Rabu, 25 November 2009

Melawan dengan Anekdot


Judul : The Kampus, Ngakak Sampai Mampus
Penulis : Kelik Supriyanto
Penerbit : Insania, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : viii + 96 Halaman


Anekdot, salah satu genre lelucon, merupakan bentuk energi budaya yang memiliki kandungan pengertian sangat kompleks. Tentu saja, menjadi menarik ketika di negeri ini, anekdot “hanya” diartikan sebagai lucu-lucuan atau guyonan belaka. Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun tentu saja, bisa jadi ini terlalu menyederhanakan masalah.

Seperti diungkapkan Darminto M. Sudarmo (2004), Anekdot bisa terjadi karena dua sebab; pertama, tak sengaja; kedua, disengaja. Anekdot yang tak disengaja tentu saja berkaitan dengan semua kejadian lucu yang menimpa seseorang. Anekdot sengaja, sebaliknya. dia sengaja dibuat yang berarti merupakan hasil kreasi manusia.
Nah, menyimak buku karangan Kelik Supriyanto ini, kita dihadapkan pada jenis anekdot yang kedua. Yaitu anekdot sebagai sesuatu yang sengaja dibuat dan memiliki fungsi.

Menggugat Neoliberalisme Pendidikan


Judul : Tirani Kapital dalam Pendidikan; Menolak UU BHP
Penulis : Darmaningtyas, dkk
Penerbit : Damar Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xviii + 412
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo (Anggota Pokja Pendidikan Gratis DIY)

Seperti pernah diungkapkan Mansour Fakih, tugas pendidikan pada dasarnya adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem yang tengah berlaku dalam masyarakat. Setelah itu, menentang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil.
Di titik ini, pendidikan memiliki tugas mulia untuk membentuk manusia-manusia yang mulia juga. Manusia yang mampu untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat. Minimal, membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa memecahkan masalah di tingkat lokal wilayahnya. Itulah alasan mengapa setiap proses pendidikan seharusnya mengandung bermacam-macam pelajaran dengan kearifan lokal. Tentu yang sesuai dengan kondisi sekitar sehingga sanggup memecahkan berbagai persoalan yang muncul.

Jepang, Sebuah Kisah tentang Keteladanan

Kami berungkali mengalami jatuh-bangun, dan memang kehidupan adalah jalan mendaki yang penuh duri. Kami harus berdiri ketika tersandung. Jika kita terus mencoba, pada akhirnya mata air yang indah akan muncul di hadapan kita. Kita harus terus maju ke depan sampai kita bisa menciduk air pegunungan yang jernih itu dengan tangan kita sendiri. Seperti itulah kehidupan.

Yaguchi Hisayo

Yaguchi Hisayo baru berusia 11 tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima, 6 Agustus 1945. Ketika bom atom dijatuhkan, dia masih berada di sekolah dan sempat tertimpa reruntuhan atap sekolah yang hancur lebur oleh bom. Beruntung, gadis kecil itu masih bisa selamat. Namun tidak demikian dengan keluarganya yang meninggal semua, termasuk kedua orang tuanya. Kondisi yang cukup memberi alasan bagi rasa frustasi dan depresi.
Kisah-kisah seperti dialami Yaguchi tersebut saya baca dalam buku Kami Anak-anak Bom Atom. Buku yang dalam aslinya berjudul Gembaku no Ko ini bercerita tentang kisah anak-anak yang menjadi korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Anak-anak ini menceritakan kisahnya sendiri dalam bahasa sederhana, polos, khas anak-anak, namun benar-benar menyentuh. Tidak sedikit diantara mereka yang kehilangan saudaranya, bahkan orang tuanya. Tidak sedikit pula yang harus menanggung cacat seumur hidup sebagai dampak radiasi dari bom atom. Namun yang paling membuat saya bersimpati, di tengah kondisi yang tidak bisa dijangkau akal sehat, anak-anak tersebut masih bisa menunjukkan optimisme untuk bertahan hidup.
Bagi saya, kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa luar biasanya etos dan semangat hidup yang dimiliki orang Jepang. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun bisa menunjukkan ketegarannya dalam menghadapi cobaan pasca bom atom yang begitu luar biasa dan di luar akal sehat. Meskipun kehilangan keluarga, mereka tetap memiliki semangat untuk hidup. Ujian hidup hanya dianggap sebagai sebuah kerikil dalam perjalanan.
Prinsip hidup itulah yang membuat kekalahan yang dialami dalam Perang Dunia tahun 1945 tersebut tidak membuat Jepang menjadi negara gagal. Kekalahan perang hanya dianggap sebagai kerikil. Kerikil yang hanya mengganggu namun tidak akan menghentikkan perjalanan. Perjalanan menuju mata air yang indah seperti dianalogikan oleh Yaguchi di atas. Pelan-pelan negeri ini bangkit. Kerja keras yang dilakukan seluruh rakyatnya membuat Jepang mengalami kebangkitan yang luar biasa khususnya di bidang ekonomi. Jepang kemudian muncul sebagai negara paling maju di Asia Timur. Bahkan kemudian menempatkan dirinya di kalangan yang berpengaruh dalam perekonomian dunia.
Padahal, sebelumnya Jepang dikenal sebagai negara yang penuh dengan kekurangan. Kekurangan yang paling mencolok diantaranya dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah teritorial sempit. Belum lagi dengan letak geografis negara ini yang berada pada jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi. Sumber daya alam yang terbatas dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi mengapa negara yang telah hancur lebur karena perang itu bisa bangkit? Mengapa dengan berbagai kekurangan yang dimiliki bisa menjadikan diri menjadi negara maju di dunia? Adakah keajaiban?

