Selasa, 25 Agustus 2009

Belajar dari Sejarah

Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas telah menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. Cara yang dipakai untuk memajukan kebudayaan ini adalah dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Sementara itu di pasal 2 juga ditegaskan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Di titik ini sebenarnya konstitusi kita telah mengamanatkan kepada negara untuk memajukan berbagai kebudayaan yang ada.

Namun sayang, apa yang terjadi dewasa ini sungguh mengenaskan. Pemerintah sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia sepertinya tidak bisa menjaga amanat konstitusi. Kondisi ini setidaknya tercermin dari berbagai macam bahasa daerah yang terancam punah. Data yang dirilis UNESCO menunjukkan bahwa sudah ada 10 bahasa daerah yang punah dan 147 bahasa daerah yang terancam punah dari total bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah 200an.

Belum lagi jika kita saksikan bagaimana Malaysia dengan mudah mengklaim berbagai produk budaya di Indonesia. Dari mulai batik, lagu Rasa Sayange sampai yang terakhir Tari Pendet dari Bali pun diklaim sebagai milik mereka. Protes- protes yang dilancarkan oleh para seniman dan pemerintah pun seakan menjadi percuma. Apalagi peristiwa tersebut terjadi berulang kali. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan kita sedang berada pada titik nadir karena dengan mudah diinjak-injak negara lain.
Melihat kondisi yang cukup ironis tersebut, sebenarnya kita juga tidak bisa semata-mata menyalahkan pemerintah. Masalah kebudayaan adalah masalah milik kita bersama, seluruh rakyat Indonesia. Karena itulah tanggung jawab kebudayaan sebenarnya juga terletak di pundak-pundak kita. Di titik inilah pemuda bisa mengambil peran yang cukup penting. Apalagi para pemuda adalah generasi penerus yang akan memimpin bangsa ini ke depan.

Peran pemuda tersebut sudah sejak lama dapat kita saksikan. Peristiwa yang menjadi tonggak paling penting adalah peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda seharusnya tidak hanya kita maknai sebagai peristiwa politik karena sebenarnya ia juga merupakan sebuah peristiwa budaya. Ya, sebuah peristiwa Budaya dimana pemuda dengan latar belakang yang berbeda-beda bisa mencapai titik sepakat untuk berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu, Indonesia. Maka, cukup masuk akal apa yang dikatakan oleh Ernest Renan. Renan mengatakan bahwa solidaritas sebagai sebuah bangsa hanya bisa dibentuk dari solidaritas kecil tiap-tiap hari. Sebuah analogi yang cukup tepat untuk menggambarkan bagaimana masing-masing kebudayaan daerah, mampu menyokong kebudayaan nasional. Itulah Sumpah Pemuda.

Belajar dari masa lampau, pemuda era kini pun seharusnya bisa mengambil peran yang sama. Apalagi di tengah krisis multidimensi – termasuk krisis kebudayaan – yang seolah belum ingin menjauh dari republik ini. Peran tersebut dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana, setidaknya dengan menghargai dan melestarikan budaya lokal di masing-masing daerah. Penggunaan dan pemahaman mendalam tentang bahasa daerah sendiri setidaknya sudah menjadi kontribusi yang cukup signifikan. Belajar bahasa asing sebagai sarana pergaulan internasional tentu sah-sah saja, tapi tetap tidak boleh menghilangkan identitas asli.

Jika hal-hal sederhana tadi bisa dilakukan oleh para pemuda – dan rakyat Indonesia – secara konsisten, niscaya kebudayaan nasional akan berkembang. Negara lain tidak akan seenaknya mengklaim produk budaya kita, dan harapan untuk memajukan kebudayaan Indonesia, bisa terwujud.
(dimuat di harian Seputar Indonesia 25 Agustus 2009)