Sabtu, 19 Juli 2008

Menyibak Pidato Kenegaraan Presiden : Kampanye Menjelang Pemilu 2009?

Pidato kenegaraan Yudhoyono yang dilaksanakan 15 Agustus menyisakan banyak pertanyaan. Benarkah semua yang disebutkan Yudhoyono benar-benar sesuai dengan realita? Apakah semua janji-janji yang telah diucapkan akan dipenuhi? Atau jangan-jangan, isi pidato kenegaraan kemarin hanya salah satu bentuk politik citra yang dilakukan Yudhoyono untuk membuai rakyat Indonesia agar memilihnya kembali di tahun 2009 mendatang?
Isi pidato yang paling mencengangkan tentu ketika pemeritah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dalam APBN 2009. Kebijakan ini diambil setelah MK memerintahkan agar pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Melihat keadaan tersebut, dunia pendidikan patut bersyukur sebab setelah sekian lama akhirnya pendidikan menjadi prioritas utama pemerintah. Namun, banyak hal yang harus dikritisi di sini. Pertama, anggaran pendidikan ini memasukkan gaji pegawai seperti guru dan dosen di dalamnya. Keadaan ini tentu menjadi pertanyaan, bukankah anggaran hanya akan habis untuk menggaji pegawai. Kedua, dengan banyaknya gedung sekolah di Indonesia yang rusak, tentu akan banyak juga biaya untuk memperbaikinya. Menjadi satu masalah lagi, sebab yang dibangun hanya fisik sementara kualitas masih rendah. Seharusnya, gaji pegawai tidak dimasukkan ke dalam pos anggarang pendidikan. Dengan begitu, alokasi dana yang seharusnya untuk gaji pegawai bisa dialihkan untuk pembangunan gedung-gedung. Dan dana untuk perbaikan kualitas juga bisa lebih besar.
Selain anggaran pendidikan sebesar 20% APBN 2009, hal menarik lainnya dari isi pidato Yudhoyono adalah mengenai kemiskinan. Menurutnya, angka kemiskinan tahun ini adalah yang terendah baik dalam besaran maupun dalam persentasenya. Penurunan angka kemiskinan ini mungkin saja benar. Tapi jika dirunut lebih jauh, penurunan angka kemiskinan dapat terjadi karena perbedaan penggunaan metodologi dalam menentukan kriteria orang miskin. Sebagai contoh, Badan Pusat Statisitik (BPS) dulu memasukkan orang yang bekerja serabutan sebagai orang yang tidak berpenghasilan dan kemudian dianggap sebagai orang miskin. Namun sekarang, orang yang bekerja serabutan dianggap memiliki pekerjaan. Sehingga status miskin pun tidak layak disandangnya. Penulis dalam hal ini beranggapan bahwa BPS memberikan data kepada SBY hanya berdasarkan “asal bapak senang”.
Melihat pidato kenegaraan Yudhoyono ini jelas sekali terlihat politik citra yang coba dipertahankan di tengah keterpurukan yang tengah melanda sang presiden. Dan sebelum menarik simpati rakyat, sepertinya Yudhoyono sudah berhasil menarik simpati anggota DPR/MPR yang hadir di gedung DPR/MPR ketika itu. Terlihat jelas dari 58 tepuk tangan (kompas, 16 Agustus 2008) yang diberikan selama pidato Yudhoyono berlangsung. Beberapa elite parpol pendukung pemerintah juga tidak ketinggalan ikut memberikan suaranya. Seperti ungkapan Priyo Budi Santoso, ketua fraksi partai golkar ini mengatakan bahwa pidato presiden sungguh luar biasa. Hal itu juga diamini oleh ketua Fraksi Partai Demokrat yang mengungkapkan bahwa dari pidato presiden jelas kelihatan berbagai kemajuan yang dicapai bangsa ini selama 4 tahun kepempinan beliau.
Tapi seperti biasa, politik citra bukanlah lagu baru. Itu adalah lagu lama yang selalu diulang-ulang. Apalagi di masa pemerintahan SBY-JK ini. Menjelang 2009, semua upaya akan dilakukan untuk kembali menduduki puncak kekuasaan. Dari mulai pidato kenegaraan yang menarik simpati para guru, sampai menarik simpati rakyat miskin. Hal ini pernah dilakukan tahun 2004. dimana ketika itu Yudhoyono dengan bermodalkan iklan dan jargon “bersama kita bisa “ berhasil menarik hampir sebagian besar rakyat Indonesia untuk memilihnya menjadi Presiden.
Mungkin Yudhoyono lupa, rakyatnya sudah tidak butuh janji-janji lagi. Rakyatnya sudah tidak butuh laporan-laporan yang sepertinya mengungkapkan keberhasilan presiden tapi ternyata realitanya jauh berbeda. Rakyat Indonesia sudah sangat muak melihat korupsi yang melanda hampir seluruh pejabat. DPR-Bank Indonesia “berselingkuh” dengan kurang ajar. Aliran uang lancar tanpa ada tanda terima dan laporang yang jelas. Meminjam ungkapan shakspeare, kill all the lawyer. Di Indonesia, sepertinya ungkapan tadi harus diganti kill all the politicians. Tentu bukan dalam arti yang sebenarnya.
Sebagai kesimpulan, penulis bersepakat bahwa Yudhoyono sungguh luar biasa dalam menyampaikan pidato kenegaraan. Cara menarik simpati dari orang lain juga bagus. Bagaimana dia menyeka keringat, mengambil air minum, beristirahat sejenak seperti menunjukkan sebuah pesan. Seolah pesan tersebut berbunyi : Presiden juga manusia, jadi tolong jangan timpakan semua kesalahan kepada saya. Bukan salah saya kalau ternyata takdir negara kita adalah menjadi negara miskin!

Jumat, 11 Juli 2008

Mempertanyakan Masa Depan

Masa lalu adalah kenangan, hari esok adalah misteri , dan saat ini adalah anugerah, begitu kata orang bijak. Ya, saat ini adalah anugerah. Anugerah luar biasa yang telah dianugerahkan Sang Pencipta kepada makhlukNya. Anugerah yang sudah selayaknya kita syukuri, apapun itu.
Bicara masa depan, menurutku, adalah membicarakan manifestasi apa yang telah kita lakukan di masa lalu dan saat ini. Atau dengan kata lain, apapun yang telah kita lakukan di masa lalu, akan menentukan nasib kita sendiri di masa depan. Siapa menabur benih, dia akan menuai. Siapa menyiapkan masa depannya dengan rapi, dia akan mendapatkannya. Sementara itu, siapa menyiapkan masa depan dengan sembarangan tentu dia tidak akan mendapat apa-apa. Tentu, pengecualian bagi orang yang memiliki keberuntungan. Sebab orang yang memiliki keberuntungan biasanya akan memperoleh masa depan yang lebih baik.
SD, aku mendapat NEM 40,55. Nilai tersebut membawaku masuk ke SMP 3 Ungaran. Sekolah kecil di pinggir sawah yang penuh dengan kenangan. Aku tidak lupa, bahwa aku pernah menangis tidak mau bersekolah di SMP 3. Namun, Allah menyuruhku belajar di SMP 3 untuk memenuhi takdirku sendiri. 3 tahun cepat berlalu. Aku keluar dari SMP 3 dengan nilai yang menurutku cukup memuaskan, 24, 21. Allah kemudian menyuruhku belajar di SMA 1 Ungaran. Sebuah SMA favorit di kota kecil Ungaran. Di SMA ini aku diajari banyak hal. Bersahabat, berorganisasi, bahkan juga tentang cinta. Menjadi ketua OSIS, ya, setidaknya aku pernah memimpin 900 anak lebih. Pengalaman hebat tentu. Unforgetable memories, begitu kata fariz, sahabatku.
3 tahun di SMA ternyata juga cepat sekali berlalu. Aku dipaksa harus berpisah dengan orang yang, ketika itu, sangat aku sayangi. Aku harus meneruskan belajar di Jogja, di UGM, salah satu universitas terbesar dan terbaik di negeri ini. Sebuah ujian yang sangat berat tentang cinta. Semoga aku bisa menghadapinya. Dan aku yakin bisa melewatinya. Namun, harapan tinggal harapan. Di Jogja, aku dikenalkan dengan kehidupan yang tidak pernah aku jalani sebelumnya. Aku pikir, Jogja akan bersikap ramah terhadapku. Tentu karena di dalam darahku mengalir kencang darah jogja. Ya , Bapak Ibu asli Gunungkidul. Tapi ternyata tidak. Aku dihajar habis-habisan, mental maupun fisik.
Aku diajari tentang kehidupan. Ilmu yang sebelumnya tidak pernah aku pelajari di Ungaran. Bagaimana hidup sendiri, mencuci sendiri, makan sendiri. Susah memang awalnya. Tapi kini sudah terbiasa. Ya, sudah sangat biasa.
Kuliah ternyata susah. Bukan masalah akademik. Tapi masalah bagaimana kita akan menyiapkan masa depan kita sendiri. Dari situ aku mulai meutuskan untuk masuk di organisasi. Untuk menyiapkan masa depan tentu. Kenapa aku memilih Balairung, kenapa aku memilih BEM KM, ada alasannya. Balairung adalah salah satu kawah candradimuka pers mahasiswa yang terbaik di Indonesia. Sejarah Balairung hampir sama tuanya dengan sejarah rezim Orde Baru. Aku ingin menjadi seorang wartawan. Cita-citaku, yang sedikit banyak dipengaruhi mas Furry. Karena itu aku memutuskan masuk ke Balairung. Semoga berguna. Amin.
Kenapa aku memilih BEM KM? Pada awalnya aku hanya ingin meneruskan hobbiku berorganisasi. Dengan latar belakang sebagai ketua OSIS, tentu jiwaku sudah berisi dengan organisasi. Tapi ketika beberapa bulan aku bergabung dengan BEM KM, ada yang lebih besar dari itu. Rakyat Indonesia masih menderita. Jutaan orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi di sisi lain, dengan enaknya seorang pejabat mengambil uang mereka. Jelas keadilan belum ditegakkan di negeri ini. Negeri ini hanya digunakan sebagai mainan oleh elite politik. Rakyat hanya dibutuhkan ketika mereka butuh suara di pemilihan umum. Setelah, rakyat pasti akan ditindas.
Sejarah negeri ini adalah sejarah tentang penindasan. 350 tahun kita dijajaha Belanda. 3,5 tahun dijajah Jepang. Tahun 1945 kita merdeka, tapi tentu kita masih miskin. Hampir 20 tahun pemerintahan Soekarno pun belum bisa menghasilkan perubahan yang signifikan. Justru terjadi pembunuhan besar-besaran pasca tragedi berdarah September 1965. Di Bawah Soeharto adalah salah satu episode terkelam dalam sejarah republik ini. Beberapa tahun Soeharto memimpin, tidak dapat kita pungkiri banyak kemajuan pembangunan yang dicapai. Namun setelah itu, KKN merajalela. Korupsi dimana-mana sementara rakyat dibiarkan menderita. Bahkan gerakan mahasiswa pun dibungkam. Tidak boleh ada yang bersuara.
Reformasi 1998 memberi harapan baru kepada rakyat Indonesia. Tapi ternyata sama saja. Reformasi hanya sebatas penumbangan Soeharto. Tidak lebih. Nyatanya sampai sekarang rakyat Indonesia masih banyak yang menderita. Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY, semua sama saja. Semua tunduk di bawah kepentingan asing. Tidak ada yang berani melawan. Habibie melepas Timor Timur, Mega menjual asset-aset Negara kepada asing, dan SBY bahkan 2 kali menaikkan harga BBM. Apakah Indonesia, negeri dengan lebih dari 200 juta jiwa penduduk ini tidak mampu lagi melahirkan para pemimpin besar yang berpihak kepada rakyat? Tidak adakah lagi Soekarno baru, Hatta, Natsir, Tan Malaka atau bahkan Soe Hok Gie?
Kemudian aku memutuskan untuk ikut berjuang bersama rekan-rekan yang lain. Hanya 3 % dari lebih dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Karena itulah, mahasiswa sebenarnya menanggung beban yang sangat berat. Sebab di belakangnya terletak nasib rakyat Indonesia. Sejak saat itu aku semakin yakin untuk mengambil peranku sebagai seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa yang mempunyai kontrol sosial terhadap jalannya kehidupan Negara. Mahasiswa hari ini tidak hanya dituntut secara akademis, tapi juga tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Karena kita adalah calon pemimpin bangsa nanti
Masuk Departemen Aksi dan Propaganda, demonstrasi tentu kegiatan yang biasa aku lakukan. Nyatanya memang kebijakan-kebijakan SBY masih banyak yang tidak berpihak kepada rakyat Indonesia. 2 kali menaikkan harga BBM, menjual hutan seharga pisang goring, menjual asset-aset Negara kepada asing tentu menjadi rapor merah pemerintahan SBY-JK ini. Kasus Lumpur Lapindo pun tidak mampu diselesaikan. Justru kasus tersebut dipolitisasi.
Tidak hanya isu politik nasional, rektorat UGM pun sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin mereka bisa menghalangi orang yang tidak punya biaya dan ingin masuk UGM? Bahkan dengan mudahnya salah seorang pejabat di rektorat bilang, kalau tidak punya biaya tidak usah kuliah. Menyakitkan sekali. Semoga dosa-dosa kita diampuni Allah. Amin. Semakin membuat semangatku untuk berjuang semakin tinggi.
Evaluasi sebelum semester 3. di semester awal nilai IP ku 3, 36. sementara di tahun semester dua IP ku turun menjadi 3,09. Catatan yang sangat jelek. Tapi aku merasa itu bukan karena aku tidak bisa. Itu hanya karena aku malas. Malas mengumpulkan tugas. Terlalu asik dengan demonstrasi. Tapi ternyata itu salah, mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang sukses secara akademis dan mampu menjalankan fungsi sosial yang dimiliki. Semester 3 besok harus lebih baik. Aku janji.
Mempertanyakan masa depan. Siapa yang tahu masa depan ku? Mungkin aku jadi direktur media di Indonesia, atau mungkin aku hanya akan jadi tukang sapu di taman. Aku tidak terlalu peduli. Sekarang aku cuma ingin berusaha menjalani peranku sebagai seorang mahasiswa. Aku ikhlas menjadi apapun nanti. Aku ikhlas.