Kamis, 25 September 2008

Lonceng Kematian Kebebasan Pers

Membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait kasus Asian Agri vs Tempo sungguh memprihatinkan. Sekali lagi, pers kembali dikorbankan. Atas nama keadilan, pengadilan memutuskan bahwa majalah Tempo terbukti bersalah dengan menyerang dan melecehkan nama baik pemilik Asian Agri, Sukanto Tanoto. Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo kemudian diharuskan membayar denda sebesar 50 juta dan wajib meminta maaf tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, koran Tempo, serta harian Kompas. Asian Agri sendiri melakukan gugatan setelah majalah Tempo memuat berita mengenai dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis tersebut.

Yang mengkawatirkan, putusan ini adalah yang kedua kalinya dalam 3 bulan terakhir. Juli lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper atas koran Tempo. Ini tentu menjadi ancaman yang cukup serius bagi kebebasan pers di Indonesia. di saat masa transisi demokrasi seperti ini, ada kecenderungan bahwa era pembreidelan pers akan kembali lagi. Persis seperti era Orde Baru, dimana pers benar-benar dimandulkan melalui serangkaian kebijakan yang diambil oleh rezim.

Yang paling jelas terlihat pada Rancangan Undang-Undang Pemilu. Indikasi adanya pembreidelan jelas terlihat ketika ada salah satu pasal yang menyebutkan bahwa pemerintah berhak menghentikan program siaran maupun pemberitaan yang dirasakan mengganggu ketertiban umum. Ini tentu bisa menjadi langkah awal sebelum pembreidelan nanti akan benar-benar terjadi. Sebab RUU Pemilu ini jelas bertentangan dengan paradigma kebebasan pers seperti tercantum dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang pers.

Sarat Kejanggalan

Kemudian terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap majalah Tempo. Dalam putusan tersebut sangat banyak kejanggalan yang terjadi. Pertama, hakim dinilai salah mengutip dalam putusannya. Hakim menyatakan bahwa Tempo tidak melayani hak jawab selama setahun. Padahal menurut Pemred Tempo, Toriq Hadad, Asian Agri baru mengajukan hak jawab 11 bulan setelah berita itu diturunkan. Koran ini juga melayani hak jawab tersebut (koran Tempo 12 September 2008). Kedua, pertimbangan hakim bahwa suatu kasus tak bisa diberitakan sebelum berkekuatan hukum juga aneh. Ini sama saja dengan menutup akses untuk jurnalisme investigasi. Kalau memang suatu kasus tidak bisa diberitakan sebelum berkekuatan hukum, seharusnya akan banyak media massa dan televisi yang diberi sanksi. Misalnya dalam kasus korupsi. Ini tentu menjadi bukti lain bahwa hakim memakai stadar ganda dalam putusannya.

Belum lagi jika melihat fakta bahwa hakim nyaris tidak memasukkan kesaksian ahli dan fakta yang mendukung berita Tempo. Bahkan hakim menyatakan bahwa berita tersebut merupakan sebuah penghakiman oleh pers (trial by the press). Ketiga adalah mengenai kemenangan Asian Agri di pengadilan secara berturut-turut. Putusan ini adalah yang keempat kalinya bagi perusahaan milik Sukanto Tanoto tersebut. Belum lama kita ketahui bahwa Asian Agri mengalahkan Direktorat Pajak yang mengusut dugaaan penggelapan pajak Rp 1,3 Trilyun yang dilakukan perusahaan tersebut. Kemudian, seperti sudah disebutkan di atas, pengadilan memenangkan PT RAPP atas gugatan terhadap Tempo mengenai illegal loging. Belum lagi jika melihat bahwa Asian Agri menghukum Vincentius Amin Sutanto dengan 11 tahun penjara. Vincentius adalah pengawas keuangan Asian Agri yang dipecat karena membocorkan dokumen dugaan penggelapan pajak.

Ini akan menjadi sebuah preseden yang buruk bagi kebebasan pers. Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah pers selalu dikorbankan ketika berhadapan dengan para pengusaha yang kaya. Pengusaha yang bermasalah dengan pers memakai cara dengan melakukan kriminalisasi pers. Orang-orang kaya tersebut lebih suka menggugat pers secara perdata ketimbang menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang dimuat. Padahal mekanisme hak jawab jelas tercantum dalam pasal 5 ayat 2 UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Sepanjang tahun 2007 sampai 2008 saja tercatat sudah banyak nama yang menjadi korban kriminalisasi pers. Diantaranya adalah majalah Time (Asia) yang divonis bersalah dalam pemberitaa dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto beserta keluarganya.

Permasalahan di atas, harus dimaknai sebagai permasalahan pers di Indonesia secara keseluruhan. Sebab bukan mustahil, masalah yang tengah dialami beberapa media termasuk Tempo ini akan berimbas kepada banyak media lainnya. Di masa mendatang, putusan-putusan yang merugikan pers ini bisa saja menjadi acuan para hakim untuk menghukum pers. Tentu ini akan menjadi hal yang sangat menakutkan. Bahkan, ini bahkan bisa menjadi lonceng kematian bagi kebebasan pers di Indonesia.

Jika tidak waspada, mungkin saja akan muncul SIUPP-SIUPP selanjutnya seperti era orde baru. seharusnya sejarah bisa mengajarkan kebijaksanaan kepoada para hakim yang memutus perkra terkait pers. Namun sepertinya, para hakim lebih berpihak kepada orang-orang besar termasuk para pengusaha yang mungkin saja lebih menguntungkan hakim-hakim itu.

Lebih jauh, fungsi pers sebagai salah satu kontrol sosial pun akan hilang. Bahkan publik akan semakin kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya. Negara yang seharusnya melayani dan mementingkan kepentingan umum justru mengubur kebebasan pers. Entah kepada siapa lagi rakyat negeri ini harus berharap.

Tidak ada komentar: