Selasa, 30 Maret 2010

Reorientasi Gerakan Mahasiswa

Carut marut sidang paripurna DPR yang membahas Bank Century beberapa waktu lalu ternyata menyisakan banyak persoalan. Tidak hanya persoalan di wilayah elite, tapi juga menyangkut gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa menjadi salah satu pihak yang konsisten menyuarakan dukungan kepada DPR untuk menuntaskan kontroversi dana bailout pemerintah kepada Bank Century. Ini dapat dilihat dari masifnya aksi demonstrasi yang dilakukan di berbagai daerah. Namun sayang, aksi-aksi ini seolah berakhir antiklimaks. Seiring selesainya masa kerja pansus, aksi yang dilakukan gerakan mahasiswa justru terjebak pada kerusuhan, paling tidak di Jakarta dan Makassar. Dalam kasus berbeda, beberapa waktu yang lalu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga juga terlibat bentrokan dengan aparat kampus. Selasa (24/3) aksi beberapa elemen mahasiswa di Yogyakarta yang tergabung dalam Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia juga diwarnai bentrokan. Melihat serpihan peristiwa tersebut, kita seperti dipaksa untuk kembali mendiskusikan posisi dan peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan sosial politik negeri ini.
Tulisan Mohamad Fathollah berjudul Disorientasi Gerakan Mahasiswa (22/3) di halaman ini mencoba ikut urun rembug mengenai orientasi gerakan mahasiswa. Tulisan yang cukup emosional tersebut menunjukkan sebuah kegusaran yang besar. Kegusaran yang berawal dari artikel berjudul Aksi Mahasiswa dan Disorientasi Gerakan di harian ini (19/3) yang menurutnya mendistorsi gerakan mahasiswa secara umum.
Aksi anarkis yang dilakukan gerakan mahasiswa, seperti disebutkan Fathollah, tidak dapat digeneralisasi dan dikreasikan pada ranah ideologi massa aksi. Ia juga menjelaskan bahwa kita terburu-buru menghakimi jika hanya melihat gerakan mahasiswa hanya dari aksi-aksi anarkis. Sebab, pada kenyataannya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa di tahun 1965, 1974, dan 1998 juga melahirkan anarkisme massa. Namun, karena hanya fokus pada ranah mekanistis-teknis aksi-aksi mahasiswa, Fathollah justru tampak hantam krama dan justru mengesankan gerakan mahasiswa memiliki jarak dengan rakyat. Sebagai pembaca, saya cukup merasa gusar atas kegusaran tulisan itu.

Disorientasi
Ketika membincangkan gerakan mahasiswa, mau tidak mau kita memang harus membicarakan konteks historis yang cukup panjang. Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998 (1999), Soewarsono mengajukan sebuah pernyataan krusial. Baginya, gerakan mahasiswa adalah sebuah keluarga. Ikatan ini terjalin dari serangkaian tonggak-tonggak yang disebut sebagai angkatan. Tak heran jika kita cukup familiar dengan angkatan 1908, 1928, 1966, 1974, 1990 serta yang paling fenomenal, angkatan 1998. Karena menjadi sebuah keluarga, tentu saja angkatan-angkatan tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagai contoh, membaca hasil yang diperoleh angkatan 1998 – menumbangkan rezim Orde Baru – tentu tidak dapat dilepaskan dari serangkaian proses yang juga dilakukan angkatan sebelumnya.
Dari semua angkatan yang ditonggakkan tersebut, ada satu hal krusial yang patut menjadi perhatian bersama. Gerakan mahasiswa mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat. Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 1998 ketika pecah peristiwa reformasi. Ibu-ibu dengan sukarela menyediakan makanan dan minuman bagi para peserta aksi demonstrasi baik itu di Bunderan UGM maupun di tempat-tempat lain. Ini menunjukkan bersatunya rakyat dan mahasiswa. Mahasiswa sebagai kelas menengah memperjuangkan rakyat yang ditindas oleh rezim otoritarian. Sementara rakyat turut membantu perjuangan yang dilakukan mahasiswa. Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun mendapat dukungan dari masyarakat. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa mampu merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Inilah masa bulan madu antara rakyat dan mahasiswa.
Namun, bulan madu itu barangkali harus segera di akhiri. Pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi. Berbagai hal yang dulu pernah diperjuangkan justru menyerang balik mereka. Wacana kebebasan pers, demokratisasi, Hak Asasi Manusia, sampai kebebasan berpendapat justru membuat posisi mahasiswa terdesak. Gerakan mahasiswa kini tidak lagi menjadi satu-satunya saluran aspirasi kepentingan masyarakat, cenderung menjadi menara gading kampus. Menara gading yang hanya sibuk menghabiskan waktunya dengan teori-teori di kampus yang seringkali berbeda dengan kondisi riil masyarakat. Aksi-aksi yang dilakukan bahkan justru membuat mahasiswa berhadapan dengan rakyat. Kerusuhan di beberapa daerah yang membuat mahasiswa vis a vis masyarakat pun menjadi hal yang biasa.
Disorientasi ini membuat mahasiswa begitu mudah terjebak dalam wilayah politik praktis. Indikasinya, organisasi gerakan mahasiswa ekstra kampus yang seringkali mendominasi lembaga intra kampus memperlihatkan afiliasi yang bisa dirasakan terhadap parpol tertentu. Afiliasi tersebut bahkan seperti tidak bisa disangkal ketika mahasiswa hanya menyibukkan diri untuk merespon isu-isu elite. Sebagai contoh, kasus Bank Century dan kasus Cicak vs Buaya. Dua kasus tersebut memang cukup penting dan respon mahasiswa sebagai salah satu elemen civil society pun diperlukan. Namun, mahasiswa sepertinya lupa, kasus tersebut adalah isu elite yang penuh dengan rekayasa. Masih banyak isu-isu kerakyatan yang menyangkut nasib masyarakat luas, namun tidak diperjuangkan.

Reorientasi
Dulu, mahasiswa memiliki musuh bersama untuk ditumbangkan, rezim Orde Baru. Ini memudahkan berbagai elemen untuk bersatu karena adanya kepentingan bersama untuk menumbangkan pemerintah. Tak heran ketika musuh bersama sudah tumbang, gerakan menjadi kocar-kacir tanpa arah yang jelas. Jika mengamini Fathollah, musuh bersama tidak lagi diperlukan. Sebab, kini musuh tersebut mewujud dalam pemerintah serta segala bentuk keotoriteran yang dipraktekkan orang atau oknum yang melacuri kekuasaan demi kepentingan parsial. Hal terpenting adalah gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bersama menumbangkan ketidakadilan dan segala macam bentuk diskriminasi.
Sekalipun demikian, logika tersebut saya kira perlu dipertanyakan ulang. Jika gerakan mahasiswa yang penting anti pemerintah, ini tentu melupakan masyarakat sebagai entitas yang diperjuangkan. Bahkan bisa cenderung terjebak pada isu elitis. Padahal, aksi-aksi mahasiswa pada dasarnya ditujukan untuk membela rakyat, bukan dirinya sendiri. Kondisi ini selayaknya membuat gerakan mahasiswa perlu membuat sebuah tonggak baru. Bagaimanapun juga, sebuah tonggak diperlukan untuk membuat mahasiwa kembali memahami di mana peran dan posisinya. Zaman sudah berubah sehingga mahasiswa tidak lagi bisa memakai cara yang sama untuk mendekati permasalahan yang berbeda.Reorientasi harus dilakukan.
Reorientasi tersebut saya kira lebih tepat diarahkan pada usaha-usaha utuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, mahasiswa harus belajar turun ke bawah. Turun ke bawah tentu dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan pendidikan serta pengabdian kepada rakyat Indonesia. Belajar langsung di tengah-tengah rakyat akan membuat mahasiswa memahami dua hal. Pertama, mereka akan mampu menguji teori-teori yang selama ini dipelajari di bangku-bangku kelas. Pembuktian ini akan memperlihatkan apakah teori-teori yang ada selama ini memiliki manfaat bagi masyarakat. Kedua, turun ke bawah akan membuat mahasiswa mampu mempelajari kemandirian rakyat. Artinya, mahasiswa akan menemukan potensi serta kekuatan rakyat yang sesungguhnya. Potensi inilah yang sangat penting. Ketika masyarakat sudah paham kekuatan yang dimilikinya, ia tidak akan mudah ditindas oleh penguasa yang diskriminatif. Ia akan mampu berdiri sendiri, mandiri, kreatif dan tidak selalu menjadi sosok yang pasif menunggu pertolongan. Selain itu, mahasiswa sendiri juga tidak akan mudah goyah karena sudah memperoleh dukungan yang berakar dari masyarakat.
Akhirnya, membicarakan gerakan mahasiswa seharusnya tidak dilepaskan dari masyarakat yang menjadi basis awalnya. Aksi-aksi mahasiswa harus dibarengi dengan upaya pemberdayaan masyarat dan ditujukan untuk menyasar kepentingan rakyat banyak, bukan elite. Sehingga ketika muncul slogan-slogan kerakyatan dalam aksi mahasiswa, ia tidak hanya sekadar romantisme kelas menengah yang ingin menjadi dewa penolong rakyat miskin.(dimuat di Kompas 27 Maret 2010)

Wisnu Prasetya Utomo
(Pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM)

Tidak ada komentar: