Jumat, 16 Oktober 2009

Mahasiswa sebagai Intelektual Organik

Cendekiawan, seperti diungkapkan Julien Benda, memiliki tugas untuk mencari kebenaran. Dia mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan, sampai teka-teki metafisika. Jika dia menemukan kebenaran lantas menyampaikannya, berarti ia telah menjalankan tugasnya kepada masyarakat. Sementara jika dia menyampaikan sebuah kesalahan, berarti ia telah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menyuarakan kebenaran kepada masyarakat.

Namun, Benda menambahkan bahwa seorang cendekiawan atau intelektual tidak mengejar maksud praktis. Ia benar-benar hanya bertugas mencari kebenaran, menggalinya, sampai menemukan kebenaran luas dari kebenaran-kebenaran yang sempit. Tak heran, dalam bukunya yang berjudul The Treason of The Intellectuals, Benda menyebut seorang cendekiawan yang memiliki tujuan praktis politis sebagai seorang pengkhianat.

Kondisi inilah yang menjadi contoh relevan ketika kita melihat sejarah Indonesia terutama di era 1960-an akhir. Kala itu, Indonesia tengah mengalami masa-masa transisi pergantian rezim kekuasaan. Masa-masa kritis negeri ini. Hampir semua organisasi sayap kiri tiarap karena disapu habis-habisan oleh rezim yang baru berkuasa. Tidak hanya itu, mereka yang menjadi simpatisan sayap kiri pun terkena imbasnya.

Sementara orang-orang sayap kiri dihabisi, muncul golongan yang mencari keuntungan. Mereka inilah loyalis-loyalis Soekarno yang kemudian berbalik arah mendukung Orde Baru. Seperti kita ketahui kemudian, teknokrat-teknokrat yang sebelumnya mendukung Bung Karno kemudian mendukung semua kebijakan yang dikeluarkan rezim baru. Kaum intelektual kemudian menjadi “sekrup-sekrup” pembangunan ala Orde Baru.

Dalam kondisi yang demikian carut marut dimana pemerintahan otoriter justru dilegitimasi oleh golongan cendekiawan negeri ini, mahasiswa mencoba menunjukkan perannya sebagai seorang intelektual muda. Sejak awal 1970-an, Mahasiswa mulai melakukan aksi-aksi turun ke jalan, melancarkan protes kepada pemerintahan yang dianggap hanya menyengsarakan rakyat. Klimaksnya pada bulan Januari 1974. Ketika Pemerintah sedang menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, di Jakarta dan sekitarnya terjadi demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan luar biasa yang diinisiasi oleh mahasiswa. Protes-protes ini dilancarkan karena mahasiswa menganggap para pejabat menerima uang suap dari kalangan pengusaha Jepang. Apalagi ketika itu, pengaruh Jepang dalam bidang perekonomian begitu kuat.

Layaknya seorang intelektual muda, mahasiswa melakukan serangkaian aksi demonstrasi tidak demi keuntungan pribadi. Mereka tidak berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan hanya merupakan kekuatan moral yang menginginkan negara ini mencapai cita-citanya dengan tidak menindas rakyatnya.Sampai di sini, dua kondisi di atas dapat kita benturkan. Di satu sisi, para teknokrat-teknokrat yang terjun dalam politik dan membela Orde Baru adalah – mengutip Benda – seorang pengkhianat karena ia telah melegitimasi sebuah kekuasaan yang korup, tanpa berbuat apa-apa. Sementara di sisi lain, dengan melakukan berbagai aksi demonstrasi sampai menimbulkan kerusuhan, berarti mahasiswa telah menjalankan tugasnya sebagai seorang intelektual.

Ya, meskipun dengan melakukan demonstrasi berarti mahasiswa telah terjun ke dalam politik praktis, mahasiswa sesungguhnya tengah melakukan peran sebagai seorang resi. Dalam kosmologi Jawa, seorang resi adalah seorang bijaksana yang tinggal jauh dari keramaian. Ia memang sengaja hidup jauh dari masyarakat dan juga pusat kekuasaan raja untuk mencari sebuah kebenaran. Merenungi dan kemudian merefleksikan hidup. Seorang resi sendiri akan menyelesaikan atau menghentikan pertapaannya ketika ia melihat ada sesuatu yang salah di masyarakat. Ia bisa meramalkan sebuah kehancuran. Ia juga mempunyai kewajiban mengingatkan seorang penguasa yang bertindak sewenang-wenang kepada masyarakatnya. Tapi tentu ia baru akan turun dari pertapaannya jika memang kondisi benar-benar sudah gawat.

Seperti sudah disebutkan di atas, mahasiswa adalah seorang intelektual muda yang baru akan terjun ke lumpur kotor politik ketika memang waktu sudah mendesak. Bukankah sejarah kita telah menunjukkan demikian. Sejarah telah membuktikan bagaimana intelektual muda bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Tahun 1945, mereka berjuang dengan penuh pengorbanan menuntut kemerdekaan. Tahun 1966, mahasiswa termasuk salah satu elemen yang berhasil membuat pemerintahan Orde Lama tumbang.

Belum lagi jika kita lihat di tahun 1974 yang sudah dibahas di atas. Dari berbagai perubahan sosial politik yang paling fenomenal tentu peristiwa tahun 1998. Kala itu, mahasiswa dan rakyat bersatu menggulingkan rezim yang sudah berkuasa hampir selama 32 tahun. Peristiwa yang kita kenal dengan nama Reformasi ini menjadi salah satu titik balik yang cukup penting dalam sejarah Republik ini.

Dari deretan tahun-tahun tadi, ada beberapa kesamaan yang layak kita cermati. Dalam menjalankan perannya sebagai seorang resi, mahasiswa tidak mencari keuntungan politis dari aksi-aksi yang dilakukan. Mereka hanya menjalankan perannya sebagai gerakan moral. Sebuah gerakan yang murni muncul dari hati nurani. Meskipun tidak dapat kita ingkari bahwa pada kenyataanya cukup banyak mahasiswa yang menjadi kepanjangan tangan partai politik. Inilah sebuah ironisme. Bagi saya, seorang mahasiswa yang menjadi kepanjangan tangan partai politik berarti telah menggadaikan idealisme. Alasannya cukup jelas.

Dari segi kebudayaan, mahasiswa yang menjadi underbouw partai politik tentu bukanlah seorang resi. Sebab, mereka mempunyai kepentingan politis yang jelas. Partai politik merupakan bagian dari sistem politik yang berkuasa. Jika mereka ingin melancarkan aksi ataupun kecaman kepada pemerintah, tentu dilakukan melalui mimbar DPR, bukan melalui kaki tangannya (mahasiswa) dalam aksi-aksi demonstrasi. Mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi karena “pesanan” partai politik, berarti dia telah melakukan kekacauan sosial.

Kembali ke awal, bagi saya pandangan Benda adalah pandangan yang sangat liberal, karena menempatkan seorang intelektual “di luar” masyarakatnya. Padahal, tidak mungkin kesadaran seorang manusia – dalam konteks ini mahasiswa – bisa lepas dari eksistensi keberadaannya. Sebab, eksistensi lah yang menentukan kesadaran, dan bukan sebaliknya. Sampai di sini, saya kemudian teringat tentang gagasan Antonio Gramsci tentang intelektual organik.

Gramsci memahami peran intelektual sebagai bagian yang terintegrasi di dalam masyarakat. Bahkan ia tidak dapat dipisahkan karena telah menjadi bagian dari materialitas konkret berbagai problematika dan dialektika yang membentuk masyarakat. Inilah intelektual organik. Yaitu mereka yang tidak tinggal diam ketika melihat berbagai kondisi di masyarakat yang begitu meresahkan. Mereka adalah orang-orang yang mampu menginisiasi, mengorganisasi masyarakat atau kaum mustadafin yang termarjinalkan.

Untuk bisa menginisiasi, tentu kita harus belajar langsung dari masyarakat. Belajar langsung dari masyarakat adalah memberdayakan masyarakat yang artinya kita tidak membedakan antara teori dan praksis. Dalam perspektif marxian, inilah yang disebut sebagai praksis emansipatoris. Pemberdayaan yang saya maksud tentu berbeda dengan program pemberdayaan ala pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Langsung Tunai. Jika program pemberdayaan pemerintah tersebut kebanyakan berorientasi pada logika ekonomi, kita cukup melakukan community empowerment dengan berorientasi pada logika sosial. Artinya, kita sedang melakukan sebuah transfer of knowledge, bukan transfer of money atau yang lain. Dalam wilayah praksis, hal ini tentu sudah saya lakukan bersama teman satu asrama.

Transfer of knowledge ini memang akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat., Pemberdayaan memang akan berhasil apabila masyarakat mampu mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan keputusan oleh masyarakat sendiri. Dengan kata lain, masyarakat tidak bergantung kepada pemerintah atau siapapun. Artinya, trasfer of knowledge bisa diartikan sebagai sebuah upaya membangun power yang dimiliki oleh masyarakat.

Terakhir, melakukan pemberdayaan masyarakat tidak perlu kita lakukan dengan muluk-muluk. Sekali lagi perlu digaris bawahi bahwa pemberdayaan yang kita lakukan jauh berbeda dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, apalagi negara. Sebagai seorang pemimpin muda, yang cukup kita lakukan saat ini baru melakukan pemberdayaan berbasis komunitas. Tentu bisa kita lakukan dengan hal yang cukup sederhana seperti di lingkungan kita. Hal ini semata-mata diikhtiarkan sebagai sarana untuk melatih kepekaan sosial, demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.