Hasil Kerja Keras
Meskipun banyak yang menilai bahwa kemajuan pesat yang telah diperoleh Jepang tersebut merupakan sebuah keajaiban. Tapi bagi saya, anggapan tersebut hanya menihilkan kerja keras warganya. Sebab, pada kenyataannya bisa jadi keajaibanlah yang tidak mengambil peran. Segala kemajuan yang dicapai sekarang merupakan sebuah akumulasi dari mimpi-mimpi yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Tidak hanya tindakan biasa, tapi tindakan luar biasa sehingga dapat mencapai keadaan seperti saat ini. Semua diperoleh dari hasil kerja dan usaha keras rakyat Jepang untuk memulihkan kembali harga diri bangsa dan negara yang telah tercemar.
Mayoritas berbagai lapisan masyarakat di Jepang mau bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang tua. Selain kisah di buku Kami Anak-anak Bom Atom yang saya kutip di atas, Harian Republika menceritakan sepenggal cerita yang bisa menjadi ilustrasi. Berikut penggalannya;
..Hiroshi Ebihara seharusnya sudah pensiun tahun yang lalu. Kini usianya sudah 63 tahun, tetapi lelaki tua itu tetap bekerja setiap hari. Bukan karena keharusan, tapi ia memang menginginkannya. "Saya ingin bekerja sampai umur 70 tahun, kata Ebihara optimists. Perusahaan mengizinkan saya bekerja hingga usia 70 tahun, jadi sekarang giliran saya menunjukkan ras terimakasih dan bekerja untuk perusahaan selama masih dizinkan". Pria yang bertanggung jawab atas lingkungan tempat Ebihara bekerja adalah Noburi Kamoda. Hebatnya ternyata umur pak Kamoda ini jauh lebih tua ketimbang Ebihara sendiri yakni : 76 tahun !
Dari ilustrasi tersebut – meskipun tidak bisa digeneralisir – setidaknya menunjukkan betapa tingginya etos dan kerja keras orang Jepang. Tingginya etos dan kerja keras tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya Restorasi Meiji pada tahun 1866-1869. Restorasi ini menciptakan perubahan sosial politik yang dampaknya sungguh luar biasa. Semua ilmu dari barat diserap untuk kemudian dikembangkan di dalam negeri. Ini terlihat dari maraknya penerjemahan dan penerbitan buku luar negeri. Anak-anak mudanya dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu. Lantas setelah lulus, mereka harus kembali ke negerinya untuk mengembangkan pengetahuan. Tujuan yang ingin diperoleh tentu saja untuk mencapai kemajuan yang setara dengan negar-negara Barat kala itu.
Pasca hancur lebur di Perang Dunia 2, Restorasi masih memiliki efek yang luar biasa, terutama di bidang ekonomi . Seperti diungkapkan Taufik Adi Susilo (2009), keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari mental yang dibentuk dengan prinsip bushido. Sebuah prinsip hidup yang menekankan pada kerja keras, loyalitas, tidak egois, serta rasa malu. Selain itu, masih ada prinsip kaizen yang menjadi rahasia sukses Jepang. Ada tiga elemen kunci dalam kaizen. Pertama, kualitas. Kualitas tertinggi adalah yang dapat menyenangkan dan memberikan rasa bangga bagi para pelanggannya. Kedua, pengurangan biaya. Dengan perbaikan terus-menerus pada proses produksi diharapkan dapat diperoleh efisiensi tinggi. Ketiga, pengiriman. Produk yang bermutu tinggi dan harga yang rendah, tapi tidak sampai pada pelanggan tepat waktunya tidak akan membuat perusahaan lebih baik. Prinsip kaizen ini terlihat dalam aktivitas produksi perusahaan.
Faktor pendidikan pun bisa jadi salah satu faktor yang membuat kebangkitan ekonomi begitu pesat. Setelah terjadi pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar belum memfokuskan diri pada jumlah korban tapi justru bertanya. “Berapa guru yang masih tersia?” Dari situ dapat dilihat betapa Jepang begitu menempatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada prioritas tertinggi. Alasannya, dengan semakin majunya pendidikan dan ilmu pengetahuan akan semakin banyak kreativitas-kreativitas yang muncul. Kebangkitan secara nasional pun menjadi konsekuensi logis yang tidak dapat dielakkan lagi.
Selain itu, masih ada faktor lain yang membuat ekonomi Jepang cepat bangkit. Di antaranya adalah Kyoku Mama atau Pendidikan Ibu. Jepang mengandalkan peran perempuan dalam membesarkan anak. Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, seperti diungkapkan Daoed Joesoef, perempuan Jepang khususnya Ibu-ibu memiliki peran yang cukup signifikan dalam membina serta mempertahankan fondasi pendidikan dan sosial. Faktor yang memiliki kontribusi signifikan bagi ekonomi.
Tak heran jika pada awal tahun 1980-an, seluruh dunia menjadi saksi perubahan yang cukup mengejutkan. Aset bersih yang dimiliki oleh Jepang meningkat drastis dari 10 Milyar Dollar menjadi 291,7 Milyar Dollar. Sebuah peningkatan yang mengakibatkan perubahan konfigurasi kekuatan ekonomi internasional dari Amerika Serikat ke Jepang. Sebagai konsekuensi logisnya, negeri ini berubah dari negara peminjam (debtor) terbesar menjadi negara pemberi bantuan (kreditor) terbesar di dunia. Perubahan posisi antara Amerika Serikat dan Jepang ini dikenal dengan istilah “Trading Place”.

Kisah Keteladanan
Perjuangan yang dilakukan Jepang untuk bangkit begitu luar biasa. Bagaimana tidak, negeri yang pasca tahun 1945 diramalkan akan bangkrut ini tiba-tiba bisa berbaik menjadi negeri yang kuat dan tangguh. Jepang berubah menjadi raksasa terutama di bidang teknologi dan ekonomi. Dalam bidang yang disebutkan terakhir, Indonesia secara langsung telah mendapatkan bantuan yang cukup besar. Mengalirnya bantuan sejak awal 1960-an tersebut memiliki arti yang cukup penting dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kehancuran. Pada akhir 65, Indonesia memang sedang dilanda krisis sosial-politik yang mengganggu terciptanya stabilitas ekonomi. Tidak hanya itu, aliran bantuan pun dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Dalam konteks tersebut, Jepang telah memberikan manfaat bagi kita. Namun, keteladanan yang saya maksud bukanlah masalah bantuan belaka. Lebih dari itu, kisah keteladanan yang layak kita jadikan contoh adalah sikap kerja dan etos masyarakat Jepang. Semangat untuk bangkit dari keterpurukan itulah yang lebih mendesak bagi kita. Karena dengan meneladaninya, kita bisa menemukan inspirasi untuk keluar dari krisis multidimesional yang tengah membelit erat bangsa ini.
Saya kemudian teringat tentang pepatah Jepang klasik, Kunshi wa hitori otsutsa shinu, orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri. Ini terlihat dari kerja keras yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin terhadap waktu menjadi pedoman hidup. Belum lagi ikatan terhadap komunitas yang begitu tinggi. Dengan hasrat hidup bersama yang cukup tinggi tersebut, proses pembangunan sebuah bangsa dalam berbagai bidang akan terasa lebih mudah dilaksanakan.
Saya menemukan ilustrasi yang cukup menarik dalam kartun Jepang kesukaan saya, Doraemon. Dalam episode terakhir yang saya ingat, Doraemon kehabisan baterai. Karena dia sebuah robot, tentu saja jika baterainya habis dia tidak dapat hidup. Nobita sebagai tuan Doraemon lantas menggunakan berbagai cara untuk mencari baterai Doraemon. Termasuk pergi ke masa depan meskipun hal tersebut cukup berbahaya bagi hidup Nobita. Apa yang dapat kita jadikan pelajaran? Nobita yang terkenal sebagai anak manja dan malas, tiba-tiba menjelma menjadi anak yang penuh perhatian dan siap melakukan segalanya. Bahkan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Doraemon.
Bagi saya, itu adalah prinsip utama yang layak kita ikuti. Argumentasi saya cukup sederhana, berbagai masalah yang muncul di Indonesia saat ini dikarenakan sikap tidak bisa menjaga diri sendiri dan tidak mau berkorban, baik para pejabat maupun rakyatnya. Sebagai contoh, perilaku korupsi. Para pejabat tentu tidak tahu malu ketika mencuri uang rakyat dengan mudah. Semua dilakukan dengan sadar tanpa mau tahu kondisi negeri dan rakyat yang diwakilinya. Berungkali korupsi dilakukan, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Sementara itu, rakyat Indonesia pun ironisnya secara tidak langsung juga mendukung budaya koruspi. Contoh sederhana, dalam masalah lalu lintas. Orang-orang lebih suka membayar di tempat daripada ditilang oleh polisi di jalan. Kondisi ini selalu saja berulang. Mungkin kita yang pernah ditilang pun akan mengakui hal tersebut. Belum lagi dalam pembuatan surat ijin mengemudi yang banyak terjadi proses suap. Dengan alasan tidak mau repot mengurus pembuatan, kebanyakan orang lebih memilih membayar mahal kepada aparat. Menyedihkan, budaya perusak bangsa ini justru didukung oleh masyarakatnya sendiri.

Mengambil Contoh
Dari berbagai kisah dipaparkan di atas, kita seharusnya bisa mengambil contoh-contoh tersebut lantas menjadikannya sebagai inspirasi untuk kita bangkit. Anak-anak korban bom atom – meskipun kehilangan keluarga – tetap tegar dan melanjutkan hidup. Orang-orang tua yang masih disiplin untuk bekerja meskipun sudah tua. Kebangkitan ekonomi yang luar biasa setelah sempat terpuruk. Kebangkitan yang tidak bisa dibilang main-main. Sebab kita pada dasarnya tahu semua bagaimana kondisi psikologis sebuah negara yang kalah perang dan bahkan terancam bangkrut.
Akhirnya, membicarakan Jepang adalah membicarakan sebuah kisah tentang keteladanan. Kisah keteladanan yang penuh harapan untuk bangkit dan lebih baik di masa depan. Sebab seperti kita tahu, kekuatan harapan (power of hope) adalah kekuatan luar biasa yang melebihi kekuatan apapun. Buktinya jelas, Jepang kini mampu berdiri menjadi salah satu kekuatan yang disegani di berbagai belahan dunia. Jika Jepang mampu bangkit, bangsa Indonesia pun seharusnya mampu. Semoga.