Senin, 05 Juli 2010

Upaya Melawan Lupa : Tolak Kebijakan Kartu Identitas Kendaraan di UGM!

Pada mulanya adalah Surat Edaran Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia Nomor 5890/PII/Dir-PPA/2009 tentang Uji Coba Pengoperasian Portal Jalan Pancasila tertanggal 12 Agustus 2009. Berdasar surat ini, Portal Gate kemudian dipasang di gerbang Bunderan UGM. Sementara mereka yang lewat di jalan Sosio-Humaniora kemudian diwajibkan untuk menerima karcis parkir. Dalam surat itu sendiri dijelaskan mengenai penutupan beberapa ruas jalan di UGM yang akan ditutup untuk “mewujudkan lingkungan kampus yang tenang dan nyaman”. Selain itu, surat ini juga menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, identitas kendaraan akan diberlakukan setelah ujicoba berhasil dan berbagai permasalahan yang timbul dapat teratasi. Setelah muncul Surat Edaran ini, media massa kemudian ramai-ramai memberitakan mengenai pemberlakukan parkir berbayar di UGM. Salah satunya adalah Kompas (http://regional.kompas.com/read/2009/08/19/21591533/wah....lewat.ugm.harus.bayar.parkir).

Setelah itu, kontroversi muncul dan isu ini berkembang liar di kalangan sivitas akademika sendiri maupun masyarakat Yogyakarta. Dalam wawancara dengan media massa seperti dikutip dari Harian Jogja, Kedaulatan Rakyat, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Humas UGM Suryo Baskoro mengatakan bahwa "Pengelolaan akan diserahkan kepada pihak swasta dengan alasan agar kebijakan pemungutan tarif parkir bisa diterapkan secara profesional. Besarnya tarif masih dalam pembahasan”. Sementara itu Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia, Ainun Na’im mengatakan bahwa “Berdasarkan diskusi kita, mobil akan dikenakan tarif, walaupun kita masih belum tahu berapa”. Dalam perkembangannya, meskipun bulan puasa, ratusan mahasiswa UGM kemudian melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan ini. Tidak hanya mahasiswa, beberapa dosen pun dengan terang-terangan menolak kebijakan yang minim sosialisasi ini.

Sabtu, 03 Juli 2010

Jalan Baru Pers Mahasiswa

Tulisan Lubabun Ni'am berjudul Autokrotik bagi Pers Mahasiswa di halaman ini (12/6) menunjukkan rasa pesismisme yang begitu kental dalam memandang pers mahasiswa (persma). Seperti diungkapkan Ni’am, pasang-surut kiprah persma kini tiba pada situasi yang mencemaskan. Berderet persoalan pelik menguntit dan mengancam keberadaan pers mahasiswa. Kekhawatiran yang masuk akal, tapi saya kira itu terlalu berlebihan.

Mulanya, kita memang harus memahami bahwa upaya pembacaan terhadap persma seharusnya dianggap sebagai proses dialektis yang berjalan seiring di antara kondisi subyektif pegiat persma dengan keadaan obyektif di mana persma berada. Dengan demikian, laku reflektif bisa menemukan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini penting sebagai upaya untuk meletakan peran dan posisi persma dalam dinamika kehidupan mahasiswa dan perguan tinggi.

Untuk memulai laku refleksi, kita bisa membaca dari apa yang sempat disampaikan Abdulhamid Dipopramono. Dalam tulisan berjudul Pers Mahasiswa dalam Era Informasi (1987), Abdulhamid menyerukan perlunya demitosisasi pers mahasiswa. Dalam konteks ini, demitosisasi tidak dimaknai sebagai langkah untuk menggerus idealisme persma. Namun, demitosasi merupakan perwujudan untuk menempatkan standar yang berbeda dalam mengukur keberhasilan persma.

Di era 60-an sampai 80-an, standar keberhasilan persma diukur ketika oplah penerbitannya besar dan menjadi rujukan bagi masyarakat. Kita bisa lihat dari keberhasilan Mimbar Demokrasi, Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Gelora Mahasiswa yang oplahnya setiap terbit bisa menembus angkan puluhan ribu, melampaui pers umum. Besarnya oplah ini menjadi masuk akal karena persma di era itu menjadi bacaan yang alternatif dengan analisis kritis obyektifnya, ciri khas mahasiswa. Apalagi, pers umum ketika itu seolah tiarap menghadapi represi dan pembreidelan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sementara itu di era 90-an, meskipun tetap menjadi bacaan yang alternatif, oplah persma menurun drastis. Ini dikarenakan sebagian besar pegiat persma menggunakan lembaganya untuk melakukan gerakan perlawanan menentang rezim Orde Baru. Karena itu, persma kemudian memasuki babak baru sebagai media propaganda dengan gaya bahasa yang meledak-ledak dan provokatif. Puncaknya, persma menjadi salah satu elemen yang ikut andil dalam menggulingkan rezim Orba pada 1998. Era yang bisa dimaknai sebagai salah satu keberhasilan sekaligus titik balik persma.

Di titik inilah standar baru bagi kisah kepahlawanan persma mesti digunakan. Ketika hidup dalam alam demokrasi seperti saat ini, persma sudah tidak seharusnya bersaing dengan pers umum untuk mengejar oplah penerbitan. Sebab, persaingan akan menghasilkan kekalahan yang sia-sia. Karena itu, persma pasca reformasi lebih baik mengarahkan penerbitannya pada ciri khas mahasiswa yang kritis, obyektif, analitis dan kaya ide. Ciri khas yang melekat erat pada mahasiswa sebagai pegiat persma inilah yang membedakannya dengan pers umum.

Jalan Baru
Didik Supriyanto dalam buku Perlawanan Pers Mahasiswa : Protes Sepanjang NKK/BKK (1998) menawarkan jurnalisme struktural sebagai jalan baru bagi para pegiat persma. Inti dari jurnalisme struktural adalah pada idealisme persma itu sendiri. Apa idealisme persma? Dengan integrasi antara pers dan mahasiswa, persma memiliki idealisme untuk melakukan kontrol sosial. Kontrol sosial dalam konteks jurnalisme struktural mengandaikan bahwa aktivitas persma tidak terbatas pada usaha penerbitan semata.

Konteks tersebut yang menggiring kita pada satu pemahaman bahwa persma harus memberikan perlawanan kepada kekuasaan. Kalaupun tidak secara langsung vis a vis negara seperti era Orde Baru, persma harus menjadi basis perlawanan terhadap kekuasaan pemimpin kampus yang sewenang-wenang dan otoriter. Kesewenang-wenangan ini biasanya terlihat dari adanya kebijakan kampus yang sepihak dan merugikan mahasiswa.
Artinya, untuk melakukan protes-protes ini, persma juga harus melakukan agenda non-penerbitan yang cukup intens selain kegiatan penerbitan. Beragam kegiatan bisa dilakukan seperti diskusi dan pendampingan advokasi masyarakat. Diskusi, menjadi tradisi yang mencerminkan potensi intelektual mahasiswa. Persma sebagai nafas intelektual mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk terus menjaga semangat tersebut.

Dengan diskusi, mahasiswa-mahasiswa yang kini hidup di tengah kepungan era hedonisme paling tidak mampu menjaga jarak dan tetap bersikap kritis. Inilah fungsi penyadaran. Sementara itu, untuk tidak memisahkan apa yang dipelajari dengan realitas sosial, persma bisa melakukan proses advokasi masyarakat yang minim akses. Ini untuk mematahkan asumsi bahwa universitas (termasuk mahasiswa di dalamnya) merupakan menara gading yang terpisah dari masyarakat. Selain terlibat pendampingan advokasi masyarakat, persma sekaligus bisa mengambil peran untuk mengawal literasi media.

Optimisme
Sindiran Daniel Dhakidae (1977) bahwa apa yang dilakukan oleh persma seperti “suara yang melengking di padang gurun” tidak sepatutnya ditanggapi dengan kekhawatiran berlebihan. Beberapa saat yang lalu penulis mengikuti Pekan Nasional Pers Mahasiswa di Makassar. Dalam forum yang mempertemukan persma se-Indonesia ini, rata-rata persma mengeluhkan minimnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Karena minim SDM, mereka harus pontang-panting untuk menghidupi lembaganya. Salah satu persma di Jakarta bahkan hanya memiliki tujuh awak untuk menggarap semua agenda.

Namun yang menarik, sebagian besar persma tidak mempermasalahkan itu semua dan justru menjadi tantangan untuk terus menjadi avant garde idealisme mahasiswa. Di titik inilah, tidak ada alasan bagi para pegiat persma untuk tidak merasa optimis. Meminjam istilah Eka Suryana Saputra (2010), kini waktunya persma menyambangi wilayah-wilayah tak bertuan. Wilayah yang memungkinkan persma untuk menempatkan dirinya sesuai dengan zaman ia berada.
(Dimuat di Suara Merdeka 3 Juli 2010)