Rabu, 18 Agustus 2010

Menggugat Penelitian Universitas

Dalam dinamika kehidupan masyarakat modern, perguruan tinggi merupakan salah satu elemen yang menjadi benteng ilmu pengetahuan. Artinya, perguruan tinggi berperan untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Peran ini kemudian dimanifestasikan dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah penelitian.

Tak heran jika kemudian banyak perguruan tinggi di tanah air beramai-ramai menjadi research university. Di titik ini, saya menilai bahwa cita-cita tersebut memang wajar karena menjadi universitas riset merupakan sebuah conditio sine qua non. Apalagi di tengah kemandegan kultur akademik di Indonesia yang kering dari tradisi penelitian. Bahkan kalaupun ada penelitian-penelitian yang muncul, tidak bisa sampai pada tahap menggugat narasi besar dan metodologi yang tercantum dalam teks-teks lama.

Dengan menjadi universitas riset, diharapkan akan muncul inovasi-inovasi baru dari universitas. Sebagaimana diidealkan, riset yang dilakukan dan berdasarkan realitas sosial akan mampu menjawab karut-marut persoalan yang kini tengah melanda masyarakat. Universitas pun tak hanya menjadi menara gading yang terpisah dari lingkungannya.

Namun ketika melihat kondisi saat ini, barangkali kita harus mengurut dada. Cita-cita menjadi universitas riset masih jauh panggang daripada api. Alih-alih melahirkan riset-riset yang mampu menjawab berbagai keresahan di tengah masyarakat, penelitian yang dilakukan malah menjadi arena kontestasi ekonomi-politik. Heru Nugroho (2006) menyebutnya sebagai arena perebutan kekuasaan. Mengapa demikian?

Keuntungan Ekonomi-Politik
Sebagaimana dipaparkan Heru, kegiatan penelitian universitas memiliki sisi lain yang memiliki keuntungan ekonomi bagi penelitinya. Civitas academica baik dosen maupun mahasiswa yang memiliki akses luas ke penelitian pada akhirnya juga akan memiliki akses ekonomi yang lebih banyak. Bahkan, akses ini kemudian bisa membentuk jejaring patronase yang memiliki keuntungan politik.

Sebagai contoh, keuntungan ekonomi ini diperoleh dari dana penelitian yang diberikan oleh kampus maupun lembaga donor. Tak jarang para peneliti lebih sibuk untuk mencari penelitian yang “basah” dengan dana yang melimpah. Meskipun untuk itu, integritas sebagai ilmuan harus dikorbankan. Penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi terbesar di negeri ini menunjukkan hal tersebut. Beberapa saat yang lalu kita diguncang oleh penelitian mengenai analisis isi terhadap majalah Tempo. Penelitian ini kontroversial karena sang pemberi donor sedang tersangkut kasus pengemplangan pajak terbesar dalam sejarah republik ini. Ironis.

Penelitian-penelitian yang dilakukan mahasiswa pun seringkali menunjukkan hal yang sama. Saya tidak bermaksud menggeneralisir, tapi berdasarkan pengalaman saya sendiri, mahasiswa-mahasiswa seringkali hanya meneliti sekenanya saja. Manipulasi data dalam pengumpulan laporan penelitian juga sering dilakukan. Tidak hanya penelitian yang didanai oleh universitas melainkan juga penelitian semacam Program Kreativitas Mahasiswa yang setiap tahun didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Achmad Choirudin (2009) menjelaskan bahwa riset yang dilakukan mahasiswa terkadang bisa membentuk jejaring perkoncoan. Jejaring yang menetap ini kemudian mengelompok sendiri untuk bisa mengakses dana penelitian. Bisa kita lihat bahwa mahasiswa yang aktif ikut program penelitian hanya itu-itu saja. Tidak hanya horizontal, Achmad juga menjelaskan bahwa jejaring ini bergerak secara vertikal. Dosen yang mendampingi kelompok mahasiswa tadi juga dosen yang itu-itu saja. Kondisi ini terjadi karena ikatan emosional sudah terbentuk antara mahasiswa dan dosen. Namun, bukankah ini kemudian akan menutup akses bagi mahasiswa lain?

Peran Negara dan Masyarakat
Melihat kondisi di atas, tentu bukan saatnya kita menanggapinya dengan pesimisme. Justru di titik ini, peran negara dan masyarakat begitu sentral dalam mengawal berbagai penelitian yang dilakukan oleh universitas. Negara memiliki peran penting untuk memberi subsidi (terutama dana) terhadap penelitian yang dilakukan universitas. Dengan demikian, universitas tidak lagi hanya mengandalkan dana dari lembaga donor yang terkadang bisa bias kepentingan. Selain itu, negara juga harus mengawal agar riset yang dilakukan oleh universitas memang memiliki output serta kegunaan yang jelas. Terutama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Sementara itu, masyarakat sebagai bagian dari civil society juga memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal agar riset yang dilakukan universitas tetap di jalur yang benar. Apa yang dilakukan oleh warga Kulonprogo barangkali bisa menjadi contoh. Tahun 2009 lalu, ribuan warga melakukan aksi demonstrasi di depan universitas yang terlibat penelitian di daerah Kulonprogo. Penelitian itu sendiri dianggap bermasalah karena memberi legitimasi bagi proyek penambangan pasir besi.

Sinergi antara negara, masyarakat dan universitas ini memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab berbagai penelitian yang dilakukan toh akhirnya akan kembali kepada negara dan masyarakat. Dengan demikian, universitas tidak akan hanya menjadi menara gading yang terpisah dari rakyat Indonesia. Semoga.
(Dimuat di Suara Merdeka 18 September 2010)