Selasa, 12 Oktober 2010

Humanisasi Sepeda Motor

Jangan-jangan kemacetan di jalan yang diakibatkan oleh sepeda motor maupun kendaraan lainnya hanya memberi legitimasi bahwa sebenarnya kebudayaan kita juga sedang mengalami kemacetan.

Apakah anda pernah mengumpat ketika sedang berada di jalan? Atau setidaknya, apakah pernah marah karena melihat perilaku pengguna jalan raya yang sembrono? Saya kira, semua orang yang mendapat pertanyaan ini akan menganggukan kepala tanda setuju. Semakin padat dan macet sebuah jalan, umpatan maupun kemarahan akan muncul dengan otomatis. Bisa jadi, fenomena ini mempertegas adagium yang menjelaskan bahwa jalan merupakan cerminan sebuah peradaban. Kesemrawutan yang muncul di jalan menunjukkan bahwa di saat yang bersamaan kehidupan sosial kita sedang semrawut. Setiap orang dengan ego dan kepentingannya masing-masing seolah berusaha untuk saling menguasai jalan.

Tingginya ego serta kepentingan ini menjadi justifikasi bagi ketergesaan, nyalip sembarangan, melanggar marka, melanggar lampu lalu lintas, serta umpatan-umpatan kepada mereka yang dianggap mengganggu perjalanan. Hani Raihana menyebut bahwa tarik ulur kepentingan ini merupakan kegagalan masyarakat membaca jalan sebagai ruang publik. Jalan bahkan menjadi ruang publik yang tak beradab. Semua merasa memiliki jalan, karena diikat oleh kesamaan, jalan menjadi sarana mendukung “tujuanku”. Semua nyaman melindas jalan. Namun disaat yang bersamaan, semua tidak mau bertanggung jawab terhadap jalan.

Sarana yang mendukung “tujuanku” dan tidak memperhatikan orang lain tadi barangkali menemui analogi yang tepat dalam rupa sepeda motor. Mengapa demikian? Tanpa mengurangi berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh sepeda motor, mau tidak mau harus diakui bahwa sepeda motor menjadi semacam “alat” bagi pemiliknya untuk “menguasai” jalan. Kehendak untuk berkuasa ini kemudian membuat para pemilik sepeda motor memacu motornya dengan kencang tanpa memikirkan bahaya bagi pengendara yang lain. Tak heran jika kemudian sepeda motor menjadi penyebab kecelakaan tertinggi di jalan raya. Mencapai angka 70 %, jauh lebih tinggi dibanding alat transportasi darat yang lain. Di titik inilah, sepeda motor yang digadang-gadang mampu dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kemacetan patut dipertanyakan ulang.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada tahun 2010, jumlah sepeda motor yang “beredar” di jalan raya seluruh Indonesia mencapai 35 juta kendaraan. Jumlah terbanyak berada di DKI Jakarta. Sampai bulan Mei 2010 saja, jumlah sepeda motor mencapai 8.087.118. Bandingkan dengan jumlah penduduk DKI Jakarta yang dalam waktu yang sama sebanyak 8.523.157. Melihat komposisi perbandingan yang seperti itu, itu artinya jumlah sepeda motor hampir sama dengan jumlah penduduk. Bayangkan betapa padatnya jalan-jalan di Jakarta oleh sepeda motor saja.

Jumlah itu bisa bertambah jika melihat trend pasar yang membuat sepeda motor semakin mudah diakses oleh masyarakat. Mengapa fenomena ini terjadi? Ada beragam faktor yang menjadi latar belakang. Di antaranya, akses masyarakat untuk mendapatkan kendaraan roda dua ini semakin mudah. Ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah sepeda motor dari tahun ke tahun. Omzet penjualan bahkan mencapai angka Rp 65, 27 triliun. Tak mengherankan, saat ini seseorang cukup bermodal beberapa ratus ribu saja, dan sepeda motor sudah bisa digunakan. Faktor lain bisa kita ambil dari semakin mudahnya pembuatan SIM C. Izin yang begitu mudah diperoleh ini membuat masyarakat semakin tertarik untuk memanfaatkan sepeda motor.

Rawan Masalah
Dalam kehidupan masyarakat modern yang menuntut mobilitas tinggi seperti saat ini, alat transportasi yang cepat menjadi salah satu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Sepeda motor mempunyai kelebihan itu. Ia mampu membawa pengendaranya untuk menembus belantara kemacetan yang seringkali muncul di kota-kota besar. Ia pun mampu digunakan untuk menelusuri jalan-jalan sempit yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan lainnya. Di titik ini, sepeda motor memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh kendaraan lain. Namun, dalam waktu yang bersamaan, kita toh harus berpikir bahwa kendaraan roda dua ini memiliki potensi yang juga cukup berbahaya. Apa saja?
Pertama, sepeda motor – seperti mobil – membuat egoisme individu di jalan raya semakin besar. Simak saja di sebagian besar perempatan lampu merah. Pergantian antara lampu kuning menuju merah seringkali ditanggapi para pengendara sepeda motor dengan memacu gas sekencang-kencangnya. Menyalip mobil pun menjadi keseharian yang kita saksikan dengan wajar. Belum lagi para pengendara sepeda motor seringkali tidak memperhatikan kelengkapan onderdil sepeda motor. Seringkali kita dapati para pengendara sepeda motor melaju tanpa lampu di malam hari.

Perilaku yang ugal-ugalan ini kemudian memiliki konsekuensi logis pada potensi bahaya yang kedua. Sepeda motor yang sebelumnya bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kemacetan kini justru menjadi salah satu sumber kemacetan itu sendiri. Semakin banyaknya kendaraan ini membuat jalan menjadi penuh sesak. Kecelakaan menjadi semakin sering. Data Kepolisian Republik Indonesia tahun 2009 saja menyebutkan bahwa sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan! Ini menunjukkan bahwa sepeda motor yang awalnya diharapkan bisa menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan justru menjadi masalah itu sendiri. Lantas, bagaimana selanjutnya? Masih adakah harapan bagi sepeda motor?

Ada. Selama masih ada rasa solidaritas sosial di antara sesama anggota masyarakat, ada cara untuk membuat sepeda motor lebih humanis dan tetap bisa berguna bagi mobilitas masyarakat modern. Catatannya, sepeda motor – dan kendaraan pribadi yang lain – harus dikurangi. Ini terutama harus dilakukan di kota-kota besar. Humanisasi sepeda motor ini saya kira bisa dimulai dari keluarga, institusi sosial terkecil. Meski terkesan normatif, namun keluarga menjadi faktor yang signifikan. Pengajaran dan transformasi nilai akan lebih efektif jika orang tua mampu memberikan contoh. Memberikan kendaraan kepada anak seharusnya juga diikuti dengan pelajaran mengenai etika di jalan. Tanpa transformasi nilai, pemberian fasilitas kendaraan roda dua sama saja dengan membiarkan kecelakaan menimpa sang anak.

Upaya membatasi sepeda motor ini juga diimbangi dengan pembangunan sarana transportasi umum yang efektif dan efisien bagi masayarakat. Selama ini, alat transportasi umum justru menjadi salah satu penyebab kemacetan. Tak heran jika kemudian masyarakat ramai-ramai beralih ke alat trasportasi pribadi, seperti sepeda motor. Padahal, jika saja pemerintah mau lebih bekerja keras untuk membenahi sarana transportasi dengan benar, masyarakat bisa diajak untuk menggunakan sarana transportasi umum.

Humanisasi sepeda motor tidak berarti menghalangi masyarakat untuk menggunakan kendaraan roda dua ini. humanisasi memiliki arti untuk mengembalikan sepeda motor sesuai nilai guna yang dimilikinya. Nilai guna yang cepat, lincah dan bisa menembus jalan-jalan yang tidak bisa ditembus kendaraan lain. Nilai guna sepeda motor ini akan bertahan, sekali lagi, jika jumlahnya tidak berlebihan dan perilaku penggunaanya diatur dengan didasarkan pada kepentingan bersama. Terdengar utopis, tapi ini mutlak dilakukan jika masyarakat modern masih ingin hidup dalam ruang publik yang mengandaikan adanya penghormatan satu orang terhadap orang lainnya.

Namun jika tidak, jangan-jangan kemacetan di jalan yang diakibatkan oleh sepeda motor maupun kendaraan lainnya hanya memberi legitimasi bahwa sebenarnya kebudayaan kita juga sedang mengalami kemacetan. Semoga saja tidak.
(Naskah ini menjadi pemenang ketiga dalam Lomba Esai OHSE Expo yang diadakan FKM UI tahun 2010)

Tidak ada komentar: