Sabtu, 13 November 2010

Kampus dan Solidaritas Sosial

Selalu ada berkah di balik musibah. Bencana alam yang akhir-akhir ini rutin “menyapa” negeri ini memang telah merenggut banyak hal. Banyak nyawa manusia yang menjadi korban, hewan ternak yang mati sia-sia, kerugian materi yang tak terhitung, sampai rasa trauma yang membekas terutama bagi para korban bencana. Namun dibalik itu semua, bencana telah menunjukkan bahwa solidaritas sosial masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Kampus, menjadi salah satu elemen yang ambil bagian dalam solidaritas sosial tersebut. Solidaritas yang muncul di tengah defisit keteladanan dari para pemimpin negeri ini.

Dalam bencana erupsi Merapi yang telah merenggut ratusan nyawa dan menyebabkan puluhan desa hancur, beberapa kampus di Yogyakarta dengan sukarela menyediakan tempat di lingkungannya untuk dijadikan tempat pengungsian. Tidak hanya itu, kegiatan perkuliahan juga diliburkan supaya mahasiswa bisa berkonsentrasi untuk menjadi relawan dan membantu para pengungsi.

Jika kita lihat, apa yang dilakukan oleh kampus ini setidaknya bisa mementahkan kritikan yang muncul selama ini. Kritikan yang mengatakan bahwa kampus hanya menjadi menara gading. Dalam bahasa yang sederhana, mampu menghasilkan teori-teori besar namun tidak relevan dengan masyarakat. Itu menyebabkan jarak yang lebar antara kampus dan masyarakat.

Relasi Baru
Dalam konteks pengalaman bencana di atas, solidaritas sosial kampus akan membuka terciptanya relasi baru dengan masyarakat. Jarak antara kampus dan masyarakat yang sebelumnya dipisahkan jurang yang lebar kini pelan-pelan mendekat. Kampus membuka ruang privatnya sebagai “rumah ilmu pengetahuan modern” yang angkuh dan kemudian menyatu dalam masyarakat. Hannah Arendt dalam The Human Condition pernah menyatakan bahwa pelepasan belenggu atas ruang privat inilah yang memunculkan solidaritas sosial.

Sebagaimana dijelaskan Arendt, solidaritas sosial adalah tindakan partisipatif. Masing-masing elemen merevelasikan dirinya dengan turut memberikan perhatian kepada para korban bencana. Upaya yang tentu dilakukan dengan langkah yang berbeda-beda. Dengan tanggung jawab sosial yang dimiliki, kampus menunjukkan caranya sendiri. Setidaknya ada beragam cara yang dilakukan kampus dalam mengekspresikan solidaritas sosial. Di antaranya ketika bencana sedang terjadi, rekonstruksi pascabencana, dan pendidikan bencana.

Ketika bencana terjadi, kampus bisa menyediakan tempat pengungsian bagi korban bencana. Dalam tempat pengungsian di kampus, mahasiswa-mahasiswa menjadi relawan dan membantu pengungsi dalam mencukupi kebutuhan yang diperlukan. Mahasiswa juga membuka posko-posko untuk menggalang bantuan kepada para pengungsi.

Selain itu, beberapa kampus bahkan membuka program Kuliah Kerja Nyata Bencana untuk merespon bencana yang terjadi. Program KKN dilakukan agar bantuan yang diberikan kepada pengungsi bisa lebih terarah dan sistematis. Bantuan ini tidak hanya berupa aksi cepat tanggap seperti proses evakuasi pengungsi melainkan juga usaha rekonstruksi pascabencana.

Rekonstruksi yang dimaksud bisa berupa perbaikan rumah-rumah penduduk yang rusak maupun proses trauma healing. Trauma healing terutama difokuskan pada korban anak-anak yang rentan terkena dampak psikologis sebuah bencana. Jika tidak disembuhkan, rasa traumatik seorang anak terkadang bisa lebih berbahaya daripada bencana itu sendiri.

Upaya rekonstruksi pascabenca ini menjadi penting sebab biasanya bantuan kepada korban hanya difokuskan pada awal bencana. Karena hanya fokus di awal, korban kemudian ditinggalkan begitu saja. Ini bisa kita lihat dari bencana Tsunami Aceh pada akhir tahun 2004. Kala itu, bantuan begitu menumpuk pada bulan-bulan awal. Namun begitu upaya rekonstruksi sudah memasuki hitungan tahun, masyarakat ditinggalkan. Karena itu tak heran jika bantuan-bantuan banyak yang diselewengkan untuk kepentingan sendiri alih-alih disalurkan kepada masyarakat.

Untuk ke depan, solidaritas sosial kampus juga bisa ditunjukkan dengan melakukan pendidikan bencana kepada masyarakat. Seperti kita tahu, pendidikan bencana kepada masyarakat Indonesia sangat minim. Kondisi ini membuat masyarakat yang belum pernah punya pengalaman menjadi tidak peka bencana. Karena itu ketika timbul bencana, masyarakat menjadi panik dan mudah frustasi. Padahal jika pendidikan bencana dilakukan dengan cukup, kerugian dan kepanikan korban yang tidak perlu bisa diminimalisir.

Apa yang dilakukan kampus-kampus di Jepang barangkali bisa menjadi contoh. Seperti Indonesia, Jepang juga merupakan negeri yang rawan terkena bencana alam seperti gempa bumi. Namun di Negeri Matahari Terbit, kampus melakukan penelitian-penelitian mengenai kebencanaan dengan komprehensif. Hasil penelitian tersebut kemudian dimanfaatkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam memahami bencana alam yang terjadi. Hasilnya, korban bencana alam di Jepang setiap tahun semakin menurun.

Belajar dari pengalaman Jepang tersebut, solidaritas sosial kampus yang muncul dalam bencana ini patut kita pandang dengan optimisme. Setidaknya ini menunjukkan bahwa kampus belum tercerabut dari masyarakat sebagai basis awalnya. Selain itu juga menunjukkan betapa sebenarnya kampus memiliki fungsi yang strategis dalam sebuah bencana alam yang terjadi. Kini kita tinggal menunggu bagaimana konsistensi kampus dalam membantu masyarakat dan mengawal bencana ini sampai tuntas. Begitu.[ ]
(Dimuat di Suara Merdeka 13 November 2010)

Tidak ada komentar: