Senin, 06 September 2010

Bang Hadi Sang Penjaga Akal Sehat


Judul Buku : Ashadi Siregar : Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru
Penyunting : Candra Gautama, Nanang Junaedi, M.Taufiqurohman, Ana Nadhya Abrar
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxiii + 374 halaman
Cetakan : Juni 2010


Bukankah seorang intelektual harus mampu menunjukkan karakter personal yang kuat? Sebagian besar pasti akan menganggukkan kepala jika mendapat pertanyaan tersebut. Sayang, kondisi masyarakat modern yang kian hari kian pragmatis justru melahirkan sosok intelektual yang minim karakter. Julian Benda menyebut intelektual yang minim karakter ini sebagai pengkhianat. Alih-alih memberikan sumbangsih bagi keadaban publik, mereka justru semakin sibuk mengejar kepentingan pribadi. Kita hampir kesulitan untuk menemukan sosok yang bisa dijadikan panutan oleh masyarakat. Hanya sedikit saja yang mampu menyelami dan bergerak bersama masyarakat.

Ashadi Siregar salah satunya. Bang Hadi, begitu ia biasa disapa, menjadi sosok yang dikenal dalam sejarah sebagai pribadi yang keras, dan teguh memegang prinsip. Sementara rekan-rekan segenerasinya, termasuk mahasiswa-mahasiswanya datang dan pergi mencari gelar akademis di bidangnya masing-masing, Bang Hadi justru tetap keukeuh untuk bertahan di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, cukup dengan gelar doktorandus. Untuk memutuskan seperti itu tentu merupakan tantangan yang berat. Apalagi ketika kita hidup dalam rezim ijazah. Rezim di mana semua yang kita – terutama warga kampus – lakukan dinilai dari ijazah.

Watak keras ini ditunjukkan dengan konsisten sejak ia masih menjadi mahasiswa hingga saat ini. Tak jarang sikapnya ini membuat dirinya berhadapan dengan masalah. Salah satunya ketika ia menjadi Pemimpin Redaksi Koran Mingguan Sendi. Digarap bersama sekumpulan mahasiswa dengan idealisme yang menyala-nyala menjadikan koran ini sebagai salah satu pengkritik terbesar pemerintah. Puncaknya ketika koran ini mengkritik dengan keras pembangunan TMII yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Karena tulisan tentang TMII tersebut, koran ini dibreidel. Padahal usianya baru menginjak 13 edisi. Bang Hadi kemudian harus menghadapi pengadilan dengan tuduhan menghina negara.

Contoh lain yaitu saat pemerintah membreidel majalah Tempo, Editor , dan tabloid Detik. Bang Hadi, bersama cendekiawan lain seperti Umar Kayam dan Arief Budiman mengeluarkan statement tidak akan menulis kolom dan tidak mau menjadi narasumber di majalah baru yang diterbitkan pemerintah (halaman 84). Dalam pengadilan tentang kasus tersebut, Bang Hadi bahkan menjadi saksi ahli yang menentang pembreidelan. Konsistensinya juga terbukti ketika ia menolak order penelitian analisis isi terhadap majalah Tempo. Penolakan ini dilakukan Bang Hadi karena perusahaan yang memberi order tengah tersangkut kasus pengemplangan pajak terbesar dalam sejarah republik ini.

Menipu Mentah-mentah

Buku Ashadi Siregar : Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru yang merupakan hadiah masa pensiun Bang Hadi ini, ditulis oleh 33 orang yang merupakan kawan, jurnalis, seniman, maupun murid-muridnya. Di satu sisi, banyaknya penulis membuat kita mampu memahami betapa luasnya spektrum pergaulan Bang Hadi. Apalagi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Namun di sisi lain, sifat narsis para penulis baik disadari maupun tidak disadari, muncul dengan sendirinya. Inilah yang terlihat dalam buku setebal 374 halaman ini. Alih-alih berkisah tentang Bang Hadi, beberapa penulis lebih sibuk menceritakan dirinya sendiri. Bagi saya, beberapa tulisan tersebut membuat buku ini menjadi sedikit bopeng.

Sekalipun demikian, buku ini menyuguhkan gambaran yang cukup komprehensif tentang penulis novel Cintaku di Kampus Biru ini. Simak saja penuturan Emha Ainun Nadjib. “Bang Hadi tidak berebut di pasar, tidak berlomba untuk tampil dalam podium sejarah. Dia tidak kulakan tinta emas untuk mengabadikan diri dan eksistensinya”. Sikap inilah yang membuat Bang Hadi hidup sederhana dan rendah hati dibalik berbagai kelebihan yang dimilikinya. “Ternyata Bang Hadi menipu kita mentah-mentah”, ungkap Cak Nun (halaman 201).

Tak hanya “menipu”, Bang Hadi dimata para penulis buku ini juga merupakan sosok yang sinis dan tega. Dodi Ambardi menyebutnya sebagai “Tukang Gembos” dan “ Raja Tega” (halaman 72). Sementara itu, Garin Nugroho bahkan menyebutnya sebagai master of cynicism (halaman 208). Rasa sinis ini terutama ditunjukkan terhadap dunia jurnalisme di Indonesia. Rasa sinis yang bermula dari kekecewaan terhadap jurnalisme yang jauh dari etika yang ia cita-citakan. Ia semakin bertambah kecewa ketika mantan murid-muridnya semasa kuliah pun tak juga mampu menerapkan etika jurnalisme yang pernah dia ajarkan di kampus.

Kondisi tersebut membuat Bang Hadi sejak 1992 bergiat aktif sebagai direktur di Lembaga Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogya (LP3Y) sampai sekarang. Lembaga ini bergerak di bidang pelatihan jurnalisme. Daldi Siregar. Di balik “kesinisannya”, ia tetap merupakan sosok yang konsisten memperjuangkan “akal sehat” jurnalisme di Indonesia agar selalu memperjuangkan kepentingan publik, bukan kepentingan pemodal. Selamat pensiam perjalanannya, LP3Y bekerjasama dengan simpul jaringan lembaga pemantau media (media watch) di berbagai kota di Indonesia. Bisa dikatakan, Bang Hadi menjadi salah satu peletak dasar ideologi lembaga pemantau media.

Begitulah Ashaun Bang!
(Dimuat di Suara Merdeka 5 September 2010)

Tidak ada komentar: