Minggu, 05 Desember 2010

Di Antara Prestasi dan Bunuh Diri


Judul Buku : After Orchad
Penulis : Margareta Astaman
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : vi +193 halaman
Cetakan : Pertama, 2010

Singapura menjadi salah satu negara yang menjadi tujuan favorit pelajar Indonesia untuk meneruskan studi di perguruan tinggi. Kualitas pendidikan yang berstandar internasional, biaya yang murah, serta jarak yang relatif dekat menjadi daya tarik tersendiri. Untuk mencapai negeri singa tersebut hanya dibutuhkan waktu penerbangan satu jam dari Jakarta. Tidak hanya itu, kehidupan yang serba teratur juga menjadi alasan lain mengapa banyak yang tertarik kuliah di sana.

Sabtu, 13 November 2010

Kampus dan Solidaritas Sosial

Selalu ada berkah di balik musibah. Bencana alam yang akhir-akhir ini rutin “menyapa” negeri ini memang telah merenggut banyak hal. Banyak nyawa manusia yang menjadi korban, hewan ternak yang mati sia-sia, kerugian materi yang tak terhitung, sampai rasa trauma yang membekas terutama bagi para korban bencana. Namun dibalik itu semua, bencana telah menunjukkan bahwa solidaritas sosial masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Kampus, menjadi salah satu elemen yang ambil bagian dalam solidaritas sosial tersebut. Solidaritas yang muncul di tengah defisit keteladanan dari para pemimpin negeri ini.

Selasa, 12 Oktober 2010

Humanisasi Sepeda Motor

Jangan-jangan kemacetan di jalan yang diakibatkan oleh sepeda motor maupun kendaraan lainnya hanya memberi legitimasi bahwa sebenarnya kebudayaan kita juga sedang mengalami kemacetan.

Apakah anda pernah mengumpat ketika sedang berada di jalan? Atau setidaknya, apakah pernah marah karena melihat perilaku pengguna jalan raya yang sembrono? Saya kira, semua orang yang mendapat pertanyaan ini akan menganggukan kepala tanda setuju. Semakin padat dan macet sebuah jalan, umpatan maupun kemarahan akan muncul dengan otomatis. Bisa jadi, fenomena ini mempertegas adagium yang menjelaskan bahwa jalan merupakan cerminan sebuah peradaban. Kesemrawutan yang muncul di jalan menunjukkan bahwa di saat yang bersamaan kehidupan sosial kita sedang semrawut. Setiap orang dengan ego dan kepentingannya masing-masing seolah berusaha untuk saling menguasai jalan.

Minggu, 03 Oktober 2010

Ketika Negara Mengatur Rambut


Judul Buku : Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda 1970an
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : xxii +161 halaman
Cetakan : Pertama, 2010

Rambut gondrong menjadi musuh awal Orde Baru selain komunisme.
Barangkali banyak yang tidak tahu bahwa gunting pernah menjadi alat utama Orde Baru untuk mengatur rakyatnya sendiri. Anda tak perlu heran. Ya, dalam dekade awal berdirinya rezim ini, kebijakan anti rambut gondrong pernah dikeluarkan pemerintah. Kebijakan yang dibarengi dengan hukum potong rambut di tempat bagi siapapun yang melanggarnya. Buku Aria Wiratman Yudhistira ini mencoba melakukan penelusuran terhadap episode sejarah yang menggelikan sekaligus mengenaskan tersebut.

Awal tahun 1970an menjadi masa yang menyibukkan bagi rezim untuk menyiapkan landasan kekuasaannya. Jargon “ekonomi sebagai panglima” dikeluarkan. Jargon yang diperkuat oleh strategi kebijakan ini dirancang sekelompok ilmuwan ekonomi yang kemudian dikenal dengan Mafia Berkeley. Pintu bagi investasi modal asing dibuka seluas-luasnya. Program “bersih lingkungan” dari unsur komunisme terus diperkuat untuk menjaga stabilitas pembangunan ekonomi.

Senin, 13 September 2010

Hujan

Ayam! Ucapmu setengah berteriak. Teriakan yang lantas kamu sadari dengan tersenyum malu karena kehadiran ibu di ruang tamu rumahku. Ya, aku tak heran dengan keterkejutanmu itu. Pengakuan bahwa kamu jarang melihat ayam hidup pun hanya menegaskan anggapanku bahwa kotamu memang kota yang kejam. Kota yang bahkan tidak memberi kesempatan kepada ayam untuk sekadar berjalan-jalan mencari makan. Persis seperti yang kamu lihat di depan rumahku. “Selama ini jarang lihat ayam jalan, paling sering lihat ya ayam goreng”, katamu. Ungkapan yang lantas membuat kita, dan ibuku, tertawa.

