Kamis, 30 Juli 2009

Menomorduakan Faktor Politis dan Populis

PEMILIHAN presiden baru saja usai.Hasil resmi KPU menetapkan pasangan SBY-Boediono menjadi pemenang dengan suara mutlak.Meski masih muncul gugatan dari dua pasangan capres dan cawapres yang lain, kecil kemungkinan gugatan ini akan mengubah hasil pilpres.

Artinya, SBY hampir pasti akan melanjutkan perannya sebagai presiden untuk periode 2009–2014. Tantangan awal SBY-Boediono adalah menentukan formasi kabinet yang akan membantu tugas mereka lima tahun yang akan datang. Ini memang mutlak dipertimbangkan karena begitu beratnya tantangan yang akan dihadapi oleh SBY-Boediono.

Tantangan paling besar terutama muncul dari bidang ekonomi dan keamanan.Di bidang ekonomi,SBY memiliki tugas berat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengantisipasi supaya Indonesia tidak terancam oleh krisis global.Di bidang keamanan, SBY memiliki kewajiban untuk menuntaskan ancaman terorisme yang baru saja menunjukkan hidungnya kembali dalam kasus bom Mega Kuningan.

Untuk memilih menteri yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan yang begitu berat, SBY harusnya menempatkan orang-orang secara tepat.Dari sini saya kemudian teringat dengan teori yang dikemukakan peraih Nobel Ekonomi, James Buchanan. Dia mengungkapkan teori yang disebut sebagai rational choice.

Teori ini mengasumsikan bahwa seorang politisi memilih keputusan dengan pertimbangan yang cukup matang dan berani mengambil risiko. Teori ini sebenarnya sudah dilakukan SBY ketika memilih Boediono sebagai calon wakil presiden.Di luar perkiraan banyak pihak,SBY memilih wakil dari kalangan teknokrat.

Nyatanya pilihan SBY ini terbukti dengan kemenangan mutlak pasangan ini.Kondisi inilah yang seharusnya terjadi lagi dalam pembentukan kabinet mendatang. SBY harus berani untuk mengisi kabinet lebih banyak dari kalangan profesional.

Dalam kondisi krisis dan ancaman keamanan yang terus mengintai negeri ini,SBY membutuhkan figur yang tidak hanya mampu menjalankan tugas, tapi juga mampu memberikan alternatif jalan keluar secara cepat dan tepat.Dengan begitu,pembentukan kabinet yang terdiri dari para ahli tentu menjadi sebuah pilihan rasional seperti diungkapkan Buchanan tadi.

Selain karena mampu menjawab tantangan dengan cepat, zakenkabinet juga akan membuat tingkat kestabilan kabinet lebih baik.Apalagi menteri dari kalangan profesional bebas dari kepentingan dengan parpol. Inilah yang tidak dipunyai oleh kabinet SBY periode 2004–2009 kemarin.

Banyaknya menteri yang berasal dari parpol nyata membuat kabinet tidak stabil dan tidak efektif, terutama setahun menjelang pemilihan umum.Alih-alih sibuk menjalankan tugas negara, mereka justru lebih sibuk berkampanye menjalankan tugas partai mereka. Mengingat masalah besar yang dihadapi bangsa ke depan,SBY memang harus berani mengambil risiko.

Meskipun resistensi dari parpol koalisi pasti akan cukup besar, SBY sebaiknya menomorduakan faktor politis dan populis. Artinya,kalangan profesional adalah pilihan paling rasional bagi SBY. Ini jika SBY ingin memecahkan berbagai permasalahan bangsa dan memberikan warisan indah di periode terakhir kepemimpinannya.Semoga.
(dimuat di harian Seputar Indonesia 30 Juli 2009)

Sabtu, 25 Juli 2009

Kemenangan ala Reagan

Pemilu presiden baru saja usai. Dan hasil sementara quick count yang biasanya tidak jauh berbeda dengan hasil resmi KPU menetapkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang.

Melihat kemenangan mudah SBY ini, saya kemudian teringat dengan kemenangan Ronald Reagan di pemilu Amerika Serikat 1980. Ketika itu, Ronald Reagan yang notabene seorang artis, berhasil mengejutkan dunia dengan memenangi pemilu dan menjadi presiden AS. Padahal, saat itu usia Reagan hampir mendekati 70 tahun. Dia tercatat sebagai presiden AS tertua ketika memperoleh kekuasaan.

Kemenangan Reagan sendiri ditentukan oleh faktor bandwagon effect yang dilakukan oleh tim suksesnya. Bandwagon effect yaitu kecenderungan masyarakat akan melakukan atau memercayai sesuatu karena mayoritas orang melakukan atau mempercayai hal tersebut. Kala itu jaringan televisi NBC telah mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll. Pengumuman exit poll dilakukan ketika pemilih di wilayah timur Amerika telah selesai memilih. Padahal di wilayah barat, pemilihan belum dilakukan karena adanya perbedaan waktu.

Karena di wilayah timur Reagan menang mutlak, akibatnya pemilih di barat yang telah mengetahui kemenangan tersebut cenderung untuk memilih sang pemenang. Dan fakta membuktikan bahwa Reagan kemudian menang dengan cukup telak.

Kondisi yang sama tentu dapat kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlangsung di Indonesia. Tim sukses SBY bahkan sudah mencoba menggunakan bandwagon effect jauh hari sebelum pilpres berlangsung. Hal ini terlihat dari survei-survei yang dilakukan oleh tim sukses SBY-Boediono. Hampir di setiap survei yang dirilis setiap tiga bulan sekali, SBY menang telak dibandingkan pasangan yang lain.

Tidak hanya dilakukan sebelum pilpres, bandwagon effect bahkan dilakukan ketika hari pencontrengan tengah berlangsung. Hampir sama seperti yang dilakukan oleh NBC tahun 1980, beberapa stasiun televisi di Indonesia pun selalu meng-up date hasil sementara pilpres melalui exit poll. Hampir setiap jam kita dapat melihat bagaimana mutlaknya kemenangan SBY.

Namun, yang lebih kontroversial, hasil exit poll ini diumumkan ketika masih ada daerah yang belum melakukan pemilihan. Beberapa daerah di Papua bahkan melakukan pemilihan di hari berikutnya. Hasil exit poll yang diumumkan sebelum pemilihan selesai dilaksanakan sepenuhnya tentu memengaruhi psikologi masyarakat. Kebanyakan masyarakat tentu akan beranggapan buat apa lagi memilih pasangan yang lain jika SBY sudah menang, dengan angka mutlak pula.

Apalagi SBY juga diuntungkan oleh statusnya sebagai presiden incumbent. Dengan posisi tersebut, dia tentu memiliki keuntungan dibandingkan dua pasangan yang lain. Bahkan, bila dibandingkan dengan Jusuf Kalla yang juga seorang wapres incumbent.

Pilpres kali ini memang menunjukkan sebuah efek yang luar biasa dari pembentukan opini publik. Akhirnya, berbagai hal yang dilakukan oleh tim sukses pasangan lain seolah percuma. Debat capres yang menunjukkan elektabilitas JK naik tajam pun akhirnya tidak berarti apa-apa. Kritikan-kritikan Mega-Prabowo terhadap pemerintah pun hanya menjadi angin lalu. Sekali lagi, pesona SBY memang masih menarik buat masyarakat Indonesia. Ditambah dengan band-wagon effect yang sukses, SBY membuat pemilu hanya berlangsung satu putaran.
(dimuat di harian Kompas 25 Juli 2009)