Jumat, 17 Oktober 2008

4 tahun yudhoyono-kalla

Historia Vistae Magistra. Sejarah telah mengajarkan kebijaksanaan. Dalam konteks negeri ini, sejarah telah memberikan pelajaran bagaimana perbedaan dan pertentangan sesungguhnya telah mengantarkan kita pada kemerdekaan. Melalui keragaman pendapat para pendiri republik ini, kita banyak belajar bagaimana caranya bertoleransi. Dan sudah menjadi anggapan umum bahwa sejarah masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan sopan. Itu selalu tergambar dalam teks-teks sejarah yang diajarkan di sekolah. Keramahan dan kesopanan itu pula yang menyebankan orang asing mau singgah di negeri ini.
Namun sikap ramah tamah, sopan , dan beradab yang menjadi karakter masyarakat di negeri ini sepertinya hanya tinggal menjadi sejarah. Belum lama kita mendengar bahwa di daerah Jawa Timur ada seorang lelaki penyuka sesama jenis yang membunuh lebih dari 10 orang. Lelaki yang bernama Rian tersebut dengan sadis menghabisi korban-korbannya. Bahkan, semua korban ditemukan terkubur di sekitar rumah Rian.
Tidak berselang lama dari berita itu, beberapa saat yang lalu kita disuguhi kabar yang mengagetkan sekaligus memprihatinkan. Ada orang yang mati bunuh diri setelah melaksanakan solat Ied di Masjid Istiqlal. Kabar ini tentu cukup mempermalukan harga diri kita sebagai bangsa Indonesia. Sebab orang itu nekat mengakhiri hidupnya justru di saat sebagian besar penduduk negeri ini tengah menikmati kemenangan setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa.
2 berita di atas sebenarnya adalah sedikit dari ratusan bahkan ribuan masalah sosial yang tengah menghinggapi Indonesia. Bahkan bisa dibilang, kasus di atas tidak bisa menggambarkan permasalahan sosial di negeri ini. Sebab, banyak masalah yang lebih ironis dari 2 berita di atas namun tidak terekspos ke masyarakat luas. Tak jarang kita memperoleh kabar ada keluarga yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban hidup. Belum lagi mengenai kasus penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang menyebabkan pengangguran di negeri ini semakin bertambah banyak.
Sementara itu, akhir-akhir ini kita juga disuguhi dengan drama yang bernama Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi. Drama ini telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat meluas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya aksi-aksi yang dilakukan baik oleh mereka yang mendukung RUU ini maupun mereka yang menolak disahkannnya RUU menjadi Undang-Undang. Beberapa provinsi malah dengan tegas sudah menyatakan penolakannya terhadap RUU ini.
Belum disahkan, namun RUU ini secara tidak langsung telah mengadu domba masyarakat di negeri ini. Baik mereka yang menolak maupun mendukung sering terlibat bentrok. Belum sampai tahap bentrok fisik memang. Namun jika dibiarkan terus, ini akan menjadi bom waktu yang akan meledakkan konflik horizontal di masayarakat. Itu terlihat dari perang wacana yang cukup gencar dilakukan oleh kedua belah pihak. Masyarakat yang tidak paham apa-apa pun bisa menjadi korban.
Konflik sesama warga pun sudah sering terjadi. Contoh terakhir adalah kasus penyerangan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap AKBB. Yang ironis, kejadian tersebut terjadi di tugu Monumen Nasional (Monas). Padahal seperti kita ketahui bersama, Monas merupakan salah satu simbol persatuan dan kesatuan negeri ini.
Dari sedikit penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa bangsa ini sedang sakit. Mohammad Sobary bahkan mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami kondisi kebudayaan yang sakit sebagai akibat dari campur tangan kekuasaan di masa lalu. Indonesia saat ini ibarat wajah manusia yang bopeng di sana-sini. Orang yang berwajah tampan atau cantik, ia akan bangga dengan wajah yang dimilikinya. Namun tidak demikian dengan Indonesia, karena wajahnya bopeng, seolah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri ini.
Kalau mau jujur, kita sendiri mungkin akan kaget jika melihat kondisi yang seperti ini. Bangsa yang pernah punya sejarah beradab ini, mungkin tidak bisa lagi disebut beradab. Kebrutalan terjadi dimana-mana. Tentu kita masih ingat konflik antar agama yang pernah terjadi di negeri ini. Yang ironis, kejahatan tidak hanya dilakukan oleh sesama masyarakat. Pejabat di negeri ini justru menyengsarakan masyarakatnya sendiri. Terlihat dari terungkapnya kasus korupsi yang semakin lama semakin banyak lebih jauh, ini mnjadi semacam tragedi dalam sejarah bangsa.
Melihat berbagai kejadian yang telah berlangsung di negeri, menunjukkan bahwa ternyata pemahaman akan pluralitas yang dimiliki oleh bangsa ini masih rendah. Ini juga mencerminkan betapa selama ini kita telah mengabaikan kebudayaan. Belum lagi jika melihat kondisi yang sangat kontras. Pemerintah yang seharusnya mampu memberikan teladan yang baik nyatanya tidak mampu melakukannya. Meskipun sebagian besar rakyat negeri ini masih sengsara, para pejabat dan keluarganya justru hidup bermewah-mewahan dan tidak memiliki sense of crisis.
Pada masa pemerintahan Yudhoyono pun belum terjadi perubahan yang sangat signifikan. Yang ada justru masalah sosial budaya bertambah semakin kompleks. Padahal, presiden yang untuk pertama kali dipilih langsung oleh rakyat ini sudah memerintah selama 4 tahun. Artinya, pemerintahan belum cukup efektif dalam meredam setiap gejolak sosial budaya yang berpotensi untuk mengoyak kebhinekaan. Salah satu contohnya adalah kasus Lumpur Lapindo. Kejadian yang sudah berlangsung lebih dari 2 tahun ini seperti dibiarkan berlarut-larut. Hal ini menimbulkan problem sosial baru. Masyarakat yang desanya terendam Lumpur dipaksa untuk mengungsi. Ganti rugi yang tersendat pun menjadi masalah lain. Bahkan, ini tidak hanya menyebabkan konflik antara pemerintah dengan warga. Tetapi ini juga menjadi sumber konflik antar anggota masyarakat yang saling mengklaim hak kepemilikan tanah agar bisa memperoleh ganti rugi.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga tidak tegas dan menjadi blunder. Pemerintahan Yudhoyono telah tiga kali menaikkan harga BBM. Karena kenaikan itu, pengangguran menjadi semakin banyak karena di-PHK oleh perusahaan-perusahaannya, sehingga masyarakat miskin semakin bertambah. Bertambahnya jumlah masyarakat miskin menimbulkan dampak sosial yang luar biasa. Banyak yang akhirnya menjadi gelandangan pengemis di perempatan jalan. Yang ironis bahkan justru ada daerah yang bangga menjadi pemasok gelandangan dan pengemis.
Selanjutnya adalah kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diharapkan mampu mengganti beban yang ditanggung masyarakat sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM juga telah memakan banyak korban. Dapat kita lihat pada tahun 2005 ketika BLT pertama kali dilakukan. Banyak warga yang salaing berebut hanya untuk mendapatkan uang ratusan ribu. Ada orang yang mampu secara ekonomi tapi mengaku miskin agar dapat BLT. Bahkan ada kepala desa yang dibunuh hanya karena tidak memasukkan warganya ke dalam daftar penerima BLT. Ini tentu menjadi sumber masalah sosial yang lain.
Penggusuran rumah-rumah warga serta Pedagang Kaki Lima (PKL) semakin sering dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan terkadang demi alasan yang tidak logis, demi keindahan dan kenyamanan bersama. Apakah hanya demi alasan keindahan, lalu pemerintah tega menggusur rakyatnya sendiri? Patut kita pertanyakan kembali sebenarnya pemerintah berpihak kepada siapa.
Menurut Ricklefs, desentralisasi telah membatasi kemampuan pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan-persoalan. Namun, pemerintah seharusnya bisa mengambil peran yang strategis dalam mengatasi berbagai persoalan sosial budaya yang terjadi di negeri ini. Francis Fukuyama (1999) mengatakan bahwa pemerintah dapat menciptakan sebuah tatanan sosial melalui wewenang kepolisian dan pendidikan. Tingkat kejahatan dapat turun drastis. Selain untuk mencegah kejahatan, penjagaan keamanan jelas memberi dampak yang penting bagi modal sosial.
Sebagai kesimpulan, secara alami bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Karena kemajemukan tersebut tentu perbedaan menjadi sebuah keniscayaan. Karena itulah seharusnya kita harus mampu mengendalikan diri dan menghargai perbedaan. Kemudian, pemerintah juga harus bersikap tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk mengatasi semua problem sosial budaya di negeri ini. Jangan seperti sekarang, dimana pemerintah justru membuat blunder kebijakan yag justru menjadi sumber masalah.

Tidak ada komentar: