Kamis, 22 September 2011

Setelah 13 Tahun Reformasi, Apa yang Harus Kita Lakukan?

(Makalah untuk Seminar Kepemimpinan Mahasiswa Baru Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM 2011)

Perjuangan mahasiswa dalam Reformasi 1998 secara dramatis telah membuka kran demokratisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Ini kemudian menumbuhkan harapan mengenai “kehidupan yang lebih baik” setelah lebih dari 30 tahun berada di bawah otoritarianisme Orde Baru. Sayangnya, tepat di titik inilah ironi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa reformasi 1998 sekaligus menjadi titik balik bagi gerakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa kehilangan orientasi gerakan karena tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyalur aspirasi bagi masyarakat. 13 tahun pasca reformasi, mahasiswa tergagap membaca zaman. Mahasiswa tidak tahu di mana dia berada, apa yang harus dia lakukan, dan ke mana harus melangkah. Ringkasnya, mahasiswa mengalami disorientasi.

Hermawan Sulistiyo dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), mengajukan empat alasan utama mengapa mahasiswa mengalami disorientasi peran yang membuat mereka menjadi pahlawan kesiangan. Pertama, kerangka hukum bagi penanganan unjuk rasa melalui Undang-Undang (UU) No 9/1998. UU ini seolah-olah memberikan hak kepada masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Namun, di sisi lain justru mempersempit ruang gerak serta memberikan legitimasi hukum yang cukup kuat bagi para penegak hukum untuk bersikap keras dan represif. Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi kepentingan publik. Sehingga, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat. Bahkan, gerakan mahasiswa terkadang justru menjadi lawan masyarakat.