Minggu, 28 September 2008

Pelajaran kemiskinan

Berbagai kasus terkait kemiskinan saat ini muncul dengan sangat jelas di hadapan kita semua. Belum tuntas kasus gizi buruk dan busung lapar yang menimpa rakyat Indonesia. Belum selesai penderitaan rakyat sebagai imbas kenaikan harga BBM, kita disuguhi berita yang sangat tragis sekaligus tidak masuk di akal. Hanya untuk mendapatkan uang zakat senilai Rp 30.000, ratusan orang rela mengantri dan menyebabkan 21 orang tewas.

Insiden zakat Pasuruan itu menyadarkan banyak kalangan. Selama ini kita seolah lupa bahwa masih banyak saudara kita yang miskin. Kita terlena oleh keadaan yang membuat kita nyaman. Kita setiap hari lebih banyak disuguhi berita-berita tentang kehidupan para elite politik. Tapi, ternyata kemiskinan di negeri ini merupakan penyakit yang belum bisa disembuhkan. Menurut data BPS, terdapat sekitar 30 juta rakyat Indonesia yang masih miskin.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia pada dasarnya adalah kemiskinan yang terjadi secara sistematis. Tentu menjadi hal yang aneh kalau kita miskin di negeri kaya. Salah satu contoh yang nyata adalah beberapa waktu yang lalu terjadi kasus gzi bruk di daerah Jawa Barat. Ini tentu semakin aneh, di daerah yang relatif dekat dengan Jakarta pun masih ditemukan kasus semacam ini. Dengan kata lain, keadaan seperti ini dapat terjadi karena pemerintah mengeluarkan kebijakan yang salah terkait masalah ekonomi. Masyarakat yang kaya semakin kaya, dan yang miskin pun menjadi semakin tidak berdaya.

Pemerintah seharusnya mulai melakukan langkah yang lebih berani. Kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi perlu di evaluasi. Kebijakan terkait liberalisasi perekonomian harus dihentikan. Sebab sudah jelas kelihatan bahwa hal tersebut tidak mensejahterakan rakyat Indonesia. Kemudian, jangan sampai kebijakan seperti BLT muncul kembali. Sebab itu hanya akan melatih rakyat untuk mengemis dan malas bekerja.

Cukup insiden Pasuruan menjadi yang terakhir. Itu menjadi pelajaran agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan. Pelajaran tentang kemiskinan yang diajarkan oleh peristiwa tadi harus bisa kita ambil hikmahnya. Kita tidak boleh lagi menjadi ayam yang mati di lumbung padi. Sudah saatnya kita bangkit melawan kemiskinan. Sudah saatnya ekonomi kita berpihak kepada rakyat Indonesia. Sehingga impian tentang kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya, dapat tercapai.

Jumat, 26 September 2008

Ancaman Neoliberalisme..

Sekilas, pandangan bahwa banyaknya investor asing yang masuk ke Indonesia itu baik. Keadaan ekonomi akan membaik seiring dengan datangnya modal-modal asing. Kesejahteraan pun akan datang dengan sendirinya. Pemerintah Indonesia saat ini kurang labih memiliki pandangan yang sama dengan hal tersebut. Hal ini terlihat dari berbagai paket kebijakan yang intinya adalah membuka peluang seluas-luasnya agar investor asing mau menanamkan modalnya di nigeri ini. Privatisasi, liberalisasi, sampai pasar bebas menjadi hal yang sudah tidak asing di Indonesia.

Tetapi kalau mau kita lihat lebih jauh, neoliberalisme memiliki agenda yang sangat busuk di dalamnya. Agenda yang secara perlahan-lahan akan merusak dan menghancurkan bangsa ini. Agenda kaum kapitalis ini adalah menguasai perekonomian dunia. Lalu kemudian mempermainkan pasar seenaknya sendiri. Apalagi, ideologi ini mengharuskan sektor non-perdagangan dan merupakan hak rakyat sepert listrik, air dan migas dibuat dengan competition policy atau kebijakan kompetisi. Sehingga, sektor publik yang pada awalnya merupakan barang publik yang dikuasai dan dikendalikan oleh negara dibuat menjadi barang ekonomi yang harganya ditentukan oleh dinamika pasar.

Neoliberalisme selalu memandang bahwa keadaan ekonomi tidak akan optimal jika distribusi barang dan jasa serta modal tidak dikontrol oleh aturan apapun. Dengan kata lain, keadaan ekonomi akan opimal jika barang dan jasa serta modal dimiliki dan dikuasai oleh individu-individu yang memiliki tujuan untuk mencetak keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Kemudian, ”Private Property” akan menjadi demikian absolut tanpa tanggungjawab apapun dari negara.

Perlahan-lahan, akan terjadi berbagai perubahan aturan dari lingkup yang lebih luas yaitu lingkup sosial menjadi sempit lingkup pribadi. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan serta pengangguran yang sebelumnya membutuhkan peran besar dari negara kemudian hanya menjadi masalah pribadi saja yang hanya membutuhkan kebijakan inividu tanpa pengaruh apapun dari negara.

Neoliberalisme sendiri secara kasat mata sudah mulai menguasai Indonesia. sektor-sektor publik atau BUMN mulai diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Atau dengan kata lain, privatisasi. Maka tak heran jika sekarang banyak sekali aset-aset strategis nasional yang dikuasai bangsa asing. Dari SDA sampai bidang telekomunikasi pun sudah banyak yang menjadi milik asing. Ini tentu menjadi sebuah catatan kelam negeri ini.

Inilah Neoliberalisme. Sebuah ideologi dan sistem yang sangat jahat. Menurut Data UNDP (United Nations Development Programme), rentang antara pendapatan tertinggi dan terendah di Indonesia juga sangat lebar, karena sekitar 10 % penduduk terkaya masih menguasai sekitar 80 % aset nasional. Biaya kesehatan yang tinggi semakin memberatkan rakyat. Kriminalitas sejak tahun 1998 sampai sekarang naik 1.000 %. Di bidang pendidikan 4,5 juta anak tiap tahun putus sekolah. Fasilitas pendidikan seperti sekolah dan kelengkapannya terabaikan. Kekurangan gizi mencapai angka 8 % dari total jumlah anak balita. Kwik Kian Gie pernah melaporkan kasus di dua desa, yakni Desa Klungkung (10 kilometer dari kota Jember) dan di Gadingrejo (Juwana) yang pernah dikunjunginya semasa ia masih Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Rakyat miskin di dua desa itu hidup hanya dengan Rp 1.250 atau sekitar 0,13 dollar AS per hari per orang. Dengan pendapatan sebesar itu, mereka setiap hari hanya bisa makan dua kali, itu pun bubur sangat encer hanya dengan lauk garam. Kadang ada sayuran, tetapi kadang kala juga tidak ada. Daging tidak pernah mereka lihat. Pengangguran meningkat 1 juta orang setiap tahunnya.

Neoliberalisme memang memberlakukan semua kebutuhan hidup yang mendasar bagi hajat hidup orang banyak tak lebih dari sekadar omoditas ekonomi saja. Prinsip pasar bebas pun diterapkan dalam berbagai bidang. Terlihat dari berbagai kebijakan yang intinya adalah meliberalisasikan berbagai sektor publik. Yang paling terlihat jelas adalah sektor pendidikan. Biaya pendidikan merangkak mahal dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya saja. Begitu juga dengan kesehatan. Hak-hak orang miskin untuk mengakses kesehatan sangat dibatasi. Sudah terlalu sering kita mendengar banyaknya orang miskin yang sakit namun tidak pernah bisa berobat karena tidak punya biaya.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memang akan menjadi sasaran empuk kaum neolib. Jika tidak mampu bertahan dengan kemandirian bangsa, Indonesia akan hancur perlahan-lahan di masa depan. Bagaimana tidak, saat ini saja kondisi negeri ini sudah sedemikian parah. Kemiskinan dimana-mana, kelaparan, gizi buruk serta lainnya. Pemerintah justru semakin menyengsarakan rakyat dengan berpihak kepada kaum neolib. Kebijakan di sektor energi yang carut marut membuktikan hal itu. Harga BBM dan elpiji dinaikkan. Serta masih banyak lagi contoh yang lain. Alih-alih memakmurkan rakyat, pemerintah justru memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin.

Tetapi sebenarnya, yang patut dikhawatirkan dari neoliberalisme adalah sifatnya yang mampu menghancurkan tatanan lokal. Dengan sangat diakuinya hak-hak individu, keserakahan akan menjadi hal yang sangat dimaklumi. Mereka yang kaya akan semakin memperkaya dirinya sendiri. Dan yang miskin akan semakin sengsara. Belum lagi budaya serta adat bangsa ini akan luntur. Tidak akan lagi kita temui orang yang masih mau menolong saudaranya. Norma-norma yang selalu diajarkan sejak kecil, budi pekerti, tenggang rasa, lapang dada dan banyak lainnya akan hilang begitu saja. Setiap orang hanya akan memikirkan dirinya sendiri. Dan fakta bahwa kita pernah bersatu dan berjuang bersama-sama dalam merebut kemerdekaan negeri ini hanya akan menjadi catatan sejarah yang usang dan bahkan mungkin terlupakan.

Bangsa Indonesi sebenarnya sudah memiliki sebuah ideologi yang menjadi jatidiri bagi bangsa ini. Ideologi Pancasila. Sebuah ideologi yang merupakan manifestasi nilai-nilai luhur bangsa ini. Jika kita mau lebih konsisten dalam menjalankan ideologi ini, kita akan mampu bertahan dari derasnya berbagai ideologi yang menerjang Indonesia. Termasuk dari neoliberalisme.

Kamis, 25 September 2008

Lonceng Kematian Kebebasan Pers

Membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait kasus Asian Agri vs Tempo sungguh memprihatinkan. Sekali lagi, pers kembali dikorbankan. Atas nama keadilan, pengadilan memutuskan bahwa majalah Tempo terbukti bersalah dengan menyerang dan melecehkan nama baik pemilik Asian Agri, Sukanto Tanoto. Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo kemudian diharuskan membayar denda sebesar 50 juta dan wajib meminta maaf tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, koran Tempo, serta harian Kompas. Asian Agri sendiri melakukan gugatan setelah majalah Tempo memuat berita mengenai dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis tersebut.

Yang mengkawatirkan, putusan ini adalah yang kedua kalinya dalam 3 bulan terakhir. Juli lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper atas koran Tempo. Ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius bagi kebebasan pers di Indonesia. di saat masa transisi demokrasi seperti ini, ada kecenderungan bahwa era pembreidelan pers akan kembali lagi. Persis seperti era Orde Baru, dimana pers benar-benar dimandulkan melalui serangkaian kebijakan yang diambil oleh rezim.

Yang paling jelas terlihat pada Rancangan Undang-Undang Pemilu. Indikasi adanya pembreidelan jelas terlihat ketika ada salah satu pasal yang menyebutkan bahwa pemerintah berhak menghentikan program siaran maupun pemberitaan yang dirasakan mengganggu ketertiban umum. Ini tentu bisa menjadi langkah awal sebelum pembreidelan nanti akan benar-benar terjadi. Sebab RUU Pemilu ini jelas bertentangan dengan paradigma kebebasan pers seperti tercantum dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers.

Sarat Kejanggalan

Kemudian terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap majalah Tempo. Dalam putusan tersebut sangat banyak kejanggalan yang terjadi. Pertama, hakim dinilai salah mengutip dalam putusannya. Hakim menyatakan bahwa Tempo tidak melayani hak jawab selama setahun. Padahal menurut Pemred Tempo, Toriq Hadad, Asian Agri baru mengajukan hak jawab 11 bulan setelah berita itu diturunkan. Koran ini juga melayani hak jawab tersebut (koran Tempo 12 September 2008). Kedua, pertimbangan hakim bahwa suatu kasus tak bisa diberitakan sebelum berkekuatan hukum juga aneh. Ini sama saja dengan menutup akses untuk jurnalisme investigasi. Kalau memang suatu kasus tidak bisa diberitakan sebelum berkekuatan hukum, seharusnya akan banyak media massa dan televisi yang diberi sanksi. Misalnya dalam kasus korupsi. Ini tentu menjadi bukti lain bahwa hakim memakai stadar ganda dalam putusannya.

Belum lagi jika melihat fakta bahwa hakim nyaris tidak memasukkan kesaksian ahli dan fakta yang mendukung berita Tempo. Bahkan hakim menyatakan bahwa berita tersebut merupakan sebuah penghakiman oleh pers (trial by the press). Ketiga adalah mengenai kemenangan Asian Agri di pengadilan secara berturut-turut. Putusan ini adalah yang keempat kalinya bagi perusahaan milik Sukanto Tanoto tersebut. Belum lama kita ketahui bahwa Asian Agri mengalahkan Direktorat Pajak yang mengusut dugaaan penggelapan pajak Rp 1,3 Trilyun yang dilakukan perusahaan tersebut. Kemudian, seperti sudah disebutkan di atas, pengadilan memenangkan PT RAPP atas gugatan terhadap Tempo mengenai illegal loging. Belum lagi jika melihat bahwa Asian Agri menghukum Vincentius Amin Sutanto dengan 11 tahun penjara. Vincentius adalah pengawas keuangan Asian Agri yang dipecat karena membocorkan dokumen dugaan penggelapan pajak.

Ini akan menjadi sebuah preseden yang buruk bagi kebebasan pers. Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah pers selalu dikorbankan ketika berhadapan dengan para pengusaha yang kaya. Pengusaha yang bermasalah dengan pers memakai cara dengan melakukan kriminalisasi pers. Orang-orang kaya tersebut lebih suka menggugat pers secara perdata ketimbang menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang dimuat. Padahal mekanisme hak jawab jelas tercantum dalam pasal 5 ayat 2 UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Sepanjang tahun 2007 sampai 2008 saja tercatat sudah banyak nama yang menjadi korban kriminalisasi pers. Diantaranya adalah majalah Time (Asia) yang divonis bersalah dalam pemberitaa dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto beserta keluarganya.

Permasalahan di atas, harus dimaknai sebagai permasalahan pers di Indonesia secara keseluruhan. Sebab bukan mustahil, masalah yang tengah dialami beberapa media termasuk Tempo ini akan berimbas kepada banyak media lainnya. Di masa mendatang, putusan-putusan yang merugikan pers ini bisa saja menjadi acuan para hakim untuk menghukum pers. Tentu ini akan menjadi hal yang sangat menakutkan. Bahkan, ini bahkan bisa menjadi lonceng kematian bagi kebebasan pers di Indonesia.

Jika tidak waspada, mungkin saja akan muncul SIUPP-SIUPP selanjutnya seperti era orde baru. seharusnya sejarah bisa mengajarkan kebijaksanaan kepoada para hakim yang memutus perkra terkait pers. Namun sepertinya, para hakim lebih berpihak kepada orang-orang besar termasuk para pengusaha yang mungkin saja lebih menguntungkan hakim-hakim itu.

Lebih jauh, fungsi pers sebagai salah satu kontrol sosial pun akan hilang. Bahkan publik akan semakin kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya. Negara yang seharusnya melayani dan mementingkan kepentingan umum justru mengubur kebebasan pers. Entah kepada siapa lagi rakyat negeri ini harus berharap.