Senin, 06 September 2010

Bang Hadi Sang Penjaga Akal Sehat


Judul Buku : Ashadi Siregar : Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru
Penyunting : Candra Gautama, Nanang Junaedi, M.Taufiqurohman, Ana Nadhya Abrar
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxiii + 374 halaman
Cetakan : Juni 2010


Bukankah seorang intelektual harus mampu menunjukkan karakter personal yang kuat? Sebagian besar pasti akan menganggukkan kepala jika mendapat pertanyaan tersebut. Sayang, kondisi masyarakat modern yang kian hari kian pragmatis justru melahirkan sosok intelektual yang minim karakter. Julian Benda menyebut intelektual yang minim karakter ini sebagai pengkhianat. Alih-alih memberikan sumbangsih bagi keadaban publik, mereka justru semakin sibuk mengejar kepentingan pribadi. Kita hampir kesulitan untuk menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan oleh masyarakat. Hanya sedikit saja yang mampu menyelami dan bergerak bersama masyarakat.

Rabu, 18 Agustus 2010

Menggugat Penelitian Universitas

Dalam dinamika kehidupan masyarakat modern, perguruan tinggi merupakan salah satu elemen yang menjadi benteng ilmu pengetahuan. Artinya, perguruan tinggi berperan untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Peran ini kemudian dimanifestasikan dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah penelitian.

Tak heran jika kemudian banyak perguruan tinggi di tanah air beramai-ramai menjadi research university. Di titik ini, saya menilai bahwa cita-cita tersebut memang wajar karena menjadi universitas riset merupakan sebuah conditio sine qua non. Apalagi di tengah kemandegan kultur akademik di Indonesia yang kering dari tradisi penelitian. Bahkan kalaupun ada penelitian-penelitian yang muncul, tidak bisa sampai pada tahap menggugat narasi besar dan metodologi yang tercantum dalam teks-teks lama.

Dengan menjadi universitas riset, diharapkan akan muncul inovasi-inovasi baru dari universitas. Sebagaimana diidealkan, riset yang dilakukan dan berdasarkan realitas sosial akan mampu menjawab karut-marut persoalan yang kini tengah melanda masyarakat. Universitas pun tak hanya menjadi menara gading yang terpisah dari lingkungannya.

Namun ketika melihat kondisi saat ini, barangkali kita harus mengurut dada. Cita-cita menjadi universitas riset masih jauh panggang daripada api. Alih-alih melahirkan riset-riset yang mampu menjawab berbagai keresahan di tengah masyarakat, penelitian yang dilakukan malah menjadi arena kontestasi ekonomi-politik. Heru Nugroho (2006) menyebutnya sebagai arena perebutan kekuasaan. Mengapa demikian?

Keuntungan Ekonomi-Politik
Sebagaimana dipaparkan Heru, kegiatan penelitian universitas memiliki sisi lain yang memiliki keuntungan ekonomi bagi penelitinya. Civitas academica baik dosen maupun mahasiswa yang memiliki akses luas ke penelitian pada akhirnya juga akan memiliki akses ekonomi yang lebih banyak. Bahkan, akses ini kemudian bisa membentuk jejaring patronase yang memiliki keuntungan politik.

Sebagai contoh, keuntungan ekonomi ini diperoleh dari dana penelitian yang diberikan oleh kampus maupun lembaga donor. Tak jarang para peneliti lebih sibuk untuk mencari penelitian yang “basah” dengan dana yang melimpah. Meskipun untuk itu, integritas sebagai ilmuan harus dikorbankan. Penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi terbesar di negeri ini menunjukkan hal tersebut. Beberapa saat yang lalu kita diguncang oleh penelitian mengenai analisis isi terhadap majalah Tempo. Penelitian ini kontroversial karena sang pemberi donor sedang tersangkut kasus pengemplangan pajak terbesar dalam sejarah republik ini. Ironis.

Penelitian-penelitian yang dilakukan mahasiswa pun seringkali menunjukkan hal yang sama. Saya tidak bermaksud menggeneralisir, tapi berdasarkan pengalaman saya sendiri, mahasiswa-mahasiswa seringkali hanya meneliti sekenanya saja. Manipulasi data dalam pengumpulan laporan penelitian juga sering dilakukan. Tidak hanya penelitian yang didanai oleh universitas melainkan juga penelitian semacam Program Kreativitas Mahasiswa yang setiap tahun didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Achmad Choirudin (2009) menjelaskan bahwa riset yang dilakukan mahasiswa terkadang bisa membentuk jejaring perkoncoan. Jejaring yang menetap ini kemudian mengelompok sendiri untuk bisa mengakses dana penelitian. Bisa kita lihat bahwa mahasiswa yang aktif ikut program penelitian hanya itu-itu saja. Tidak hanya horizontal, Achmad juga menjelaskan bahwa jejaring ini bergerak secara vertikal. Dosen yang mendampingi kelompok mahasiswa tadi juga dosen yang itu-itu saja. Kondisi ini terjadi karena ikatan emosional sudah terbentuk antara mahasiswa dan dosen. Namun, bukankah ini kemudian akan menutup akses bagi mahasiswa lain?

Peran Negara dan Masyarakat
Melihat kondisi di atas, tentu bukan saatnya kita menanggapinya dengan pesimisme. Justru di titik ini, peran negara dan masyarakat begitu sentral dalam mengawal berbagai penelitian yang dilakukan oleh universitas. Negara memiliki peran penting untuk memberi subsidi (terutama dana) terhadap penelitian yang dilakukan universitas. Dengan demikian, universitas tidak lagi hanya mengandalkan dana dari lembaga donor yang terkadang bisa bias kepentingan. Selain itu, negara juga harus mengawal agar riset yang dilakukan oleh universitas memang memiliki output serta kegunaan yang jelas. Terutama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Sementara itu, masyarakat sebagai bagian dari civil society juga memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal agar riset yang dilakukan universitas tetap di jalur yang benar. Apa yang dilakukan oleh warga Kulonprogo barangkali bisa menjadi contoh. Tahun 2009 lalu, ribuan warga melakukan aksi demonstrasi di depan universitas yang terlibat penelitian di daerah Kulonprogo. Penelitian itu sendiri dianggap bermasalah karena memberi legitimasi bagi proyek penambangan pasir besi.

Sinergi antara negara, masyarakat dan universitas ini memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab berbagai penelitian yang dilakukan toh akhirnya akan kembali kepada negara dan masyarakat. Dengan demikian, universitas tidak akan hanya menjadi menara gading yang terpisah dari rakyat Indonesia. Semoga.
(Dimuat di Suara Merdeka 18 September 2010)

Senin, 05 Juli 2010

Upaya Melawan Lupa : Tolak Kebijakan Kartu Identitas Kendaraan di UGM!

Pada mulanya adalah Surat Edaran Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia Nomor 5890/PII/Dir-PPA/2009 tentang Uji Coba Pengoperasian Portal Jalan Pancasila tertanggal 12 Agustus 2009. Berdasar surat ini, Portal Gate kemudian dipasang di gerbang Bunderan UGM. Sementara mereka yang lewat di jalan Sosio-Humaniora kemudian diwajibkan untuk menerima karcis parkir. Dalam surat itu sendiri dijelaskan mengenai penutupan beberapa ruas jalan di UGM yang akan ditutup untuk “mewujudkan lingkungan kampus yang tenang dan nyaman”. Selain itu, surat ini juga menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, identitas kendaraan akan diberlakukan setelah ujicoba berhasil dan berbagai permasalahan yang timbul dapat teratasi. Setelah muncul Surat Edaran ini, media massa kemudian ramai-ramai memberitakan mengenai pemberlakukan parkir berbayar di UGM. Salah satunya adalah Kompas (http://regional.kompas.com/read/2009/08/19/21591533/wah....lewat.ugm.harus.bayar.parkir).

Setelah itu, kontroversi muncul dan isu ini berkembang liar di kalangan sivitas akademika sendiri maupun masyarakat Yogyakarta. Dalam wawancara dengan media massa seperti dikutip dari Harian Jogja, Kedaulatan Rakyat, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Humas UGM Suryo Baskoro mengatakan bahwa "Pengelolaan akan diserahkan kepada pihak swasta dengan alasan agar kebijakan pemungutan tarif parkir bisa diterapkan secara profesional. Besarnya tarif masih dalam pembahasan”. Sementara itu Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia, Ainun Na’im mengatakan bahwa “Berdasarkan diskusi kita, mobil akan dikenakan tarif, walaupun kita masih belum tahu berapa”. Dalam perkembangannya, meskipun bulan puasa, ratusan mahasiswa UGM kemudian melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan ini. Tidak hanya mahasiswa, beberapa dosen pun dengan terang-terangan menolak kebijakan yang minim sosialisasi ini.

Sabtu, 03 Juli 2010

Jalan Baru Pers Mahasiswa

Tulisan Lubabun Ni'am berjudul Autokrotik bagi Pers Mahasiswa di halaman ini (12/6) menunjukkan rasa pesismisme yang begitu kental dalam memandang pers mahasiswa (persma). Seperti diungkapkan Ni’am, pasang-surut kiprah persma kini tiba pada situasi yang mencemaskan. Berderet persoalan pelik menguntit dan mengancam keberadaan pers mahasiswa. Kekhawatiran yang masuk akal, tapi saya kira itu terlalu berlebihan.

Mulanya, kita memang harus memahami bahwa upaya pembacaan terhadap persma seharusnya dianggap sebagai proses dialektis yang berjalan seiring di antara kondisi subyektif pegiat persma dengan keadaan obyektif di mana persma berada. Dengan demikian, laku reflektif bisa menemukan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini penting sebagai upaya untuk meletakan peran dan posisi persma dalam dinamika kehidupan mahasiswa dan perguan tinggi.

Untuk memulai laku refleksi, kita bisa membaca dari apa yang sempat disampaikan Abdulhamid Dipopramono. Dalam tulisan berjudul Pers Mahasiswa dalam Era Informasi (1987), Abdulhamid menyerukan perlunya demitosisasi pers mahasiswa. Dalam konteks ini, demitosisasi tidak dimaknai sebagai langkah untuk menggerus idealisme persma. Namun, demitosasi merupakan perwujudan untuk menempatkan standar yang berbeda dalam mengukur keberhasilan persma.

Di era 60-an sampai 80-an, standar keberhasilan persma diukur ketika oplah penerbitannya besar dan menjadi rujukan bagi masyarakat. Kita bisa lihat dari keberhasilan Mimbar Demokrasi, Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Gelora Mahasiswa yang oplahnya setiap terbit bisa menembus angkan puluhan ribu, melampaui pers umum. Besarnya oplah ini menjadi masuk akal karena persma di era itu menjadi bacaan yang alternatif dengan analisis kritis obyektifnya, ciri khas mahasiswa. Apalagi, pers umum ketika itu seolah tiarap menghadapi represi dan pembreidelan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sementara itu di era 90-an, meskipun tetap menjadi bacaan yang alternatif, oplah persma menurun drastis. Ini dikarenakan sebagian besar pegiat persma menggunakan lembaganya untuk melakukan gerakan perlawanan menentang rezim Orde Baru. Karena itu, persma kemudian memasuki babak baru sebagai media propaganda dengan gaya bahasa yang meledak-ledak dan provokatif. Puncaknya, persma menjadi salah satu elemen yang ikut andil dalam menggulingkan rezim Orba pada 1998. Era yang bisa dimaknai sebagai salah satu keberhasilan sekaligus titik balik persma.

Di titik inilah standar baru bagi kisah kepahlawanan persma mesti digunakan. Ketika hidup dalam alam demokrasi seperti saat ini, persma sudah tidak seharusnya bersaing dengan pers umum untuk mengejar oplah penerbitan. Sebab, persaingan akan menghasilkan kekalahan yang sia-sia. Karena itu, persma pasca reformasi lebih baik mengarahkan penerbitannya pada ciri khas mahasiswa yang kritis, obyektif, analitis dan kaya ide. Ciri khas yang melekat erat pada mahasiswa sebagai pegiat persma inilah yang membedakannya dengan pers umum.

Jalan Baru
Didik Supriyanto dalam buku Perlawanan Pers Mahasiswa : Protes Sepanjang NKK/BKK (1998) menawarkan jurnalisme struktural sebagai jalan baru bagi para pegiat persma. Inti dari jurnalisme struktural adalah pada idealisme persma itu sendiri. Apa idealisme persma? Dengan integrasi antara pers dan mahasiswa, persma memiliki idealisme untuk melakukan kontrol sosial. Kontrol sosial dalam konteks jurnalisme struktural mengandaikan bahwa aktivitas persma tidak terbatas pada usaha penerbitan semata.

Konteks tersebut yang menggiring kita pada satu pemahaman bahwa persma harus memberikan perlawanan kepada kekuasaan. Kalaupun tidak secara langsung vis a vis negara seperti era Orde Baru, persma harus menjadi basis perlawanan terhadap kekuasaan pemimpin kampus yang sewenang-wenang dan otoriter. Kesewenang-wenangan ini biasanya terlihat dari adanya kebijakan kampus yang sepihak dan merugikan mahasiswa.
Artinya, untuk melakukan protes-protes ini, persma juga harus melakukan agenda non-penerbitan yang cukup intens selain kegiatan penerbitan. Beragam kegiatan bisa dilakukan seperti diskusi dan pendampingan advokasi masyarakat. Diskusi, menjadi tradisi yang mencerminkan potensi intelektual mahasiswa. Persma sebagai nafas intelektual mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk terus menjaga semangat tersebut.

Dengan diskusi, mahasiswa-mahasiswa yang kini hidup di tengah kepungan era hedonisme paling tidak mampu menjaga jarak dan tetap bersikap kritis. Inilah fungsi penyadaran. Sementara itu, untuk tidak memisahkan apa yang dipelajari dengan realitas sosial, persma bisa melakukan proses advokasi masyarakat yang minim akses. Ini untuk mematahkan asumsi bahwa universitas (termasuk mahasiswa di dalamnya) merupakan menara gading yang terpisah dari masyarakat. Selain terlibat pendampingan advokasi masyarakat, persma sekaligus bisa mengambil peran untuk mengawal literasi media.

Optimisme
Sindiran Daniel Dhakidae (1977) bahwa apa yang dilakukan oleh persma seperti “suara yang melengking di padang gurun” tidak sepatutnya ditanggapi dengan kekhawatiran berlebihan. Beberapa saat yang lalu penulis mengikuti Pekan Nasional Pers Mahasiswa di Makassar. Dalam forum yang mempertemukan persma se-Indonesia ini, rata-rata persma mengeluhkan minimnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Karena minim SDM, mereka harus pontang-panting untuk menghidupi lembaganya. Salah satu persma di Jakarta bahkan hanya memiliki tujuh awak untuk menggarap semua agenda.

Namun yang menarik, sebagian besar persma tidak mempermasalahkan itu semua dan justru menjadi tantangan untuk terus menjadi avant garde idealisme mahasiswa. Di titik inilah, tidak ada alasan bagi para pegiat persma untuk tidak merasa optimis. Meminjam istilah Eka Suryana Saputra (2010), kini waktunya persma menyambangi wilayah-wilayah tak bertuan. Wilayah yang memungkinkan persma untuk menempatkan dirinya sesuai dengan zaman ia berada.
(Dimuat di Suara Merdeka 3 Juli 2010)

Selasa, 15 Juni 2010

Produksi Batako berbasis Jimpitan

Dalam era yang disebut sebagian orang sebagai globalisasi ini, ternyata masih ada daerah yang menjaga kearifan lokal sebagai basis kegiatan kehidupan sehari-hari. Setidaknya ini dapat dilihat dari aktivitas jimpitan warga Panggang Gunungkidul, Yogyakarta. Tradisi jimpitan yang sudah berlangsung secara turun temurun ini mampu mengikat warga secara horizontal. Ini dikarenakan model pinjaman yang diberikan oleh warga satu kepada warga lainnya apabila membutuhkan bantuan ekonomi. Dalam konteks saat ini, tradisi yang sudah menjadi modal sosial masyarakat Panggang ini kemudian diubah menjadi basis kegiatan yang lebih produktif.

Diinisiasi oleh tim PKM-M UGM, tradisi jimpitan menjadi dasar untuk mengembangkan produksi batako di desa tersebut. Jika dilihat, produksi batako memang menjadi masuk akal jika melihat potensi alam di Panggang yang dikelilingi oleh pegunungan kapur. Produksi ini bahkan mampu meningkatkan tingkat ekonomi warga karena mampu menarik tenaga kerja baru dari warga yang sebelumnya tidak memiliki mata pencaharian. Secara umum, produksi batako mandiri sudah mampu digunakan oleh warga untuk meningkatkan kebutuhan di internal masyarakat.

Sementara itu, usaha untuk memasarkan batako keluar juga sudah dilakukan. Terbukti dengan adanya pembeli dari Pegawai Negeri Sleman beberapa waktu yang lalu. Dalam skala lebih luas, usaha promosi keluar ini memang perlu ditingkatkan karena terbukti memiliki potensi yang cukup besar. Artinya, kearifan lokal menjadi salah satu potensi yang kuat jika mampu dimanfaatkan untuk usaha yang lebih produktif. Bersama masyarakat, tim PKM-M UGM membuktikan hal tersebut. [Wisnu]

Selasa, 30 Maret 2010

Reorientasi Gerakan Mahasiswa

Carut marut sidang paripurna DPR yang membahas Bank Century beberapa waktu lalu ternyata menyisakan banyak persoalan. Tidak hanya persoalan di wilayah elite, tapi juga menyangkut gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi salah satu pihak yang konsisten menyuarakan dukungan kepada DPR untuk menuntaskan kontroversi dana bailout pemerintah kepada Bank Century. Ini dapat dilihat dari masifnya aksi demonstrasi yang dilakukan di berbagai daerah. Namun sayang, aksi-aksi ini seolah berakhir antiklimaks. Seiring selesainya masa kerja pansus, aksi yang dilakukan gerakan mahasiswa justru terjebak pada kerusuhan, paling tidak di Jakarta dan Makassar. Dalam kasus berbeda, beberapa waktu yang lalu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga juga terlibat bentrokan dengan aparat kampus. Selasa (24/3) aksi beberapa elemen mahasiswa di Yogyakarta yang tergabung dalam Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia juga diwarnai bentrokan. Melihat serpihan peristiwa tersebut, kita seperti dipaksa untuk kembali mendiskusikan posisi dan peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Tulisan Mohamad Fathollah berjudul Disorientasi Gerakan Mahasiswa (22/3) di halaman ini mencoba ikut urun rembug mengenai orientasi gerakan mahasiswa. Tulisan yang cukup emosional tersebut menunjukkan sebuah kegusaran yang besar. Kegusaran yang berawal dari artikel berjudul Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan di harian ini (19/3) yang menurutnya mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum.
Aksi anarkis yang dilakukan gerakan mahasiswa, seperti disebutkan Fathollah, tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi. Ia juga menjelaskan bahwa kita terburu-buru menghakimi jika hanya melihat gerakan mahasiswa hanya dari aksi-aksi anarkis. Sebab, pada kenyataannya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa di tahun 1965, 1974, dan 1998 juga melahirkan anarkisme massa. Namun, karena hanya fokus pada ranah mekanistis-teknis aksi-aksi mahasiswa, Fathollah justru tampak hantam krama dan justru mengesankan gerakan mahasiswa memiliki jarak dengan rakyat. Sebagai pembaca, saya cukup merasa gusar atas kegusaran tulisan itu.

Disorientasi
Ketika membincangkan gerakan mahasiswa, mau tidak mau kita memang harus membicarakan konteks historis yang cukup panjang. Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), Soewarsono mengajukan sebuah pernyataan krusial. Baginya, gerakan mahasiswa adalah sebuah keluarga. Ikatan ini terjalin dari serangkaian tonggak-tonggak yang disebut sebagai angkatan. Tak heran jika kita cukup familiar dengan angkatan 1908, 1928, 1966, 1974, 1990 serta yang paling fenomenal, angkatan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil yang diperoleh angkatan 1998 – menumbangkan rezim Orde Baru – tentu tidak dapat dilepaskan dari serangkaian proses yang juga dilakukan angkatan sebelumnya.
Dari semua angkatan yang ditonggakkan tersebut, ada satu hal krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Gerakan mahasiswa mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat. Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 1998 ketika pecah peristiwa reformasi. Ibu-ibu dengan sukarela menyediakan makanan dan minuman bagi para peserta aksi demonstrasi baik itu di Bunderan UGM maupun di tempat-tempat lain. Ini menunjukkan bersatunya rakyat dan mahasiswa. Mahasiswa sebagai kelas menengah memperjuangkan rakyat yang ditindas oleh rezim otoritarian. Sementara rakyat turut membantu perjuangan yang dilakukan mahasiswa. Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun mendapat dukungan dari masyarakat. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa mampu merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Inilah masa bulan madu antara rakyat dan mahasiswa.
Namun, bulan madu itu barangkali harus segera di akhiri. Pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi. Berbagai hal yang dulu pernah diperjuangkan justru menyerang balik mereka. Wacana kebebasan pers, demokratisasi, Hak Asasi Manusia, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terdesak. Gerakan mahasiswa kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat, cenderung menjadi menara gading kampus. Menara gading yang hanya sibuk menghabiskan waktunya dengan teori-teori di kampus yang seringkali berbeda dengan kondisi riil masyarakat. Aksi-aksi yang dilakukan bahkan justru membuat mahasiswa berhadapan dengan rakyat. Kerusuhan di beberapa daerah yang membuat mahasiswa vis a vis masyarakat pun menjadi hal yang biasa.
Disorientasi ini membuat mahasiswa begitu mudah terjebak dalam wilayah politik praktis. Indikasinya, organisasi gerakan mahasiswa ekstra kampus yang seringkali mendominasi lembaga intra kampus memperlihatkan afiliasi yang bisa dirasakan terhadap parpol tertentu. Afiliasi tersebut bahkan seperti tidak bisa disangkal ketika mahasiswa hanya menyibukkan diri untuk merespon isu-isu elite. Sebagai contoh, kasus Bank Century dan kasus Cicak vs Buaya. Dua kasus tersebut memang cukup penting dan respon mahasiswa sebagai salah satu elemen civil society pun diperlukan. Namun, mahasiswa sepertinya lupa, kasus tersebut adalah isu elite yang penuh dengan rekayasa. Masih banyak isu-isu kerakyatan yang menyangkut nasib masyarakat luas, namun tidak diperjuangkan.

Reorientasi
Dulu, mahasiswa memiliki musuh bersama untuk ditumbangkan, rezim Orde Baru. Ini memudahkan berbagai elemen untuk bersatu karena adanya kepentingan bersama untuk menumbangkan pemerintah. Tak heran ketika musuh bersama sudah tumbang, gerakan menjadi kocar-kacir tanpa arah yang jelas. Jika mengamini Fathollah, musuh bersama tidak lagi diperlukan. Sebab, kini musuh tersebut mewujud dalam pemerintah serta segala bentuk keotoriteran yang dipraktekkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. Hal terpenting adalah gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Sekalipun demikian, logika tersebut saya kira perlu dipertanyakan ulang. Jika gerakan mahasiswa yang penting anti pemerintah, ini tentu melupakan masyarakat sebagai entitas yang diperjuangkan. Bahkan bisa cenderung terjebak pada isu elitis. Padahal, aksi-aksi mahasiswa pada dasarnya ditujukan untuk membela rakyat, bukan dirinya sendiri. Kondisi ini selayaknya membuat gerakan mahasiswa perlu membuat sebuah tonggak baru. Bagaimanapun juga, sebuah tonggak diperlukan untuk membuat mahasiwa kembali memahami di mana peran dan posisinya. Zaman sudah berubah sehingga mahasiswa tidak lagi bisa memakai cara yang sama untuk mendekati permasalahan yang berbeda.Reorientasi harus dilakukan.
Reorientasi tersebut saya kira lebih tepat diarahkan pada usaha-usaha utuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, mahasiswa harus belajar turun ke bawah. Turun ke bawah tentu dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan pendidikan serta pengabdian kepada rakyat Indonesia. Belajar langsung di tengah-tengah rakyat akan membuat mahasiswa memahami dua hal. Pertama, mereka akan mampu menguji teori-teori yang selama ini dipelajari di bangku-bangku kelas. Pembuktian ini akan memperlihatkan apakah teori-teori yang ada selama ini memiliki manfaat bagi masyarakat. Kedua, turun ke bawah akan membuat mahasiswa mampu mempelajari kemandirian rakyat. Artinya, mahasiswa akan menemukan potensi serta kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Potensi inilah yang sangat penting. Ketika masyarakat sudah paham kekuatan yang dimilikinya, ia tidak akan mudah ditindas oleh penguasa yang diskriminatif. Ia akan mampu berdiri sendiri, mandiri, kreatif dan tidak selalu menjadi sosok yang pasif menunggu pertolongan. Selain itu, mahasiswa sendiri juga tidak akan mudah goyah karena sudah memperoleh dukungan yang berakar dari masyarakat.
Akhirnya, membicarakan gerakan mahasiswa seharusnya tidak dilepaskan dari masyarakat yang menjadi basis awalnya. Aksi-aksi mahasiswa harus dibarengi dengan upaya pemberdayaan masyarat dan ditujukan untuk menyasar kepentingan rakyat banyak, bukan elite. Sehingga ketika muncul slogan-slogan kerakyatan dalam aksi mahasiswa, ia tidak hanya sekadar romantisme kelas menengah yang ingin menjadi dewa penolong rakyat miskin.(dimuat di Kompas 27 Maret 2010)

Wisnu Prasetya Utomo
(Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM)

Orientasi Baru Gerakan Mahasiswa

Jujur saya terhenyak ketika melihat kerusuhan yang melibatkan Mahasiswa, kepolisian, dan masyarakat di Makassar. Kerusuhan berawal dari penyerangan yang dilakukan oleh oknum kepolisian terhadap sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anggota HMI yang tidak terima lantas melakukan semacam aksi balasan kepada aparat kepolisian. Namun, akibatnya justru fatal, warga justru ikut terlibat dan ikut menyerang mahasiswa yang kemudian meyulut kerusuhan selama dua hari. Sementara di Jakarta, ratusan mahasiswa terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat berlangsung sidang paripurna membahas Pansus Century. Banyak yang mengecam aksi anarkis mahasiswa ini, tapi tak sedikit juga yang mendukung. Hal ini terlihat dari aksi solidaritas yang terus bermunculan di berbagai daerah.Dari potongan peristiwa ini, kita diajak mendiskusikan kembali mengenai gerakan mahasiswa dan posisinya dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Setiap kali membincangkan GM, kita seolah diajak untuk beromantisme dengan sejarah masa lampau. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini Tahun 1966, GM yang dibantu oleh militer berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama Soekarno. Tahun 1974, mahasiswa melakukan perlawanan terhadap dominasi Jepang atas pasar dalam negeri. Perlawanan yang memicu pecahnya kerusuhan yang sekarang kita kenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari). Sementara yang paling legendaris, tentu saja kegemilangan GM 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto yang sudah menguasai Indonesia selama 32 tahun.
Namun, romantisme sejarah itu nampaknya harus segera di akhiri jika kita menengok kondisi GM saat ini. Pasca reformasi 1998, GM mengalami disorientasi. Apa yang dulu diperjuangkan seolah menyerang balik mereka. Wacana keterbukaan, kebebasan pers, demokrasi dan HAM, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi GM terpojok. GM kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat. Bahkan, cenderung menjadi menara gading kampus. Menara gading yang hanya sibuk berkutat dengan teori-teori besar di kampus dan melupakan masyarakat sebagai basis awalnya.

Disorientasi Peran

Hermawan Sulistiyo (1999), mengajukan empat alasan utama GM mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, GM tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, GM terkadang justru menjadi lawan masyarakat.
Ketiga, GM sampai pada titik jenuh. Hal ini diakibatkan siklus sejarah yang memberikan terulangnya situasi pasca lengsernya Soeharto. Hal ini ditambah dengan liberalisasi kampus sejak 1999 yang membuat biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Tercatat, empat kampus (UGM, UI, ITB, IPB) yang menjadi salah satu poros bagi GM telah berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (kini menjadi Badan Hukum Pendidikan). Kondisi ini menyebabkan banyak mahasiswa mengalami kesulitan untuk bertahan hidup di gerakan dan kuliah. Tuntutan lulus cepat membuat mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal berkurang.
Sementara itu yang keempat adalah terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai-partai politik . Kondisi ini, membuat sebagian kalangan mahasiswa ikut terjebak dalam euforia politik formal serta hampir melupakan perannya sebagai gerakan moral. Faktor terakhir ini bahkan membuat banyak kampus tak lagi netral dan bersifat partisan. Organisasi gerakan mahasiswa ekstra kampus yang seringkali mendominasi lembaga intra kampus memperlihatkan afiliasi yang bisa dirasakan terhadap parpol tertentu. Bahkan, seperti diungkapkan Abdul Gaffar Karim (2009), afiliasi tersebut semakin tidak disangkal oleh GM. Meskipun, afiliasi memang masih menimbulkan pertanyaan. Apakah “pengakuan” tersebut didasarkan pada kalkulasi politik jangka panjang yang matang, atau hanya sekadar impuls kegairahan mahasiswa semata.

Orientasi Baru
Kerusuhan mahasiswa yang sering terjadi di beberapa daerah memperlihatkan betapa mahasiswa masih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi di Makassar. Awalnya, mahasiswa melakukan demonstrasi terkait Bank Century, namun pada akhirnya justru terlibat bentrokan dengan warga. Ini lah yang patut dievaluasi. GM tidak lagi bisa merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Isu Bank Century adalah isu elit yang penuh dengan rekayasa politik di Jakarta. Padaha, sangat banyak isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, namun tidak diperjuangkan. Secara gamblang, ini menunjukkan belum ada pembacaan yang cerdas untuk memosisikan di mana dan apa peran mahasiswa di era pasca reformasi ini. Karena itu, orientasi baru harus ditentukan. Romantisme sejenak harus dilupakan.
Sampai saat ini, saya masih sepakat dengan Soe Hoek-Gie yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Ia selayaknya sheriff, muncul ketika timbul kekacauan, dan segera menghilang setelah kekacauan mereda.Artinya, kecendurungan GM yang terjun ke dalam politik praktis harus diubah. Kecenderungan ini lebih baik jika diarahkan ke upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan turun ke bawah, GM akan belajar, memahami dan menemukan potensi perlawanan, kemandirian serta kekuatan rakyat. Tentu saja, turun ke bawah tidak dimaksudkan untuk menggurui seperti fenomena Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jika itu bisa dilakukan, GM tentu akan mendapatkan dukungan yang berakar kuat di masyarakat. Dukungan kuat yang membuatnya tidak akan mudah dipukul dan digoyang oleh pemerintah. Tidak seperti sekarang di mana mahasiswa justru menjadi lawan dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Sekalipun demikian, konsolidasi internal dan eksternal tetap harus dilakukan. Hal ini sebagai bentuk pembacaan atas situasi sosial politik kontemporer. Termasuk melihat kecendurungan politik kartel yang saat ini sedang berkembang di tubuh partai-partai politik. Politik kartel membuat parpol-parpol bekerjasama dan hanya memperjuangkan kepentingannya semata. Tentu saja, upaya pembacaan yang komprehensif dilakukan agar gerakan yang dibangun tidak bersifat spontan dan reaksioner. Program jangka panjang harus dirumuskan dengan penuh pertimbangan. Dengan demikian, jika sewaktu-waktu partai politik gagal total dalam menjalankan tugasnya untuk menjadi saluran aspirasi politik masyarakat pasca reformasi, GM mampu berkembang kembali untuk memperjuangkan masyarakat. Meskipun, dengan peran baru yang tidak bisa diprediksi dan berbeda dengan periode sebelumnya. Semoga. (dimuat di Suara Merdeka 13 Maret 2010)

Wisnu Prasetya Utomo
(Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM)