KOI setahuku kekurangan dana. Tapi kok masih sempat juga menggelar ajang ini. Yang lebih sibuk terlihat justru kerja dari Kementerian Pariwisata daripada Kementerian Pemuda dan Olahraga. Boros uang. Tapi mungkin targetnya memang bukan mengejar prestasi melainkan turis-turis asing.

Kualifikasi World Cup 2010 besok dimulai lagi. Berharap semoga tim-tim yang aku idolakan semua lolos ke Afrika Selatan. Sampai sejauh ini semua berjalan baik-baik saja. Inggris masih memuncaki klasemen grup 6. spanyol masih berada di puncak klasemen grup 5. hanya Italia yang posisinya sekarang mengkhawatirkan. Meskipun masih berada di nomor 1 dengan 6 poin, tapi sekarang badai cedera tengah menghinggapi tim azzuri. Ini sungguh berbahay karena lawan yang dihadapi berikutnya adalah Negara kuat, Bulgaria.

Terakhir, mengutip kata-kata dari Rob Reiner, Ultimately all you can do is fix yourself. And that’s a lot. Because if you can fix yourself, it has a ripple effect.


Kamis, 09 Oktober 2008

setelah liburan ini..

Aneh. Suasana itu sungguh aneh. Bayangan ketika melihat pepohonan yang hijau, pohon cemara, pohon mahoni, pohon apapun entah aku kurang begitu paham apa namanya, langit cerah yang berwarna biru muda. Awan berserak putih dengan bermacam-macam bentuknya. Seharusnya aku terbiasa dengan suasana seperti itu. Aku jelas berasal dari desa. Desa terpencil di selatan Jogja. Banyak yang menjuluki (atau mengejek?) dengan sebutan negeri di atas awan. Ya, gunung kidul, desa kelahiran kedua orang tuaku. Tapi entah kenapa ketika hari itu (6/10) bermain (berwisata) ke daerah Sidomukti , Bandungan suasananya terasa aneh. Pergi bersama sahabat, teman-teman semasa SMA, rasanya seperti kembali mengarungi masa lalu yang penuh dengan kenangan indah. Aku senang, meskipun kadang aku merasa cuma seorang fotografer, hahaha.



Rasanya belum pernah aku pergi ke tempat seperti itu. Dengan bukit yang sangat tinggi. Ketika aku berada di atasnya, melihat ke bawah seperti melihat irisan bawang. Ya, berputar-putar tanaman nan hijau memenuhi pandangan. Jauh di sana ada rawa pening, kalau aku tidak salah. Jelas kelihatan gunung merapi, merbabu, entah apalagi. Aku yakin semua orang yang pergi ke tempat ini pasti akan mengaguminya dan melepaskan semua atribut kesombongan yang dimiliki. Maha Besar Allah dengan segala ciptaanNya.

Sempat merasa ketakutan ketika melihat salah satu wahana permainan di tempat ini. Flying Fox, aku biasa mendengar permainan ini tapi sama sekali belum pernah mencobanya. Dari mulai membeli karcis, mengantri di barisan, dan akhirnya memasang tali pengaman, jantung seperti berteriak tak karuan, berdetak dengan sangat kencang. Melihat ke bawah sepertinya kau membayangkan film silvester stallone yang aku lupa apa judulnya. Film itu dimulai ketika silvester gagal menolong istri temannya yang terjebak di tengah tali antara 2 tebing. Dan akhirnya istri temannya itu jatuh dalam jurang yang sangat dalam yang di bawahnya terdapat sungai. Hampir persis seperti itu mungkin gambaran mengenai apa yang aku rasakan. Jelas aku takut, jelas aku kepikiran macam-macam. Bagaimana kalau nanti di tengah-tengah talinya putus. Sudah siapkah aku mati?

Aku belum siap untuk itu. Tapi semuanya berlalu begitu cepat. Aku mulai meluncur. Pertama kali ketika orang yang memasang tali pengaman menyuruh aku menekuk kaki, aku menutup mata rapat-rapat. Membayangkan semua yang aku sayangi. Lalu aku mulai meluncur. Jantung sepertinya sudah ingin loncat dari badanku. Aku pasrah. Jika memang ini akhir hidupku. Semoga Allah mengampuni dosa hambanya ini. Tapi ternyata tidak sesuai pikiran-pikiran jelekku ini. Baru 2-3 meter meluncur, aku berani membuka mata. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Lega, sungguh aku baru bisa melepaskan semua beban pada saat meluncur di atas ketinggian puluhan meter seperti ini. Aku merasa tenang, sangat tenang, sesuatu yang sangat jarang bisa aku rasakan pasca usiaku 17 tahun. Semua beban seperti hilang menguap entah kemana. Lalu aku ayunkan kedua kakiku mencoba menikmati indahnya meluncur di antara 2 bukit yang jaraknya ke tanah mungkin sekitar 100 meter sepertinya. Mungkin juga lebih. Sensasi yang aku rasakan benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku ketagihan. Tapi belum lama aku meluncur ternyata sudah harus berhenti. Sudah sampai di seberang. Turun. Dan aku ingin mencobanya lagi. Bukan sekarang. Tapi nanti pasti aku akan mencobanya lagi. Pasti itu.

Rapelling. Kalau wall climbing kita memanjat dari bawah ke atas, sedangkan ini kita menuruni tebing sedalam kurang lebih 4-0-50 meter. Sama saja yang aku rasakan. Takut pada awalnya. Bahkan jauh lebih takut jika dibandingkan dengan flying fox yang tadi. Dalam bahasa sederhananya, kita hanya pasrah saja ketika bermain flying fox, namun ketika Rapelling benar-benar dibutuhkan keberanian kita. Meskipun ini sangat aman, tentu menakutkan, apalagi bagi seorang pemula seperti aku. Menuruni tebing dengan berdiri miring ke belakang sekitar 45 derajat sangatlah membuat hati seperti kemropok dalam bahasa salah seorang teman lama. Pelan-pelan tim rapellingnya memasang pengaman ke badanku. Aku sudah ketakutan saja. Mulai berjalan, sepertinya kakiku terasa linu, pegal semuanya, mati rasa, mungkin. Aku terpaksa harus melepas sandal jepit yang aku pakai. Terasa licin keringat dingin yang membasahi hampir seluruh badan. Namun aku beranikan diri, seorang mahasiswa tidak boleh takut hanya dalam hal beginian. Pelan-pelan aku turun, mencoba menikmati, meskipun sebenarnya aku benar-benar takut. Tapi aku beranikan diri, aku turun menyusuri tebing yang agak kasar bebatuannya. Apalagi ditambah aku tidak memakai sandal. Padahal di kedua kakiku masih menempel perban obat mata ikan. Agak sakit, tapi sudah sejauh ini, sudah di tengah jalan. Harus diteruskan. Setidaknya aku kemudian bisa menikmatinya. Di bawah sudah menunggu seorang teman yang membawa kamera. Sambil tersenyum puas aku berteriak lega. Tentu sedikit berpose untuk kenang-kenangan. Akhirnya aku bisa melewati tantangan yang sebenarnya aman tersebut.

Belum selesai petualangan hari itu. Jalan-jalan sebentar menikmati indahnya ciptaan Allah. Sungguh luar biasa. Indonesia dianugerahi negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa. Negeri yang dianugerahi keindahan alam seperti ini seharusnya mampu bersyukur. Tidak hanya warga, termasuk pejabat negeri ini harusnya bersyukur. Bukan malah korupsi dan merusak keindahan alam negeri ini demi tujuan meraih keuntungan pribadi semata.

Setelah liburan ini, seharusnya aku bisa lebih kuat dalam menghadapi badai tekanan yang pasti akan menemuiku sebentar lagi. Tekanan yang bertubi-tubi, pasti segera datang. Tinggal aku kuat menghadapinya atau tidak. Apakah aku akan menyetir badai tekanan itu, atau justru aku yang akan terombang-ambing oleh badai yang siap menerjang apapun yang berada di depannya.

Selasa, 07 Oktober 2008

Tentang RUUK DIY…

Kontroversi terkait Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY sepertinya tak kunjung usai. Kemarin Sri Sultan Hamengku Buwono X bertemu presiden Yudhoyono untuk menerima Keppres terkait perpanjangan masa jabatan Gubernur. Rentang waktu perpanjangan belum dtentukan berapa lamanya. Tetapi maksimal adalah 3 tahun. Dan diharapkan dalam 3 tahun tersebut RUUK sudah disahkan menjadi UU. Masalah ini berkembang panas terutama karena aku sekarang tinggal di Jogja. Otomatis aku mau tidak mau mengikutinya. Sempat dibahas di perkuliahan pers, sangat mengasyikkan membahas masalah ini sampai membuat teman-teman yang asli Jogja terpancing untuk memberikan komentar. Apalagi banyak sekali sinyalemen yang beredar di balik RUUk yang berlarut-larut ini. Dari mulai isu penjegalan Sri Sultan untuk menjadi capres tahun 2009 sampai adanya anggapan yang beredar bahwa pemerintah pusat melupakan dan mengingkari sejarah bergabungnya DIY ke dalajm NKRI. Sikapku sendiri sudah jelas. Aku mendukung sepenuhnya bahwa jabatan Gubernur sudah sewajarnya melekat pada Sri Sultan. Begitu juga dengan wakil gubernur melekat pada Paku Alam. Artinya, pemilihan gubernur di DIY tidak ada. Yang ada hanyalah penetapan Sri Sultan menjadi gubernur. Jadi tidak seperti daerah lain yang menggelar pemilihan gubernur langsung. Ini sesuai dengan maklumat 5 oktober 1945. dimana saat itu keraton DIY adalah kerajaan pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan menggabungkan diri menjadi bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu isi maklumat tersebut adalah bahwa jabatan gubernur atau kepala daerah tertinggi di DIY melekat pada Sri Sultan. Dengan kata lain. Keturunan Sultan secara turun temurun akan menjadi Gubernur DIY. Hal ini bukan berarti mengingkari sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia. Tetapi apa yang dijalankan oleh DIY justru sebenarnya jauh lebih demokratis. Demokrasi substansial, begitu Sri Sultan menyebutnya. Aku sepakat dengan hal tersebut dan dengan tegas aku menolak apa yang dikatakan salah seorang pembantu SBY yang mengatakan bahwa di DIY menggunakan sistem monarki absolute. Sosok Sri Sultan jelaslah sosok yang mampu mengayomi rakyatnya. Keberagaman dijamin di daerah ini. Setiap mahasiswa yang merantau ke jogja pasti merasa nyaman dengan suasana daerah ini. Karena itu aku ingin bilang, sampai kapanpun Jogja harus tetap istimewa!!