Rabu, 01 April 2009

Menekan Globalisasi

Waktu sudah mendesak. Kita harus bersedia untuk keluar dari dari lingkaran setan konsumerisme, berani hidup secara sederhana, dengan gaya hidup seadanya, gaya hidup yang sustainable, dan secara sosial tidak memisahkan kita satu sama lain. Kita perlu sadar bahwa tuntutan itu bukan sekadar tuntutan moral melainkan syarat kalau kita mau menyelamatkan bangsa Indonesia.

-Franz Magnis Suseno-[i]

Fenomena globalisasi sudah menjadi domain banyak orang. Artinya, ia sudah tidak lagi menjadi barang eksklusif yang terbatas pada kalangan elit semata. Mulai dari tukang parkir, mahasiswa yang sering nongkrong di mall, sampai pejabat pemerintahan seolah sudah mahir menyebutkan kata itu. Para pejabat bahkan selalu lantang meneriakkan bahwa menarik investor asing menjadi hal yang harus dilakukan di era globalisasi saat ini. Entah mereka memahami artinya atau tidak. Yang pasti, globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindari warga dunia.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, siapa dan apa sebenarnya globalisasi? Mengapa ia bisa masuk ke dalam diskusi-diskusi yang dilakukan banyak orang di seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Mengapa juga ia mampu memberikan pengaruh yang sedemikian dahsyat dalam hidup kita di era posmodernisme seperti saat ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, ada dua hal yang layak diperhatikan.

Pertama, ketika membicarakan globalisasi, kita tidak bisa menghindarkan diri dari konsepsi imperialisme kolektif. Sebab, imperialisme kolektif merupakan bentuk penjajahan gaya baru yang juga menjadi bentuk tertinggi dari kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme kolektif menjadi semacam ideologi globalisasi.[ii] Imperialisme kolektif inilah yang kemudian bentuknya termanifestasikan ke dalam Trans National Corporation (TNC) atau Multi National Corporation (MNC). Jika memakai logika agen dan struktur, TNC atau MNC inilah yang menjadi agen-agen penyebar globalisasi.

Dalam konteks negara berkembang, seperti Indonesia, MNC – yang dimiliki oleh para pemilik modal internasional – inilah yang melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebab, MNC memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan-tindakan penindasan dan penghisapan terhadap negara-negara berkembang melalui modal besar yang dimiliki. Sebagai konsekuensi logis, kemiskinan akan tetap mengabadi. Menurut Eko Prasetyo, kemiskinan bukan sebuah takdir atau pilihan yang tak bisa dielakkan. Kemiskinan ada karena timbul pemerasan. Kemiskinan muncul karena penumpukan laba yang tak habis-habis.[iii]

Logika agen dan struktur itulah yang membuat Leslie Sklair, sosiolog-ekonomi pada London School of Economics, merintis studi tentang agency globalisasi sejak dasawarsa 1980-an. Sklair membagi globalisasi ke dalam tiga agency utama. Pertama, globalisasi berisi berbagai praktik (terutama transaksi ekonomi) lintas negara. Kedua, sebagai penggerak utama adalah para praktisi bisnis transnasional dan badan-badan yang terkait dengan praktik-prkatiki transnasional. Terakhir, dalam coraknya dewasa ini, globalisasi disangga oleh kultur ideologi konsumerisme. [iv]

Kedua, globalisasi (ekonomi) selalu menyebabkan marginalisasi yang luasnya sama seperti luas dunia. Yang dimaksud marginal di sini bukanlah sekelompok minoritas. Sebab, ketika kita mengatakan bahwa marginal sama dengan minoritas, telah terjadi kesalahpengertian dalam memahami dua entitas tadi. Sebagai contoh, bisakah kita mengatakan 50 juta lebih penduduk miskin itu minoritas dari hampir 220 juta penduduk Indonesia?

Kaum marginal pada dasarnya adalah nama – yang diberikan globalisasi – terhadap mereka yang kalah, tersingkir, dan terpinggirkan karena tidak mampu mengikuti dinamika pasar yang begitu diagungkan dalam globalisasi. Yang menjadi persoalan adalah, marginalisasi berlangsung ganda : kelompok-kelompok miskin tidak hanya tersingkir oleh kinerja prinsip “daya beli menentukan hak”, tetapi oleh penghapusan jaring pengaman apabila mereka jatuh. Susan George, dalam The Lugano Report bahkan menyebutkan bahwa untuk melestarikan kapitalisme global, jumlah penduduk dunia yang sekarang berjumlah sekitar 6 milyar harus dikurangi menjadi 4 milyar. Artinya, 2 milyar penduduk dunia ini tidak dibutuhkan! Mereka inilah yang disebut sebagai kaum marginal. [v]

Sebuah Jalan Keluar Alternatif

Dalam Manifesto Komunis, Karl Marx dengan tegas mengatakan, “Sejarah sampai sekarang adalah sejarah perang antara kelas-kelas”. Dari perspektif Marxian, ini berarti bahwa konflik hanya dapat diakhiri dengan sebuah revolusi dimana kelas bawah pada akhirnya akan menang. Dalam konteks ini, kaum marginallah yang kemudian akan menang. Namun, jangankan berbicara revolusi, konsepsi kesadaran kelas dalam kapitalisme global seperti saat ini adalah sebuah hal yang mustahil. Ilusi-ilusi kapitalisme bahkan membuat perlawanan kaum tertindas melemah. Posisi antara penindas dan yang ditindas menjadi – seolah – sama. Contoh sederhana, bagaimana mungkin seorang buruh akan merasa tertindas jika dia masih sanggup untuk membeli motor, meskipun dengan kredit. Bagaimana juga orang miskin bisa merasa sengsara jika mereka masih bisa dengan nyaman menonton televisi?

Untuk keluar dari masalah yang melilit bangsa ini, tentu tidak bisa dilakukan dengan cara yang biasa-biasa saja. Pada dasarnya, mengutip ucapan Bernhard Kieser, globalisasi (dan kapitalisme) harus dibina.[vi] Pasar harus diperadabkan supaya tidak biadab seperti yang terjadi sekarang ini. Jika kita tilik lebih jauh, pada dasarnya bukan globalisasi yang mengontrol globalisasi. Namun, politiklah yang seharusnya mampu mengarahkannya, dengan kata lain menjadi panglima. Bagaimanapun juga, globalisasi membutuhkan tekad dan pengaturan politik yang tegas dari negara. Negara di sini diartikan sebagai otoritas yang bisa mengeluarkan public policy.

Sebagai pemegang otoritas, para elit negeri ini harus berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Paradigma yang harus digunakan adalah haram membangun dengan mengorbankan rakyat kecil. Artinya, negara harus menjadi pembela hak-hak rakyat dengan melindungi dan menjaga hak ekonomi, budaya, dan sosial serta mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia.[vii] Kemudian, kita harus bangkit dengan Ekonomi Kerakyatan. Inilah konsep pembangunan yang sejak awal dicita-citakan para founding fathers kita. Ekonomi Kerakyatan berarti menempatkan rakyat sebagai soko guru kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, rakyat sendiri yang menentukan kemakmurannya. Terakhir, globalisasi menjadi momentum yang tepat bagi kita – rakyat Indonesia – untuk kembali menunjukkan persatuan dan bangkit dengan Ekonomi Kerakyatan. Kita harus berbalik menekan globalisasi. Jika ini tidak dilakukan, bisa jadi kita termasuk dalam 2 milyar penduduk yang akan terpinggirkan dalam kehidupan global seperti sudah disebutkan di atas. Waktu sudah mendesak.



[i] Franz Magnis Suseno , 2004, Mereka yang Ditinggalkan, dalam Majalah BASIS edisi Juni 2004 hlm. 31

[ii] Dr. Darsono Prawironegoro, 2003, Ketahanan Nasional Terhadap Hegemoni dan Dominasi Kaum Kapitalis Raksasa Asing, dalam Globalisasi, aspek-aspek : Idiologi dan Moral, Ekonomi, dan Hukum, Jakarta : Yayasan Gerakan Jalan Lurus dan Yayasan Kepada Bangsaku, hlm. 54

[iii] Eko Prasetyo, 2009, Kaum Miskin, Bersatulah!, Yogyakarta : Resist Book, hlm. 29

[iv] Leslie Sklair, 1991, Sociology of the Global System, New York : Harvester Wheatsheaf

[v] Susan George, 2003, The Lugano Report, On Preserving Capitalism in the Twenty First Century, London : Pluto hlm. 68-69

[vi] Bernhard Kieser, 2004, Marginalisasi Memacu Kesadaran Umum, dalam Majalah BASIS edisi Juni 2004 hlm 44

[vii] Mansour Fakih, 2003, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta:INSIST Press, hlm. 147

Tidak ada komentar: