Kamis, 23 April 2009

Menggugat Demonstrasi Mahasiswa

Bebas! Pembebasan! Sejak kata itu ditemukan oleh manusia isinya tetap sama, yaitu lepas dari keadaan nyata yang tak disenangi, masuk ke alam ideal. Tentunya kebebasan yang dimaksud adalah keberadaan untuk memperjuangkan keadilan. Bahkan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000), Pramoedya Ananta Toer mengatakan betapa manusia mendambakan dalam sepanjang sejarahnya-jaman perbudakan, jaman feudal, jaman kolonial, jaman sekarang, jamanku sendiri.
Sama halnya dengan kehidupan mahasiswa yang memiliki kebebasan serta tanggung jawab sebagai seorang manusia. Mahasiswa adalah entitas menengah yang istimewa. Ia disebut menengah karena memiliki posisi yang unik dan strategis. Dapat kita lihat dari sejarah bangsa Indonesia selama ini. Sejarah bangsa ini adalah sejarah perlawanan mahasiswa kepada para penguasa yang menindas rakyatnya sendiri.
Dengan resistensi yang cukup tinggi, tak heran jika kita (mahasiswa) selalu membuat panas telinga para penguasa. Ya, mahasiswa adalah kabar buruk buat penguasa. Betapa aksi-aksi mahasiswa sampai saat ini telah menunjukkan kehebatannya. Peristiwa tahun 1966, 1974, 1977-1978 dan yang paling legendaris Reformasi 1998 menjadi bukti tak terbantahkan. Demonstrasi turun ke jalan menjadi ciri khas mahasiswa yang menolak adanya penindasan.
Hak perlawanan warga negara terhadap pemerintahnya sendiri akan muncul secara otomatis ketika penindasan yang dilakukan sudah melampaui batas. Artinya, negara boleh dianggap gagal ketika ia tidak mampu menyediakan atau memenuhi hak-hak dasar warganya, tentu meliputi kebebasan berekspresi. Sebab jika ini sampai terjadi, negara sama saja telah merampas hak-hak warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Sebagai konsekuensi logis, warga akan melawan karena ruang-ruang dialogis telah ditutup yang pada akhirnya membentuk pemerintahan otoriter.
Di titik inilah demonstrasi muncul. Ia menjadi semacam sarana untuk menyalurkan aspirasi warga negara yang tersumbat. Bahkan wakil rakyat pun tidak mampu menyalurkan aspirasi mereka. Inilah yang kemudian membuat demonstrasi dianggap sebagai sebuah parlemen jalanan. Di negeri ini, hak untuk melakukan demonstrasi semakin bebas ketika dikeluarkannya Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Menurut UU tersebut, demonstrasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum (pasal 1 ayat 3). Dengan kata lain, demonstrasi merupakan sarana untuk mengeluarkan pendapat secara bebas di muka umum. Ya, seperti yang biasa kita lakukan di Bunderan UGM, Tugu, Sepanjang jalan Malioboro, sampai perempatan Kantor Pos Besar. Itulah demonstrasi, secara tekstual.
Permasalahan yang muncul saat ini terkait dengan demonstrasi yaitu cenderung dilakukan dengan reaksioner dan spontan. Bahkan terkadang demonstrasi hanya memanfaatkan momentum. Ini membut aksi-aksi (sangat) sering dilakukan tanpa analisis serta argument yang jelas. Yang penting aksi. Bukankah ini sangat sering kita dengar.
Jika ditarik lebih jauh, aksi-aksi mahasiswa berupa demonstrasi sebenarnya harus dievaluasi. Sebab saat ini demonstrasi sudah jauh kehilangan esensinya. Ia hanya sekadar menjadi rutinitas tanpa makna. Tanpa esensi. Bagaimana tidak, saat ini demonstrasi seolah hanya menjadi ajang absensi gerakan. Senin gerakan A turun ke jalan, selasa gerakan B, rabu gerakan C, begitu seterusnya. Lebih tepat jika dikatakan demonstrasi menjadi tempat untuk menunjukkan eksistensi. Tidak lebih.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Makasih banyak Postinganya Bagus