Jumat, 18 Desember 2009

Wajah Buram Universitas Riset

UGM merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan
(Mubyarto)

Sejak berdiri pada 19 Desember 1949, UGM telah memposisikan dirinya sebagai kekuatan kritis terhadap negara. Dalam konteks ini, UGM dengan jelas menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat kecil yang tertindas. Maka tak heran jika sejak berdiri, kampus ini dikenal sebagai kampus kerakyatan. Simbolisasi kampus kerakyatan tersebut, dipertegas oleh Teuku Jacob dengan istilah “Universitas Kiri”. Universitas yang menentang bentuk-bentuk penindasan negara terhadap rakyat.
Dengan berdiri sebagai kekuatan kritis terhadap negara, UGM kerap kali menjadi kampus yang menjadi ajang demonstrasi dan protes. Tidak hanya protes secara fisik, kampus ini pun sering mengajukan protes keras dengan pemikiran-pemikiran radikal yang muncul. Sebagai contoh, konsep ekonomi kerakyatan yang digagas oleh Mubyarto. Gagasan ekonomi kerakyatan ini pada dasarnya merupakan bentuk protes UGM terhadap sistem ekonomi kapitalis model rezim Orde Baru (Orba) yang hanya berpihak kepada segelintir orang.
Pasca jatuhya Orba, terbersit harapan bahwa penindasan negara terhadap masyarakat akan memudar. Namun, kondisi tersebut pun nampaknya hanya merupakan harapan kosong. Dalam waktu yang relatif singkat, kekuatan negara berhasil mengkonsolidasikan ulang dirinya untuk kembali menjadi kekuatan besar yang tidak dapat ditandingi oleh masyarakat. Kuskridho Ambardi (2009) menggambarkan bahwa kekuatan negara yang muncul pasca reformasi tak ubahnya kartel-kartel dalam dunia perdagangan yang menguasai pasar. Partai-partai politik sebagai pemilik modal dalam pemerintahan, saling bekerja sama untuk menguasai pasar (baca : negara). Persaingan antar parpol hanya terjadi ketika pemilu saja. Namun setelah pemilu usai, masing-masing parpol akan saling mendekat dan berkoalisi untuk duduk di pemerintahan. Dan pada akhirnya, masyarakat lah yang kembali dirugikan.
Buku UGM Menuju Universitas Penelitian (Anwari, ed:2006) menjelaskan bagaimana posisi antara UGM, negara dan masyarakat seperti sudah digambarkan di atas. Selain menjadi kekuatan kritis terhadap negara, posisi keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat menjadi catatan berharga bagi untuk menghadapi masa depan. Apalagi dalam kondisi globalisasi yang kini melanda dunia.
Globalisasi mendatangkan keuntungan dan malapetaka dalam waktu yang bersamaan. Tentu saja, malapetaka yang ditimbulkan jauh lebih besar. Globalisasi bahkan menimbulkan ketercerabutan masyarakat karena hancurnya sistem sosial yang hanya diarahkan semata-mata pada pola pikir pasar. Sebagai contoh, semakin mahalnya biaya pendidikan sebagai dampak dari adanya liberalisasi pendidikan. Alih-alih memperdalam ilmu pengetahuan, masyarakat justru disibukkan dengan susahnya mengakses ilmu pengetahuan. Dalam kondisi demikian, daya saing bangsa dalam persaingan global pun dilemahkan pelan-pelan. Dimulai dari pelemahan ilmu pengetahuan sampai bentuk-bentuk penjajahan baru yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai buruh.
Konsekuensi Logis
Dari uraian di atas, ada satu pesan yang dapat diambil, perguruang tinggi seharusnya menjadi benteng ilmu pengetahuan di Indonesia. Ia harus bisa memperkuat ketahanan nasional sebagai sebuah negara, Artinya, tak ada hal mendasar yang dapat dilakukan oleh UGM selain menguatkan dirinya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, pengabdian, serta mendidik lahirnya figur-figur kepemimpinan. Dengan kata lain, posisi menjadi universitas riset adalah sebuah conditio sine quanon, konsekuensi logis yang mesti diambil.
Hal ini dikarenakan – meminjam istilah Jean Francois Lyotard – tidak ada satu pun “toko” yang “menjual” segala macam metodologi riset yang akan menyelesaikan segala permasalahan sosial. Ini menjelaskan kenapa mereka yang menjadi peneliti – termasuk universitas – seharusnya merancang sendiri metodologi yang digunakan. Selain karena tidak akan memadai jika hanya mengacu pada teks-teks lama, dinamika persoalan terus berkembang dan menuntut munculnya inovasi-inovasi baru dari para peneliti aktif. Ini membuat cita-cita UGM untuk menjadi universitas riset seperti tercantum dalam Rencana Strategis 2008-2012 menemui relevansinya. Karena dengan menjadi universitas dengan basis utama pada riset-riset akademik, UGM akan mampu menjawab berbagai keresahan yang melanda bangsa ini. Termasuk dalam menghadapi persaingan dengan negara lain.
Namun sayang, apa yang terjadi ibarat jauh panggang dari pada api. Cita-cita menjadi universitas riset menemui banyak rintangan. Niat mulia menjadi universitas riset berkelas dunia agar bisa “mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan” seolah dikhianati sendiri. Dimulai dari kebijakan-kebijakan rektorat yang sepihak. Biaya pendidikan tiap tahun naik dan semakin mahal (balkon edisi khusus 2008), pembangunan Gama Book Plaza yang sampai sekarang masih bermasalah, pembangunan hotel, penggusuran PKL ke Food Court, kenaikan biaya sewa asrama, serta terakhir kebijakan pemasangan portal gate yang memunculkan isu adanya penarikan biaya parkir. Sungguh sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan implementasi dari komersialisasi kampus. Sebuah hal yang justru kontraproduktif karena pada awalnya, harapan untuk membiayai diri sendiri seharusnya disandarkan dari hasil-hasil riset, bukan menarik biaya secara langsung dari fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi mahasiswa.
Tidak hanya itu, berbagai penelitian yang dilakukan pun menimbulkan masalah lain. Tercatat, tak hanya sekali UGM tersandung polemik yang menyangkut penelitian-penelitian yang dilakukan fakultas-fakultasnya. Di tahun 2008 lalu, ada dua penelitian yang memicu kontroversi publik. Pertama, “penelitian pesanan” yang melibatkan Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) dengan PT Asian Agri. Kala itu, JIK mengerjakan penelitian mengenai pemberitaan di Majalah Tempo dan Koran Tempo tentang isu penggelapan pajak senilai 1,3 trilyun. Kontroversi ini bergulir bak bola liar karena sampai muncul wacana JIK hanya membela koruptor tanpa melihat kepentingan umum (Majalah Tempo, 6 Januari 2008).
Seolah masih belum cukup memicu kontroversi, penelitian UGM kembali bermasalah. Kali ini mengenai penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan (FKT) bekerja sama dengan PT Jogja Magasa Minning mengenai penambangan pasir besi di Kulon Progo. Penelitian ini sendiri memicu konflik dengan petani Kulon Progo yang merasa dirugikan. Ribuan petani bahkan melakukan aksi demonstrasi di halaman Grha Sabha Pramana (21/6 2008). Dua kasus penelitian ini setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana UGM kerap “berselingkuh” dengan korporat-korporat yang menjadi donor bagi penelitiannya.
Sementara itu, dalam konteks ekonomi politik, penelitian-penelitian seperti di atas pun dapat dimaknai sebagai ajang perebutan sumber daya bagi para dosen UGM. Dari segi ekonomi, dosen yang memiliki akses banyak ke penelitian tentu mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih. Seperti diutarakan Heru Nugroho, mereka yang terlibat dalam berbagai proyek penelitian bahkan akan menjadi “Godfather”. Dengan posisi yang memiliki kuasa besar itu, seorang dosen bisa melakukan permainan untuk melibatkan dosen-dosen lain dalam penelitiannya. Sebagai konsekuensi logis, hubungan itu dapat digunakan secara politis untuk mencari dukungan dalam beberapa hal, semisal pemilihan rektor, dekan, atau beberapa posisi strategis dalam birokrasi kampus.
Berbagai masalah di atas merupakan kontradiksi-kontradiksi yang teramat ironis bagi cita-cita universitas riset. Potret ini seolah menjadi wajah buram kampus kerakyatan ini. Alih-alih menjadi benteng bagi ilmu pengetahuan di Indonesia, UGM justru dimanfaatkan segelintir orang di kampus demi tujuan politis dan pragmatis. Riset-riset akademik – termasuk yang melibatkan dosen dan mahasiswa – yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, hanya menjadi proyek bersama yang orientasinya uang. Buat saya, UGM kini tak lebih hanya menjadi arena perebutan kekuasaan.
Meskipun demikian, saya tak ingin kelewat terlalu pesimis. Bagaimanapun juga, cita-cita menjadi universitas riset masih layak kita dukung. Cuma memang, harus ada pembacaan kembali untuk mendefinisikan apa ma

Senin, 14 Desember 2009

Menolak Pelarangan Film Balibo

Rilis Pers : Untuk SEGERA diberitakan
CP : Wisnu (08170584344)

Menolak Pelarangan Film Balibo

Masyarakat Indonesia kembali dibuat terkejut oleh pelarangan pemutaran film Balibo dalam acara Jakarta International Film Festival. Sebagai pihak yang berwenang menyensor film, Lembaga Sensor Film (LSF) memutuskan melarang film tersebut karena adegan-adegan terbunuhnya lima jurnalis dianggap terlalu sadis. LSF pun menilai skenario film ini dibuat tidak berdasarkan fakta sejarah sehingga akurasinya pun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik, juga mengatakan bahwa film ini terlalu menyudutkan Indonesia. Jero Wacik bahkan dengan tegas mengatakan kepada aparat untuk menangkap mereka yang nekat memutar film ini.
Bagi kami, bentuk pelarangan serta ancaman dari pemerintah tersebut merupakan bentuk arogansi penguasa. Tidak hanya menjadi ancaman bagi insan perfilman, ini juga bisa menjadi ancaman bagi kebebasan di alam demokrasi. Jika memang pemerintah merasa film ini terlalu menyudutkan Indonesia dan tidak sesuai fakta sejarah, seharusnya pemerintah bisa membuat film tandingan yang sesuai versinya. Alasan bahwa film ini akan menguak luka lama antara Indonesia-Australia-Timor Leste pun tidak bisa diterima.
Masyarakat Indonesia sudah semakin dewasa dan tentu tidak bisa dibodohi begitu saja dengan sebuah film. Artinya, melarang film ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru. Apalagi, meski pun dilabeli based on true story, film ini tidak diniatkan sebagai sebuah film dokumenter. Hal ini terlihat dari adanya dramatisasi dan tokoh fiksi dalam film. Justru dengan adanya film ini, kita dapat memahami beragam perspektif yang muncul dalam sebuah peristiwa, khususnya mengenai peristiwa Balibo 1975.
Karena itulah, kami akan mengadakan diskusi serta pemutaran film Balibo hari selasa 15 Desember 2009 pukul 18.00 – selesai di sekretariat kami, Jalan Kembang Merak, Bulaksumur B-21. Diskusi serta pemutaran film ini menjadi bentuk penolakan kami terhadap pelarangan yang dilakukan LSF. Jika pelarangan ini dibiarkan saja, akan menjadi preseden buruk di masa yang akan datang. Sebab, terlepas dari benar dan salahnya Film Balibo ini, dia merupakan salah satu bentuk kebebasan berpendapat. Artinya, melarang film sama saja dengan membungkam semangat kebebasan berpendapat!
Hidup Mahasiswa!

Pemimpin Umum BPPM Balairung UGM


Iryan Ali Herdiansyah

Rabu, 25 November 2009

Melawan dengan Anekdot


Judul : The Kampus, Ngakak Sampai Mampus
Penulis : Kelik Supriyanto
Penerbit : Insania, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : viii + 96 Halaman


Anekdot, salah satu genre lelucon, merupakan bentuk energi budaya yang memiliki kandungan pengertian sangat kompleks. Tentu saja, menjadi menarik ketika di negeri ini, anekdot “hanya” diartikan sebagai lucu-lucuan atau guyonan belaka. Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun tentu saja, bisa jadi ini terlalu menyederhanakan masalah.

Seperti diungkapkan Darminto M. Sudarmo (2004), Anekdot bisa terjadi karena dua sebab; pertama, tak sengaja; kedua, disengaja. Anekdot yang tak disengaja tentu saja berkaitan dengan semua kejadian lucu yang menimpa seseorang. Anekdot sengaja, sebaliknya. dia sengaja dibuat yang berarti merupakan hasil kreasi manusia.
Nah, menyimak buku karangan Kelik Supriyanto ini, kita dihadapkan pada jenis anekdot yang kedua. Yaitu anekdot sebagai sesuatu yang sengaja dibuat dan memiliki fungsi.

Menggugat Neoliberalisme Pendidikan


Judul : Tirani Kapital dalam Pendidikan; Menolak UU BHP
Penulis : Darmaningtyas, dkk
Penerbit : Damar Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xviii + 412
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo (Anggota Pokja Pendidikan Gratis DIY)

Seperti pernah diungkapkan Mansour Fakih, tugas pendidikan pada dasarnya adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem yang tengah berlaku dalam masyarakat. Setelah itu, menentang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil.
Di titik ini, pendidikan memiliki tugas mulia untuk membentuk manusia-manusia yang mulia juga. Manusia yang mampu untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat. Minimal, membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa memecahkan masalah di tingkat lokal wilayahnya. Itulah alasan mengapa setiap proses pendidikan seharusnya mengandung bermacam-macam pelajaran dengan kearifan lokal. Tentu yang sesuai dengan kondisi sekitar sehingga sanggup memecahkan berbagai persoalan yang muncul.

Jepang, Sebuah Kisah tentang Keteladanan

Kami berungkali mengalami jatuh-bangun, dan memang kehidupan adalah jalan mendaki yang penuh duri. Kami harus berdiri ketika tersandung. Jika kita terus mencoba, pada akhirnya mata air yang indah akan muncul di hadapan kita. Kita harus terus maju ke depan sampai kita bisa menciduk air pegunungan yang jernih itu dengan tangan kita sendiri. Seperti itulah kehidupan.

Yaguchi Hisayo

Yaguchi Hisayo baru berusia 11 tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima, 6 Agustus 1945. Ketika bom atom dijatuhkan, dia masih berada di sekolah dan sempat tertimpa reruntuhan atap sekolah yang hancur lebur oleh bom. Beruntung, gadis kecil itu masih bisa selamat. Namun tidak demikian dengan keluarganya yang meninggal semua, termasuk kedua orang tuanya. Kondisi yang cukup memberi alasan bagi rasa frustasi dan depresi.
Kisah-kisah seperti dialami Yaguchi tersebut saya baca dalam buku Kami Anak-anak Bom Atom. Buku yang dalam aslinya berjudul Gembaku no Ko ini bercerita tentang kisah anak-anak yang menjadi korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Anak-anak ini menceritakan kisahnya sendiri dalam bahasa sederhana, polos, khas anak-anak, namun benar-benar menyentuh. Tidak sedikit diantara mereka yang kehilangan saudaranya, bahkan orang tuanya. Tidak sedikit pula yang harus menanggung cacat seumur hidup sebagai dampak radiasi dari bom atom. Namun yang paling membuat saya bersimpati, di tengah kondisi yang tidak bisa dijangkau akal sehat, anak-anak tersebut masih bisa menunjukkan optimisme untuk bertahan hidup.
Bagi saya, kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa luar biasanya etos dan semangat hidup yang dimiliki orang Jepang. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun bisa menunjukkan ketegarannya dalam menghadapi cobaan pasca bom atom yang begitu luar biasa dan di luar akal sehat. Meskipun kehilangan keluarga, mereka tetap memiliki semangat untuk hidup. Ujian hidup hanya dianggap sebagai sebuah kerikil dalam perjalanan.
Prinsip hidup itulah yang membuat kekalahan yang dialami dalam Perang Dunia tahun 1945 tersebut tidak membuat Jepang menjadi negara gagal. Kekalahan perang hanya dianggap sebagai kerikil. Kerikil yang hanya mengganggu namun tidak akan menghentikkan perjalanan. Perjalanan menuju mata air yang indah seperti dianalogikan oleh Yaguchi di atas. Pelan-pelan negeri ini bangkit. Kerja keras yang dilakukan seluruh rakyatnya membuat Jepang mengalami kebangkitan yang luar biasa khususnya di bidang ekonomi. Jepang kemudian muncul sebagai negara paling maju di Asia Timur. Bahkan kemudian menempatkan dirinya di kalangan yang berpengaruh dalam perekonomian dunia.
Padahal, sebelumnya Jepang dikenal sebagai negara yang penuh dengan kekurangan. Kekurangan yang paling mencolok diantaranya dari segi fisik orang Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah teritorial sempit. Belum lagi dengan letak geografis negara ini yang berada pada jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi. Sumber daya alam yang terbatas dan masih banyak kekurangan yang lain. Tapi mengapa negara yang telah hancur lebur karena perang itu bisa bangkit? Mengapa dengan berbagai kekurangan yang dimiliki bisa menjadikan diri menjadi negara maju di dunia? Adakah keajaiban?

Hasil Kerja Keras
Meskipun banyak yang menilai bahwa kemajuan pesat yang telah diperoleh Jepang tersebut merupakan sebuah keajaiban. Tapi bagi saya, anggapan tersebut hanya menihilkan kerja keras warganya. Sebab, pada kenyataannya bisa jadi keajaibanlah yang tidak mengambil peran. Segala kemajuan yang dicapai sekarang merupakan sebuah akumulasi dari mimpi-mimpi yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Tidak hanya tindakan biasa, tapi tindakan luar biasa sehingga dapat mencapai keadaan seperti saat ini. Semua diperoleh dari hasil kerja dan usaha keras rakyat Jepang untuk memulihkan kembali harga diri bangsa dan negara yang telah tercemar.
Mayoritas berbagai lapisan masyarakat di Jepang mau bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang tua. Selain kisah di buku Kami Anak-anak Bom Atom yang saya kutip di atas, Harian Republika menceritakan sepenggal cerita yang bisa menjadi ilustrasi. Berikut penggalannya;
..Hiroshi Ebihara seharusnya sudah pensiun tahun yang lalu. Kini usianya sudah 63 tahun, tetapi lelaki tua itu tetap bekerja setiap hari. Bukan karena keharusan, tapi ia memang menginginkannya. "Saya ingin bekerja sampai umur 70 tahun, kata Ebihara optimists. Perusahaan mengizinkan saya bekerja hingga usia 70 tahun, jadi sekarang giliran saya menunjukkan ras terimakasih dan bekerja untuk perusahaan selama masih dizinkan". Pria yang bertanggung jawab atas lingkungan tempat Ebihara bekerja adalah Noburi Kamoda. Hebatnya ternyata umur pak Kamoda ini jauh lebih tua ketimbang Ebihara sendiri yakni : 76 tahun !
Dari ilustrasi tersebut – meskipun tidak bisa digeneralisir – setidaknya menunjukkan betapa tingginya etos dan kerja keras orang Jepang. Tingginya etos dan kerja keras tersebut sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya Restorasi Meiji pada tahun 1866-1869. Restorasi ini menciptakan perubahan sosial politik yang dampaknya sungguh luar biasa. Semua ilmu dari barat diserap untuk kemudian dikembangkan di dalam negeri. Ini terlihat dari maraknya penerjemahan dan penerbitan buku luar negeri. Anak-anak mudanya dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu. Lantas setelah lulus, mereka harus kembali ke negerinya untuk mengembangkan pengetahuan. Tujuan yang ingin diperoleh tentu saja untuk mencapai kemajuan yang setara dengan negar-negara Barat kala itu.
Pasca hancur lebur di Perang Dunia 2, Restorasi masih memiliki efek yang luar biasa, terutama di bidang ekonomi . Seperti diungkapkan Taufik Adi Susilo (2009), keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari mental yang dibentuk dengan prinsip bushido. Sebuah prinsip hidup yang menekankan pada kerja keras, loyalitas, tidak egois, serta rasa malu. Selain itu, masih ada prinsip kaizen yang menjadi rahasia sukses Jepang. Ada tiga elemen kunci dalam kaizen. Pertama, kualitas. Kualitas tertinggi adalah yang dapat menyenangkan dan memberikan rasa bangga bagi para pelanggannya. Kedua, pengurangan biaya. Dengan perbaikan terus-menerus pada proses produksi diharapkan dapat diperoleh efisiensi tinggi. Ketiga, pengiriman. Produk yang bermutu tinggi dan harga yang rendah, tapi tidak sampai pada pelanggan tepat waktunya tidak akan membuat perusahaan lebih baik. Prinsip kaizen ini terlihat dalam aktivitas produksi perusahaan.
Faktor pendidikan pun bisa jadi salah satu faktor yang membuat kebangkitan ekonomi begitu pesat. Setelah terjadi pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar belum memfokuskan diri pada jumlah korban tapi justru bertanya. “Berapa guru yang masih tersia?” Dari situ dapat dilihat betapa Jepang begitu menempatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada prioritas tertinggi. Alasannya, dengan semakin majunya pendidikan dan ilmu pengetahuan akan semakin banyak kreativitas-kreativitas yang muncul. Kebangkitan secara nasional pun menjadi konsekuensi logis yang tidak dapat dielakkan lagi.
Selain itu, masih ada faktor lain yang membuat ekonomi Jepang cepat bangkit. Di antaranya adalah Kyoku Mama atau Pendidikan Ibu. Jepang mengandalkan peran perempuan dalam membesarkan anak. Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, seperti diungkapkan Daoed Joesoef, perempuan Jepang khususnya Ibu-ibu memiliki peran yang cukup signifikan dalam membina serta mempertahankan fondasi pendidikan dan sosial. Faktor yang memiliki kontribusi signifikan bagi ekonomi.
Tak heran jika pada awal tahun 1980-an, seluruh dunia menjadi saksi perubahan yang cukup mengejutkan. Aset bersih yang dimiliki oleh Jepang meningkat drastis dari 10 Milyar Dollar menjadi 291,7 Milyar Dollar. Sebuah peningkatan yang mengakibatkan perubahan konfigurasi kekuatan ekonomi internasional dari Amerika Serikat ke Jepang. Sebagai konsekuensi logisnya, negeri ini berubah dari negara peminjam (debtor) terbesar menjadi negara pemberi bantuan (kreditor) terbesar di dunia. Perubahan posisi antara Amerika Serikat dan Jepang ini dikenal dengan istilah “Trading Place”.

Kisah Keteladanan
Perjuangan yang dilakukan Jepang untuk bangkit begitu luar biasa. Bagaimana tidak, negeri yang pasca tahun 1945 diramalkan akan bangkrut ini tiba-tiba bisa berbaik menjadi negeri yang kuat dan tangguh. Jepang berubah menjadi raksasa terutama di bidang teknologi dan ekonomi. Dalam bidang yang disebutkan terakhir, Indonesia secara langsung telah mendapatkan bantuan yang cukup besar. Mengalirnya bantuan sejak awal 1960-an tersebut memiliki arti yang cukup penting dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kehancuran. Pada akhir 65, Indonesia memang sedang dilanda krisis sosial-politik yang mengganggu terciptanya stabilitas ekonomi. Tidak hanya itu, aliran bantuan pun dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Dalam konteks tersebut, Jepang telah memberikan manfaat bagi kita. Namun, keteladanan yang saya maksud bukanlah masalah bantuan belaka. Lebih dari itu, kisah keteladanan yang layak kita jadikan contoh adalah sikap kerja dan etos masyarakat Jepang. Semangat untuk bangkit dari keterpurukan itulah yang lebih mendesak bagi kita. Karena dengan meneladaninya, kita bisa menemukan inspirasi untuk keluar dari krisis multidimesional yang tengah membelit erat bangsa ini.
Saya kemudian teringat tentang pepatah Jepang klasik, Kunshi wa hitori otsutsa shinu, orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri. Ini terlihat dari kerja keras yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin terhadap waktu menjadi pedoman hidup. Belum lagi ikatan terhadap komunitas yang begitu tinggi. Dengan hasrat hidup bersama yang cukup tinggi tersebut, proses pembangunan sebuah bangsa dalam berbagai bidang akan terasa lebih mudah dilaksanakan.
Saya menemukan ilustrasi yang cukup menarik dalam kartun Jepang kesukaan saya, Doraemon. Dalam episode terakhir yang saya ingat, Doraemon kehabisan baterai. Karena dia sebuah robot, tentu saja jika baterainya habis dia tidak dapat hidup. Nobita sebagai tuan Doraemon lantas menggunakan berbagai cara untuk mencari baterai Doraemon. Termasuk pergi ke masa depan meskipun hal tersebut cukup berbahaya bagi hidup Nobita. Apa yang dapat kita jadikan pelajaran? Nobita yang terkenal sebagai anak manja dan malas, tiba-tiba menjelma menjadi anak yang penuh perhatian dan siap melakukan segalanya. Bahkan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Doraemon.
Bagi saya, itu adalah prinsip utama yang layak kita ikuti. Argumentasi saya cukup sederhana, berbagai masalah yang muncul di Indonesia saat ini dikarenakan sikap tidak bisa menjaga diri sendiri dan tidak mau berkorban, baik para pejabat maupun rakyatnya. Sebagai contoh, perilaku korupsi. Para pejabat tentu tidak tahu malu ketika mencuri uang rakyat dengan mudah. Semua dilakukan dengan sadar tanpa mau tahu kondisi negeri dan rakyat yang diwakilinya. Berungkali korupsi dilakukan, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Sementara itu, rakyat Indonesia pun ironisnya secara tidak langsung juga mendukung budaya koruspi. Contoh sederhana, dalam masalah lalu lintas. Orang-orang lebih suka membayar di tempat daripada ditilang oleh polisi di jalan. Kondisi ini selalu saja berulang. Mungkin kita yang pernah ditilang pun akan mengakui hal tersebut. Belum lagi dalam pembuatan surat ijin mengemudi yang banyak terjadi proses suap. Dengan alasan tidak mau repot mengurus pembuatan, kebanyakan orang lebih memilih membayar mahal kepada aparat. Menyedihkan, budaya perusak bangsa ini justru didukung oleh masyarakatnya sendiri.

Mengambil Contoh
Dari berbagai kisah dipaparkan di atas, kita seharusnya bisa mengambil contoh-contoh tersebut lantas menjadikannya sebagai inspirasi untuk kita bangkit. Anak-anak korban bom atom – meskipun kehilangan keluarga – tetap tegar dan melanjutkan hidup. Orang-orang tua yang masih disiplin untuk bekerja meskipun sudah tua. Kebangkitan ekonomi yang luar biasa setelah sempat terpuruk. Kebangkitan yang tidak bisa dibilang main-main. Sebab kita pada dasarnya tahu semua bagaimana kondisi psikologis sebuah negara yang kalah perang dan bahkan terancam bangkrut.
Akhirnya, membicarakan Jepang adalah membicarakan sebuah kisah tentang keteladanan. Kisah keteladanan yang penuh harapan untuk bangkit dan lebih baik di masa depan. Sebab seperti kita tahu, kekuatan harapan (power of hope) adalah kekuatan luar biasa yang melebihi kekuatan apapun. Buktinya jelas, Jepang kini mampu berdiri menjadi salah satu kekuatan yang disegani di berbagai belahan dunia. Jika Jepang mampu bangkit, bangsa Indonesia pun seharusnya mampu. Semoga.

Jumat, 16 Oktober 2009

Mahasiswa sebagai Intelektual Organik

Cendekiawan, seperti diungkapkan Julien Benda, memiliki tugas untuk mencari kebenaran. Dia mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan, sampai teka-teki metafisika. Jika dia menemukan kebenaran lantas menyampaikannya, berarti ia telah menjalankan tugasnya kepada masyarakat. Sementara jika dia menyampaikan sebuah kesalahan, berarti ia telah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menyuarakan kebenaran kepada masyarakat.

Namun, Benda menambahkan bahwa seorang cendekiawan atau intelektual tidak mengejar maksud praktis. Ia benar-benar hanya bertugas mencari kebenaran, menggalinya, sampai menemukan kebenaran luas dari kebenaran-kebenaran yang sempit. Tak heran, dalam bukunya yang berjudul The Treason of The Intellectuals, Benda menyebut seorang cendekiawan yang memiliki tujuan praktis politis sebagai seorang pengkhianat.

Kondisi inilah yang menjadi contoh relevan ketika kita melihat sejarah Indonesia terutama di era 1960-an akhir. Kala itu, Indonesia tengah mengalami masa-masa transisi pergantian rezim kekuasaan. Masa-masa kritis negeri ini. Hampir semua organisasi sayap kiri tiarap karena disapu habis-habisan oleh rezim yang baru berkuasa. Tidak hanya itu, mereka yang menjadi simpatisan sayap kiri pun terkena imbasnya.

Sementara orang-orang sayap kiri dihabisi, muncul golongan yang mencari keuntungan. Mereka inilah loyalis-loyalis Soekarno yang kemudian berbalik arah mendukung Orde Baru. Seperti kita ketahui kemudian, teknokrat-teknokrat yang sebelumnya mendukung Bung Karno kemudian mendukung semua kebijakan yang dikeluarkan rezim baru. Kaum intelektual kemudian menjadi “sekrup-sekrup” pembangunan ala Orde Baru.

Dalam kondisi yang demikian carut marut dimana pemerintahan otoriter justru dilegitimasi oleh golongan cendekiawan negeri ini, mahasiswa mencoba menunjukkan perannya sebagai seorang intelektual muda. Sejak awal 1970-an, Mahasiswa mulai melakukan aksi-aksi turun ke jalan, melancarkan protes kepada pemerintahan yang dianggap hanya menyengsarakan rakyat. Klimaksnya pada bulan Januari 1974. Ketika Pemerintah sedang menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, di Jakarta dan sekitarnya terjadi demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan luar biasa yang diinisiasi oleh mahasiswa. Protes-protes ini dilancarkan karena mahasiswa menganggap para pejabat menerima uang suap dari kalangan pengusaha Jepang. Apalagi ketika itu, pengaruh Jepang dalam bidang perekonomian begitu kuat.

Layaknya seorang intelektual muda, mahasiswa melakukan serangkaian aksi demonstrasi tidak demi keuntungan pribadi. Mereka tidak berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan hanya merupakan kekuatan moral yang menginginkan negara ini mencapai cita-citanya dengan tidak menindas rakyatnya.Sampai di sini, dua kondisi di atas dapat kita benturkan. Di satu sisi, para teknokrat-teknokrat yang terjun dalam politik dan membela Orde Baru adalah – mengutip Benda – seorang pengkhianat karena ia telah melegitimasi sebuah kekuasaan yang korup, tanpa berbuat apa-apa. Sementara di sisi lain, dengan melakukan berbagai aksi demonstrasi sampai menimbulkan kerusuhan, berarti mahasiswa telah menjalankan tugasnya sebagai seorang intelektual.

Ya, meskipun dengan melakukan demonstrasi berarti mahasiswa telah terjun ke dalam politik praktis, mahasiswa sesungguhnya tengah melakukan peran sebagai seorang resi. Dalam kosmologi Jawa, seorang resi adalah seorang bijaksana yang tinggal jauh dari keramaian. Ia memang sengaja hidup jauh dari masyarakat dan juga pusat kekuasaan raja untuk mencari sebuah kebenaran. Merenungi dan kemudian merefleksikan hidup. Seorang resi sendiri akan menyelesaikan atau menghentikan pertapaannya ketika ia melihat ada sesuatu yang salah di masyarakat. Ia bisa meramalkan sebuah kehancuran. Ia juga mempunyai kewajiban mengingatkan seorang penguasa yang bertindak sewenang-wenang kepada masyarakatnya. Tapi tentu ia baru akan turun dari pertapaannya jika memang kondisi benar-benar sudah gawat.

Seperti sudah disebutkan di atas, mahasiswa adalah seorang intelektual muda yang baru akan terjun ke lumpur kotor politik ketika memang waktu sudah mendesak. Bukankah sejarah kita telah menunjukkan demikian. Sejarah telah membuktikan bagaimana intelektual muda bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Tahun 1945, mereka berjuang dengan penuh pengorbanan menuntut kemerdekaan. Tahun 1966, mahasiswa termasuk salah satu elemen yang berhasil membuat pemerintahan Orde Lama tumbang.

Belum lagi jika kita lihat di tahun 1974 yang sudah dibahas di atas. Dari berbagai perubahan sosial politik yang paling fenomenal tentu peristiwa tahun 1998. Kala itu, mahasiswa dan rakyat bersatu menggulingkan rezim yang sudah berkuasa hampir selama 32 tahun. Peristiwa yang kita kenal dengan nama Reformasi ini menjadi salah satu titik balik yang cukup penting dalam sejarah Republik ini.

Dari deretan tahun-tahun tadi, ada beberapa kesamaan yang layak kita cermati. Dalam menjalankan perannya sebagai seorang resi, mahasiswa tidak mencari keuntungan politis dari aksi-aksi yang dilakukan. Mereka hanya menjalankan perannya sebagai gerakan moral. Sebuah gerakan yang murni muncul dari hati nurani. Meskipun tidak dapat kita ingkari bahwa pada kenyataanya cukup banyak mahasiswa yang menjadi kepanjangan tangan partai politik. Inilah sebuah ironisme. Bagi saya, seorang mahasiswa yang menjadi kepanjangan tangan partai politik berarti telah menggadaikan idealisme. Alasannya cukup jelas.

Dari segi kebudayaan, mahasiswa yang menjadi underbouw partai politik tentu bukanlah seorang resi. Sebab, mereka mempunyai kepentingan politis yang jelas. Partai politik merupakan bagian dari sistem politik yang berkuasa. Jika mereka ingin melancarkan aksi ataupun kecaman kepada pemerintah, tentu dilakukan melalui mimbar DPR, bukan melalui kaki tangannya (mahasiswa) dalam aksi-aksi demonstrasi. Mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi karena “pesanan” partai politik, berarti dia telah melakukan kekacauan sosial.

Kembali ke awal, bagi saya pandangan Benda adalah pandangan yang sangat liberal, karena menempatkan seorang intelektual “di luar” masyarakatnya. Padahal, tidak mungkin kesadaran seorang manusia – dalam konteks ini mahasiswa – bisa lepas dari eksistensi keberadaannya. Sebab, eksistensi lah yang menentukan kesadaran, dan bukan sebaliknya. Sampai di sini, saya kemudian teringat tentang gagasan Antonio Gramsci tentang intelektual organik.

Gramsci memahami peran intelektual sebagai bagian yang terintegrasi di dalam masyarakat. Bahkan ia tidak dapat dipisahkan karena telah menjadi bagian dari materialitas konkret berbagai problematika dan dialektika yang membentuk masyarakat. Inilah intelektual organik. Yaitu mereka yang tidak tinggal diam ketika melihat berbagai kondisi di masyarakat yang begitu meresahkan. Mereka adalah orang-orang yang mampu menginisiasi, mengorganisasi masyarakat atau kaum mustadafin yang termarjinalkan.

Untuk bisa menginisiasi, tentu kita harus belajar langsung dari masyarakat. Belajar langsung dari masyarakat adalah memberdayakan masyarakat yang artinya kita tidak membedakan antara teori dan praksis. Dalam perspektif marxian, inilah yang disebut sebagai praksis emansipatoris. Pemberdayaan yang saya maksud tentu berbeda dengan program pemberdayaan ala pemerintah seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Langsung Tunai. Jika program pemberdayaan pemerintah tersebut kebanyakan berorientasi pada logika ekonomi, kita cukup melakukan community empowerment dengan berorientasi pada logika sosial. Artinya, kita sedang melakukan sebuah transfer of knowledge, bukan transfer of money atau yang lain. Dalam wilayah praksis, hal ini tentu sudah saya lakukan bersama teman satu asrama.

Transfer of knowledge ini memang akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat., Pemberdayaan memang akan berhasil apabila masyarakat mampu mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan pengambilan keputusan oleh masyarakat sendiri. Dengan kata lain, masyarakat tidak bergantung kepada pemerintah atau siapapun. Artinya, trasfer of knowledge bisa diartikan sebagai sebuah upaya membangun power yang dimiliki oleh masyarakat.

Terakhir, melakukan pemberdayaan masyarakat tidak perlu kita lakukan dengan muluk-muluk. Sekali lagi perlu digaris bawahi bahwa pemberdayaan yang kita lakukan jauh berbeda dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM, apalagi negara. Sebagai seorang pemimpin muda, yang cukup kita lakukan saat ini baru melakukan pemberdayaan berbasis komunitas. Tentu bisa kita lakukan dengan hal yang cukup sederhana seperti di lingkungan kita. Hal ini semata-mata diikhtiarkan sebagai sarana untuk melatih kepekaan sosial, demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.

Selasa, 25 Agustus 2009

Belajar dari Sejarah

Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas telah menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. Cara yang dipakai untuk memajukan kebudayaan ini adalah dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Sementara itu di pasal 2 juga ditegaskan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Di titik ini sebenarnya konstitusi kita telah mengamanatkan kepada negara untuk memajukan berbagai kebudayaan yang ada.

Namun sayang, apa yang terjadi dewasa ini sungguh mengenaskan. Pemerintah sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia sepertinya tidak bisa menjaga amanat konstitusi. Kondisi ini setidaknya tercermin dari berbagai macam bahasa daerah yang terancam punah. Data yang dirilis UNESCO menunjukkan bahwa sudah ada 10 bahasa daerah yang punah dan 147 bahasa daerah yang terancam punah dari total bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah 200an.

Belum lagi jika kita saksikan bagaimana Malaysia dengan mudah mengklaim berbagai produk budaya di Indonesia. Dari mulai batik, lagu Rasa Sayange sampai yang terakhir Tari Pendet dari Bali pun diklaim sebagai milik mereka. Protes- protes yang dilancarkan oleh para seniman dan pemerintah pun seakan menjadi percuma. Apalagi peristiwa tersebut terjadi berulang kali. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan kita sedang berada pada titik nadir karena dengan mudah diinjak-injak negara lain.
Melihat kondisi yang cukup ironis tersebut, sebenarnya kita juga tidak bisa semata-mata menyalahkan pemerintah. Masalah kebudayaan adalah masalah milik kita bersama, seluruh rakyat Indonesia. Karena itulah tanggung jawab kebudayaan sebenarnya juga terletak di pundak-pundak kita. Di titik inilah pemuda bisa mengambil peran yang cukup penting. Apalagi para pemuda adalah generasi penerus yang akan memimpin bangsa ini ke depan.

Peran pemuda tersebut sudah sejak lama dapat kita saksikan. Peristiwa yang menjadi tonggak paling penting adalah peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda seharusnya tidak hanya kita maknai sebagai peristiwa politik karena sebenarnya ia juga merupakan sebuah peristiwa budaya. Ya, sebuah peristiwa Budaya dimana pemuda dengan latar belakang yang berbeda-beda bisa mencapai titik sepakat untuk berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu, Indonesia. Maka, cukup masuk akal apa yang dikatakan oleh Ernest Renan. Renan mengatakan bahwa solidaritas sebagai sebuah bangsa hanya bisa dibentuk dari solidaritas kecil tiap-tiap hari. Sebuah analogi yang cukup tepat untuk menggambarkan bagaimana masing-masing kebudayaan daerah, mampu menyokong kebudayaan nasional. Itulah Sumpah Pemuda.

Belajar dari masa lampau, pemuda era kini pun seharusnya bisa mengambil peran yang sama. Apalagi di tengah krisis multidimensi – termasuk krisis kebudayaan – yang seolah belum ingin menjauh dari republik ini. Peran tersebut dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana, setidaknya dengan menghargai dan melestarikan budaya lokal di masing-masing daerah. Penggunaan dan pemahaman mendalam tentang bahasa daerah sendiri setidaknya sudah menjadi kontribusi yang cukup signifikan. Belajar bahasa asing sebagai sarana pergaulan internasional tentu sah-sah saja, tapi tetap tidak boleh menghilangkan identitas asli.

Jika hal-hal sederhana tadi bisa dilakukan oleh para pemuda – dan rakyat Indonesia – secara konsisten, niscaya kebudayaan nasional akan berkembang. Negara lain tidak akan seenaknya mengklaim produk budaya kita, dan harapan untuk memajukan kebudayaan Indonesia, bisa terwujud.
(dimuat di harian Seputar Indonesia 25 Agustus 2009)

Kamis, 30 Juli 2009

Menomorduakan Faktor Politis dan Populis

PEMILIHAN presiden baru saja usai.Hasil resmi KPU menetapkan pasangan SBY-Boediono menjadi pemenang dengan suara mutlak.Meski masih muncul gugatan dari dua pasangan capres dan cawapres yang lain, kecil kemungkinan gugatan ini akan mengubah hasil pilpres.

Artinya, SBY hampir pasti akan melanjutkan perannya sebagai presiden untuk periode 2009–2014. Tantangan awal SBY-Boediono adalah menentukan formasi kabinet yang akan membantu tugas mereka lima tahun yang akan datang. Ini memang mutlak dipertimbangkan karena begitu beratnya tantangan yang akan dihadapi oleh SBY-Boediono.

Tantangan paling besar terutama muncul dari bidang ekonomi dan keamanan.Di bidang ekonomi,SBY memiliki tugas berat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengantisipasi supaya Indonesia tidak terancam oleh krisis global.Di bidang keamanan, SBY memiliki kewajiban untuk menuntaskan ancaman terorisme yang baru saja menunjukkan hidungnya kembali dalam kasus bom Mega Kuningan.

Untuk memilih menteri yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan yang begitu berat, SBY harusnya menempatkan orang-orang secara tepat.Dari sini saya kemudian teringat dengan teori yang dikemukakan peraih Nobel Ekonomi, James Buchanan. Dia mengungkapkan teori yang disebut sebagai rational choice.

Teori ini mengasumsikan bahwa seorang politisi memilih keputusan dengan pertimbangan yang cukup matang dan berani mengambil risiko. Teori ini sebenarnya sudah dilakukan SBY ketika memilih Boediono sebagai calon wakil presiden.Di luar perkiraan banyak pihak,SBY memilih wakil dari kalangan teknokrat.

Nyatanya pilihan SBY ini terbukti dengan kemenangan mutlak pasangan ini.Kondisi inilah yang seharusnya terjadi lagi dalam pembentukan kabinet mendatang. SBY harus berani untuk mengisi kabinet lebih banyak dari kalangan profesional.

Dalam kondisi krisis dan ancaman keamanan yang terus mengintai negeri ini,SBY membutuhkan figur yang tidak hanya mampu menjalankan tugas, tapi juga mampu memberikan alternatif jalan keluar secara cepat dan tepat.Dengan begitu,pembentukan kabinet yang terdiri dari para ahli tentu menjadi sebuah pilihan rasional seperti diungkapkan Buchanan tadi.

Selain karena mampu menjawab tantangan dengan cepat, zakenkabinet juga akan membuat tingkat kestabilan kabinet lebih baik.Apalagi menteri dari kalangan profesional bebas dari kepentingan dengan parpol. Inilah yang tidak dipunyai oleh kabinet SBY periode 2004–2009 kemarin.

Banyaknya menteri yang berasal dari parpol nyata membuat kabinet tidak stabil dan tidak efektif, terutama setahun menjelang pemilihan umum.Alih-alih sibuk menjalankan tugas negara, mereka justru lebih sibuk berkampanye menjalankan tugas partai mereka. Mengingat masalah besar yang dihadapi bangsa ke depan,SBY memang harus berani mengambil risiko.

Meskipun resistensi dari parpol koalisi pasti akan cukup besar, SBY sebaiknya menomorduakan faktor politis dan populis. Artinya,kalangan profesional adalah pilihan paling rasional bagi SBY. Ini jika SBY ingin memecahkan berbagai permasalahan bangsa dan memberikan warisan indah di periode terakhir kepemimpinannya.Semoga.
(dimuat di harian Seputar Indonesia 30 Juli 2009)

Sabtu, 25 Juli 2009

Kemenangan ala Reagan

Pemilu presiden baru saja usai. Dan hasil sementara quick count yang biasanya tidak jauh berbeda dengan hasil resmi KPU menetapkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang.

Melihat kemenangan mudah SBY ini, saya kemudian teringat dengan kemenangan Ronald Reagan di pemilu Amerika Serikat 1980. Ketika itu, Ronald Reagan yang notabene seorang artis, berhasil mengejutkan dunia dengan memenangi pemilu dan menjadi presiden AS. Padahal, saat itu usia Reagan hampir mendekati 70 tahun. Dia tercatat sebagai presiden AS tertua ketika memperoleh kekuasaan.

Kemenangan Reagan sendiri ditentukan oleh faktor bandwagon effect yang dilakukan oleh tim suksesnya. Bandwagon effect yaitu kecenderungan masyarakat akan melakukan atau memercayai sesuatu karena mayoritas orang melakukan atau mempercayai hal tersebut. Kala itu jaringan televisi NBC telah mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll. Pengumuman exit poll dilakukan ketika pemilih di wilayah timur Amerika telah selesai memilih. Padahal di wilayah barat, pemilihan belum dilakukan karena adanya perbedaan waktu.

Karena di wilayah timur Reagan menang mutlak, akibatnya pemilih di barat yang telah mengetahui kemenangan tersebut cenderung untuk memilih sang pemenang. Dan fakta membuktikan bahwa Reagan kemudian menang dengan cukup telak.

Kondisi yang sama tentu dapat kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlangsung di Indonesia. Tim sukses SBY bahkan sudah mencoba menggunakan bandwagon effect jauh hari sebelum pilpres berlangsung. Hal ini terlihat dari survei-survei yang dilakukan oleh tim sukses SBY-Boediono. Hampir di setiap survei yang dirilis setiap tiga bulan sekali, SBY menang telak dibandingkan pasangan yang lain.

Tidak hanya dilakukan sebelum pilpres, bandwagon effect bahkan dilakukan ketika hari pencontrengan tengah berlangsung. Hampir sama seperti yang dilakukan oleh NBC tahun 1980, beberapa stasiun televisi di Indonesia pun selalu meng-up date hasil sementara pilpres melalui exit poll. Hampir setiap jam kita dapat melihat bagaimana mutlaknya kemenangan SBY.

Namun, yang lebih kontroversial, hasil exit poll ini diumumkan ketika masih ada daerah yang belum melakukan pemilihan. Beberapa daerah di Papua bahkan melakukan pemilihan di hari berikutnya. Hasil exit poll yang diumumkan sebelum pemilihan selesai dilaksanakan sepenuhnya tentu memengaruhi psikologi masyarakat. Kebanyakan masyarakat tentu akan beranggapan buat apa lagi memilih pasangan yang lain jika SBY sudah menang, dengan angka mutlak pula.

Apalagi SBY juga diuntungkan oleh statusnya sebagai presiden incumbent. Dengan posisi tersebut, dia tentu memiliki keuntungan dibandingkan dua pasangan yang lain. Bahkan, bila dibandingkan dengan Jusuf Kalla yang juga seorang wapres incumbent.

Pilpres kali ini memang menunjukkan sebuah efek yang luar biasa dari pembentukan opini publik. Akhirnya, berbagai hal yang dilakukan oleh tim sukses pasangan lain seolah percuma. Debat capres yang menunjukkan elektabilitas JK naik tajam pun akhirnya tidak berarti apa-apa. Kritikan-kritikan Mega-Prabowo terhadap pemerintah pun hanya menjadi angin lalu. Sekali lagi, pesona SBY memang masih menarik buat masyarakat Indonesia. Ditambah dengan band-wagon effect yang sukses, SBY membuat pemilu hanya berlangsung satu putaran.
(dimuat di harian Kompas 25 Juli 2009)

Kamis, 23 April 2009

Menggugat Demonstrasi Mahasiswa

Bebas! Pembebasan! Sejak kata itu ditemukan oleh manusia isinya tetap sama, yaitu lepas dari keadaan nyata yang tak disenangi, masuk ke alam ideal. Tentunya kebebasan yang dimaksud adalah keberadaan untuk memperjuangkan keadilan. Bahkan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000), Pramoedya Ananta Toer mengatakan betapa manusia mendambakan dalam sepanjang sejarahnya-jaman perbudakan, jaman feudal, jaman kolonial, jaman sekarang, jamanku sendiri.
Sama halnya dengan kehidupan mahasiswa yang memiliki kebebasan serta tanggung jawab sebagai seorang manusia. Mahasiswa adalah entitas menengah yang istimewa. Ia disebut menengah karena memiliki posisi yang unik dan strategis. Dapat kita lihat dari sejarah bangsa Indonesia selama ini. Sejarah bangsa ini adalah sejarah perlawanan mahasiswa kepada para penguasa yang menindas rakyatnya sendiri.
Dengan resistensi yang cukup tinggi, tak heran jika kita (mahasiswa) selalu membuat panas telinga para penguasa. Ya, mahasiswa adalah kabar buruk buat penguasa. Betapa aksi-aksi mahasiswa sampai saat ini telah menunjukkan kehebatannya. Peristiwa tahun 1966, 1974, 1977-1978 dan yang paling legendaris Reformasi 1998 menjadi bukti tak terbantahkan. Demonstrasi turun ke jalan menjadi ciri khas mahasiswa yang menolak adanya penindasan.
Hak perlawanan warga negara terhadap pemerintahnya sendiri akan muncul secara otomatis ketika penindasan yang dilakukan sudah melampaui batas. Artinya, negara boleh dianggap gagal ketika ia tidak mampu menyediakan atau memenuhi hak-hak dasar warganya, tentu meliputi kebebasan berekspresi. Sebab jika ini sampai terjadi, negara sama saja telah merampas hak-hak warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Sebagai konsekuensi logis, warga akan melawan karena ruang-ruang dialogis telah ditutup yang pada akhirnya membentuk pemerintahan otoriter.
Di titik inilah demonstrasi muncul. Ia menjadi semacam sarana untuk menyalurkan aspirasi warga negara yang tersumbat. Bahkan wakil rakyat pun tidak mampu menyalurkan aspirasi mereka. Inilah yang kemudian membuat demonstrasi dianggap sebagai sebuah parlemen jalanan. Di negeri ini, hak untuk melakukan demonstrasi semakin bebas ketika dikeluarkannya Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Menurut UU tersebut, demonstrasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum (pasal 1 ayat 3). Dengan kata lain, demonstrasi merupakan sarana untuk mengeluarkan pendapat secara bebas di muka umum. Ya, seperti yang biasa kita lakukan di Bunderan UGM, Tugu, Sepanjang jalan Malioboro, sampai perempatan Kantor Pos Besar. Itulah demonstrasi, secara tekstual.
Permasalahan yang muncul saat ini terkait dengan demonstrasi yaitu cenderung dilakukan dengan reaksioner dan spontan. Bahkan terkadang demonstrasi hanya memanfaatkan momentum. Ini membut aksi-aksi (sangat) sering dilakukan tanpa analisis serta argument yang jelas. Yang penting aksi. Bukankah ini sangat sering kita dengar.
Jika ditarik lebih jauh, aksi-aksi mahasiswa berupa demonstrasi sebenarnya harus dievaluasi. Sebab saat ini demonstrasi sudah jauh kehilangan esensinya. Ia hanya sekadar menjadi rutinitas tanpa makna. Tanpa esensi. Bagaimana tidak, saat ini demonstrasi seolah hanya menjadi ajang absensi gerakan. Senin gerakan A turun ke jalan, selasa gerakan B, rabu gerakan C, begitu seterusnya. Lebih tepat jika dikatakan demonstrasi menjadi tempat untuk menunjukkan eksistensi. Tidak lebih.

Rabu, 01 April 2009

Menekan Globalisasi

Waktu sudah mendesak. Kita harus bersedia untuk keluar dari dari lingkaran setan konsumerisme, berani hidup secara sederhana, dengan gaya hidup seadanya, gaya hidup yang sustainable, dan secara sosial tidak memisahkan kita satu sama lain. Kita perlu sadar bahwa tuntutan itu bukan sekadar tuntutan moral melainkan syarat kalau kita mau menyelamatkan bangsa Indonesia.

-Franz Magnis Suseno-[i]

Fenomena globalisasi sudah menjadi domain banyak orang. Artinya, ia sudah tidak lagi menjadi barang eksklusif yang terbatas pada kalangan elit semata. Mulai dari tukang parkir, mahasiswa yang sering nongkrong di mall, sampai pejabat pemerintahan seolah sudah mahir menyebutkan kata itu. Para pejabat bahkan selalu lantang meneriakkan bahwa menarik investor asing menjadi hal yang harus dilakukan di era globalisasi saat ini. Entah mereka memahami artinya atau tidak. Yang pasti, globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindari warga dunia.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, siapa dan apa sebenarnya globalisasi? Mengapa ia bisa masuk ke dalam diskusi-diskusi yang dilakukan banyak orang di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Mengapa juga ia mampu memberikan pengaruh yang sedemikian dahsyat dalam hidup kita di era posmodernisme seperti saat ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, ada dua hal yang layak diperhatikan.

Pertama, ketika membicarakan globalisasi, kita tidak bisa menghindarkan diri dari konsepsi imperialisme kolektif. Sebab, imperialisme kolektif merupakan bentuk penjajahan gaya baru yang juga menjadi bentuk tertinggi dari kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme kolektif menjadi semacam ideologi globalisasi.[ii] Imperialisme kolektif inilah yang kemudian bentuknya termanifestasikan ke dalam Trans National Corporation (TNC) atau Multi National Corporation (MNC). Jika memakai logika agen dan struktur, TNC atau MNC inilah yang menjadi agen-agen penyebar globalisasi.

Dalam konteks negara berkembang, seperti Indonesia, MNC – yang dimiliki oleh para pemilik modal internasional – inilah yang melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebab, MNC memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan-tindakan penindasan dan penghisapan terhadap negara-negara berkembang melalui modal besar yang dimiliki. Sebagai konsekuensi logis, kemiskinan akan tetap mengabadi. Menurut Eko Prasetyo, kemiskinan bukan sebuah takdir atau pilihan yang tak bisa dielakkan. Kemiskinan ada karena timbul pemerasan. Kemiskinan muncul karena penumpukan laba yang tak habis-habis.[iii]

Logika agen dan struktur itulah yang membuat Leslie Sklair, sosiolog-ekonomi pada London School of Economics, merintis studi tentang agency globalisasi sejak dasawarsa 1980-an. Sklair membagi globalisasi ke dalam tiga agency utama. Pertama, globalisasi berisi berbagai praktik (terutama transaksi ekonomi) lintas negara. Kedua, sebagai penggerak utama adalah para praktisi bisnis transnasional dan badan-badan yang terkait dengan praktik-prkatiki transnasional. Terakhir, dalam coraknya dewasa ini, globalisasi disangga oleh kultur ideologi konsumerisme. [iv]

Kedua, globalisasi (ekonomi) selalu menyebabkan marginalisasi yang luasnya sama seperti luas dunia. Yang dimaksud marginal di sini bukanlah sekelompok minoritas. Sebab, ketika kita mengatakan bahwa marginal sama dengan minoritas, telah terjadi kesalahpengertian dalam memahami dua entitas tadi. Sebagai contoh, bisakah kita mengatakan 50 juta lebih penduduk miskin itu minoritas dari hampir 220 juta penduduk Indonesia?

Kaum marginal pada dasarnya adalah nama – yang diberikan globalisasi – terhadap mereka yang kalah, tersingkir, dan terpinggirkan karena tidak mampu mengikuti dinamika pasar yang begitu diagungkan dalam globalisasi. Yang menjadi persoalan adalah, marginalisasi berlangsung ganda : kelompok-kelompok miskin tidak hanya tersingkir oleh kinerja prinsip “daya beli menentukan hak”, tetapi oleh penghapusan jaring pengaman apabila mereka jatuh. Susan George, dalam The Lugano Report bahkan menyebutkan bahwa untuk melestarikan kapitalisme global, jumlah penduduk dunia yang sekarang berjumlah sekitar 6 milyar harus dikurangi menjadi 4 milyar. Artinya, 2 milyar penduduk dunia ini tidak dibutuhkan! Mereka inilah yang disebut sebagai kaum marginal. [v]

Sebuah Jalan Keluar Alternatif

Dalam Manifesto Komunis, Karl Marx dengan tegas mengatakan, “Sejarah sampai sekarang adalah sejarah perang antara kelas-kelas”. Dari perspektif Marxian, ini berarti bahwa konflik hanya dapat diakhiri dengan sebuah revolusi dimana kelas bawah pada akhirnya akan menang. Dalam konteks ini, kaum marginallah yang kemudian akan menang. Namun, jangankan berbicara revolusi, konsepsi kesadaran kelas dalam kapitalisme global seperti saat ini adalah sebuah hal yang mustahil. Ilusi-ilusi kapitalisme bahkan membuat perlawanan kaum tertindas melemah. Posisi antara penindas dan yang ditindas menjadi – seolah – sama. Contoh sederhana, bagaimana mungkin seorang buruh akan merasa tertindas jika dia masih sanggup untuk membeli motor, meskipun dengan kredit. Bagaimana juga orang miskin bisa merasa sengsara jika mereka masih bisa dengan nyaman menonton televisi?

Untuk keluar dari masalah yang melilit bangsa ini, tentu tidak bisa dilakukan dengan cara yang biasa-biasa saja. Pada dasarnya, mengutip ucapan Bernhard Kieser, globalisasi (dan kapitalisme) harus dibina.[vi] Pasar harus diperadabkan supaya tidak biadab seperti yang terjadi sekarang ini. Jika kita tilik lebih jauh, pada dasarnya bukan globalisasi yang mengontrol globalisasi. Namun, politiklah yang seharusnya mampu mengarahkannya, dengan kata lain menjadi panglima. Bagaimanapun juga, globalisasi membutuhkan tekad dan pengaturan politik yang tegas dari negara. Negara di sini diartikan sebagai otoritas yang bisa mengeluarkan public policy.

Sebagai pemegang otoritas, para elit negeri ini harus berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Paradigma yang harus digunakan adalah haram membangun dengan mengorbankan rakyat kecil. Artinya, negara harus menjadi pembela hak-hak rakyat dengan melindungi dan menjaga hak ekonomi, budaya, dan sosial serta mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia.[vii] Kemudian, kita harus bangkit dengan Ekonomi Kerakyatan. Inilah konsep pembangunan yang sejak awal dicita-citakan para founding fathers kita. Ekonomi Kerakyatan berarti menempatkan rakyat sebagai soko guru kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, rakyat sendiri yang menentukan kemakmurannya. Terakhir, globalisasi menjadi momentum yang tepat bagi kita – rakyat Indonesia – untuk kembali menunjukkan persatuan dan bangkit dengan Ekonomi Kerakyatan. Kita harus berbalik menekan globalisasi. Jika ini tidak dilakukan, bisa jadi kita termasuk dalam 2 milyar penduduk yang akan terpinggirkan dalam kehidupan global seperti sudah disebutkan di atas. Waktu sudah mendesak.



[i] Franz Magnis Suseno , 2004, Mereka yang Ditinggalkan, dalam Majalah BASIS edisi Juni 2004 hlm. 31

[ii] Dr. Darsono Prawironegoro, 2003, Ketahanan Nasional Terhadap Hegemoni dan Dominasi Kaum Kapitalis Raksasa Asing, dalam Globalisasi, aspek-aspek : Idiologi dan Moral, Ekonomi, dan Hukum, Jakarta : Yayasan Gerakan Jalan Lurus dan Yayasan Kepada Bangsaku, hlm. 54

[iii] Eko Prasetyo, 2009, Kaum Miskin, Bersatulah!, Yogyakarta : Resist Book, hlm. 29

[iv] Leslie Sklair, 1991, Sociology of the Global System, New York : Harvester Wheatsheaf

[v] Susan George, 2003, The Lugano Report, On Preserving Capitalism in the Twenty First Century, London : Pluto hlm. 68-69

[vi] Bernhard Kieser, 2004, Marginalisasi Memacu Kesadaran Umum, dalam Majalah BASIS edisi Juni 2004 hlm 44

[vii] Mansour Fakih, 2003, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta:INSIST Press, hlm. 147