Senin, 13 September 2010

Hujan

Ayam! Ucapmu setengah berteriak. Teriakan yang lantas kamu sadari dengan tersenyum malu karena kehadiran ibu di ruang tamu rumahku. Ya, aku tak heran dengan keterkejutanmu itu. Pengakuan bahwa kamu jarang melihat ayam hidup pun hanya menegaskan anggapanku bahwa kotamu memang kota yang kejam. Kota yang bahkan tidak memberi kesempatan kepada ayam untuk sekadar berjalan-jalan mencari makan. Persis seperti yang kamu lihat di depan rumahku. “Selama ini jarang lihat ayam jalan, paling sering lihat ya ayam goreng”, katamu. Ungkapan yang lantas membuat kita, dan ibuku, tertawa.

Itu adalah kedatanganmu pertama kali ke rumahku. Kedatangan yang disambut dengan mendung dan lantas menjadi hujan. Sejak saat itu, hujan menjadi sahabat kita. Sahabat setia yang menemani kemanapun kita melangkahkan kaki. Barangkali kamu masih ingat ketika kita bersama teman-teman memutuskan untuk melepas penat ke pantai D. Kita pun menghabiskan waktu bersama teman-teman, tapi lebih tepatnya kita menghabiskan waktu berdua. Dalam perjalanan pulang dari pantai, hujan turun dengan lebatnya sementara aku lupa membawa jas hujan. Baju kita pun basah kuyup. Ternyata ada jaket di jok motorku. Sebagai lelaki yang dididik untuk selalu menghormati perempuan tentu saja aku menawarkan jaket itu kepadamu.

Ah, dasar kamu cewek tomboi, penuh dengan gengsi. Tawaranku mengenakan jaket pun kamu anggap sebagai bentuk pelecehan dan merendahkan harga diri perempuan. Bermenit-menit kita habiskan untuk berdebat di atas motor mengenai siapa yang akan mengenakan jaket. Baru ketika aku mengancam mau membuang jaket itu, kamu bersedia memakainya. “Apa sih susahnya pakai jaket?” bentakku. Dan kita pun melaju pulang dengan merasakan kedinginan yang kita tahan. “Kamu pakai jaket pun masih kedinginan, dasar sok jaga gengsi”, batinku.

Barangkali kamu pun masih ingat hujan yang menemani kita melakukan pelatihan manajemen aksi di pantai S? Hujan badai yang tidak membuat kita beranjak dari bibir pantai, sekadar untuk latihan demonstrasi. Tentu saja aku masih ingat kita sama-sama belajar untuk berorasi, giliranmu dulu, baru aku. Eh, aku yang kepagian untuk memegang bendera sebagai panji aksi. Bendera yang pernah selintas pikir akan menjadi kebanggaanku. Kamu tahu itu. Sayang, persentuhan kita berdua dengan dunia gerakan mahasiswa membuatku tiba-tiba menolak untuk membawa bendera itu lagi. Kebencian yang kita rasakan bersama.

Lantas bagaimana dengan hujan yang setia menemani ketika kita sedang dalam perjalanan kembali ke kota Y setelah dari rumahku? Di satu tempat, di warung yang sudah tutup. Kita memutuskan berhenti dan mengenakan jas hujan, hujan terlalu lebat. Sepertinya itu pertama kali kita mengenakan jas hujan selama perjalanan kota Y dan rumahku. Mengenakan jas hujan pun memberikan kesan yang mendalam. Buktinya, kita selalu membicarakan mengenai tempat yang kita gunakan untuk berteduh sejenak itu. Jalan-jalan yang tak mudah dilupakan bukan? Apalagi jalanmu, kamu menyebutnya koridor pohon, atau koridor cinta?

Aih, baru tiga kisah kita yang ditemani hujan. Padahal masih banyak yang lain. Hujan menemani kita kemana-mana. Aku tak hendak bercerita semuanya, apalagi sampai tuntas. Bukankah lebih baik kalau kita menunggu hujan dan menghabiskan waktu berdua lagi?

untuk B

Tidak ada komentar: