Selasa, 30 Maret 2010

Orientasi Baru Gerakan Mahasiswa

Jujur saya terhenyak ketika melihat kerusuhan yang melibatkan Mahasiswa, kepolisian, dan masyarakat di Makassar. Kerusuhan berawal dari penyerangan yang dilakukan oleh oknum kepolisian terhadap sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anggota HMI yang tidak terima lantas melakukan semacam aksi balasan kepada aparat kepolisian. Namun, akibatnya justru fatal, warga justru ikut terlibat dan ikut menyerang mahasiswa yang kemudian meyulut kerusuhan selama dua hari. Sementara di Jakarta, ratusan mahasiswa terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat berlangsung sidang paripurna membahas Pansus Century. Banyak yang mengecam aksi anarkis mahasiswa ini, tapi tak sedikit juga yang mendukung. Hal ini terlihat dari aksi solidaritas yang terus bermunculan di berbagai daerah.Dari potongan peristiwa ini, kita diajak mendiskusikan kembali mengenai gerakan mahasiswa dan posisinya dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Setiap kali membincangkan GM, kita seolah diajak untuk beromantisme dengan sejarah masa lampau. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan dalam setiap perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini Tahun 1966, GM yang dibantu oleh militer berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama Soekarno. Tahun 1974, mahasiswa melakukan perlawanan terhadap dominasi Jepang atas pasar dalam negeri. Perlawanan yang memicu pecahnya kerusuhan yang sekarang kita kenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari). Sementara yang paling legendaris, tentu saja kegemilangan GM 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto yang sudah menguasai Indonesia selama 32 tahun.
Namun, romantisme sejarah itu nampaknya harus segera di akhiri jika kita menengok kondisi GM saat ini. Pasca reformasi 1998, GM mengalami disorientasi. Apa yang dulu diperjuangkan seolah menyerang balik mereka. Wacana keterbukaan, kebebasan pers, demokrasi dan HAM, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi GM terpojok. GM kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat. Bahkan, cenderung menjadi menara gading kampus. Menara gading yang hanya sibuk berkutat dengan teori-teori besar di kampus dan melupakan masyarakat sebagai basis awalnya.

Disorientasi Peran

Hermawan Sulistiyo (1999), mengajukan empat alasan utama GM mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, GM tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, GM terkadang justru menjadi lawan masyarakat.
Ketiga, GM sampai pada titik jenuh. Hal ini diakibatkan siklus sejarah yang memberikan terulangnya situasi pasca lengsernya Soeharto. Hal ini ditambah dengan liberalisasi kampus sejak 1999 yang membuat biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Tercatat, empat kampus (UGM, UI, ITB, IPB) yang menjadi salah satu poros bagi GM telah berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (kini menjadi Badan Hukum Pendidikan). Kondisi ini menyebabkan banyak mahasiswa mengalami kesulitan untuk bertahan hidup di gerakan dan kuliah. Tuntutan lulus cepat membuat mahasiswa-mahasiswa kritis dan radikal berkurang.
Sementara itu yang keempat adalah terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai-partai politik . Kondisi ini, membuat sebagian kalangan mahasiswa ikut terjebak dalam euforia politik formal serta hampir melupakan perannya sebagai gerakan moral. Faktor terakhir ini bahkan membuat banyak kampus tak lagi netral dan bersifat partisan. Organisasi gerakan mahasiswa ekstra kampus yang seringkali mendominasi lembaga intra kampus memperlihatkan afiliasi yang bisa dirasakan terhadap parpol tertentu. Bahkan, seperti diungkapkan Abdul Gaffar Karim (2009), afiliasi tersebut semakin tidak disangkal oleh GM. Meskipun, afiliasi memang masih menimbulkan pertanyaan. Apakah “pengakuan” tersebut didasarkan pada kalkulasi politik jangka panjang yang matang, atau hanya sekadar impuls kegairahan mahasiswa semata.

Orientasi Baru
Kerusuhan mahasiswa yang sering terjadi di beberapa daerah memperlihatkan betapa mahasiswa masih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi di Makassar. Awalnya, mahasiswa melakukan demonstrasi terkait Bank Century, namun pada akhirnya justru terlibat bentrokan dengan warga. Ini lah yang patut dievaluasi. GM tidak lagi bisa merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Isu Bank Century adalah isu elit yang penuh dengan rekayasa politik di Jakarta. Padaha, sangat banyak isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, namun tidak diperjuangkan. Secara gamblang, ini menunjukkan belum ada pembacaan yang cerdas untuk memosisikan di mana dan apa peran mahasiswa di era pasca reformasi ini. Karena itu, orientasi baru harus ditentukan. Romantisme sejenak harus dilupakan.
Sampai saat ini, saya masih sepakat dengan Soe Hoek-Gie yang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Ia selayaknya sheriff, muncul ketika timbul kekacauan, dan segera menghilang setelah kekacauan mereda.Artinya, kecendurungan GM yang terjun ke dalam politik praktis harus diubah. Kecenderungan ini lebih baik jika diarahkan ke upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan turun ke bawah, GM akan belajar, memahami dan menemukan potensi perlawanan, kemandirian serta kekuatan rakyat. Tentu saja, turun ke bawah tidak dimaksudkan untuk menggurui seperti fenomena Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jika itu bisa dilakukan, GM tentu akan mendapatkan dukungan yang berakar kuat di masyarakat. Dukungan kuat yang membuatnya tidak akan mudah dipukul dan digoyang oleh pemerintah. Tidak seperti sekarang di mana mahasiswa justru menjadi lawan dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Sekalipun demikian, konsolidasi internal dan eksternal tetap harus dilakukan. Hal ini sebagai bentuk pembacaan atas situasi sosial politik kontemporer. Termasuk melihat kecendurungan politik kartel yang saat ini sedang berkembang di tubuh partai-partai politik. Politik kartel membuat parpol-parpol bekerjasama dan hanya memperjuangkan kepentingannya semata. Tentu saja, upaya pembacaan yang komprehensif dilakukan agar gerakan yang dibangun tidak bersifat spontan dan reaksioner. Program jangka panjang harus dirumuskan dengan penuh pertimbangan. Dengan demikian, jika sewaktu-waktu partai politik gagal total dalam menjalankan tugasnya untuk menjadi saluran aspirasi politik masyarakat pasca reformasi, GM mampu berkembang kembali untuk memperjuangkan masyarakat. Meskipun, dengan peran baru yang tidak bisa diprediksi dan berbeda dengan periode sebelumnya. Semoga. (dimuat di Suara Merdeka 13 Maret 2010)

Wisnu Prasetya Utomo
(Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM)

Tidak ada komentar: