Kamis, 09 Oktober 2008

setelah liburan ini..

Aneh. Suasana itu sungguh aneh. Bayangan ketika melihat pepohonan yang hijau, pohon cemara, pohon mahoni, pohon apapun entah aku kurang begitu paham apa namanya, langit cerah yang berwarna biru muda. Awan berserak putih dengan bermacam-macam bentuknya. Seharusnya aku terbiasa dengan suasana seperti itu. Aku jelas berasal dari desa. Desa terpencil di selatan Jogja. Banyak yang menjuluki (atau mengejek?) dengan sebutan negeri di atas awan. Ya, gunung kidul, desa kelahiran kedua orang tuaku. Tapi entah kenapa ketika hari itu (6/10) bermain (berwisata) ke daerah Sidomukti , Bandungan suasananya terasa aneh. Pergi bersama sahabat, teman-teman semasa SMA, rasanya seperti kembali mengarungi masa lalu yang penuh dengan kenangan indah. Aku senang, meskipun kadang aku merasa cuma seorang fotografer, hahaha.



Rasanya belum pernah aku pergi ke tempat seperti itu. Dengan bukit yang sangat tinggi. Ketika aku berada di atasnya, melihat ke bawah seperti melihat irisan bawang. Ya, berputar-putar tanaman nan hijau memenuhi pandangan. Jauh di sana ada rawa pening, kalau aku tidak salah. Jelas kelihatan gunung merapi, merbabu, entah apalagi. Aku yakin semua orang yang pergi ke tempat ini pasti akan mengaguminya dan melepaskan semua atribut kesombongan yang dimiliki. Maha Besar Allah dengan segala ciptaanNya.

Sempat merasa ketakutan ketika melihat salah satu wahana permainan di tempat ini. Flying Fox, aku biasa mendengar permainan ini tapi sama sekali belum pernah mencobanya. Dari mulai membeli karcis, mengantri di barisan, dan akhirnya memasang tali pengaman, jantung seperti berteriak tak karuan, berdetak dengan sangat kencang. Melihat ke bawah sepertinya kau membayangkan film silvester stallone yang aku lupa apa judulnya. Film itu dimulai ketika silvester gagal menolong istri temannya yang terjebak di tengah tali antara 2 tebing. Dan akhirnya istri temannya itu jatuh dalam jurang yang sangat dalam yang di bawahnya terdapat sungai. Hampir persis seperti itu mungkin gambaran mengenai apa yang aku rasakan. Jelas aku takut, jelas aku kepikiran macam-macam. Bagaimana kalau nanti di tengah-tengah talinya putus. Sudah siapkah aku mati?

Aku belum siap untuk itu. Tapi semuanya berlalu begitu cepat. Aku mulai meluncur. Pertama kali ketika orang yang memasang tali pengaman menyuruh aku menekuk kaki, aku menutup mata rapat-rapat. Membayangkan semua yang aku sayangi. Lalu aku mulai meluncur. Jantung sepertinya sudah ingin loncat dari badanku. Aku pasrah. Jika memang ini akhir hidupku. Semoga Allah mengampuni dosa hambanya ini. Tapi ternyata tidak sesuai pikiran-pikiran jelekku ini. Baru 2-3 meter meluncur, aku berani membuka mata. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Lega, sungguh aku baru bisa melepaskan semua beban pada saat meluncur di atas ketinggian puluhan meter seperti ini. Aku merasa tenang, sangat tenang, sesuatu yang sangat jarang bisa aku rasakan pasca usiaku 17 tahun. Semua beban seperti hilang menguap entah kemana. Lalu aku ayunkan kedua kakiku mencoba menikmati indahnya meluncur di antara 2 bukit yang jaraknya ke tanah mungkin sekitar 100 meter sepertinya. Mungkin juga lebih. Sensasi yang aku rasakan benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku ketagihan. Tapi belum lama aku meluncur ternyata sudah harus berhenti. Sudah sampai di seberang. Turun. Dan aku ingin mencobanya lagi. Bukan sekarang. Tapi nanti pasti aku akan mencobanya lagi. Pasti itu.

Rapelling. Kalau wall climbing kita memanjat dari bawah ke atas, sedangkan ini kita menuruni tebing sedalam kurang lebih 4-0-50 meter. Sama saja yang aku rasakan. Takut pada awalnya. Bahkan jauh lebih takut jika dibandingkan dengan flying fox yang tadi. Dalam bahasa sederhananya, kita hanya pasrah saja ketika bermain flying fox, namun ketika Rapelling benar-benar dibutuhkan keberanian kita. Meskipun ini sangat aman, tentu menakutkan, apalagi bagi seorang pemula seperti aku. Menuruni tebing dengan berdiri miring ke belakang sekitar 45 derajat sangatlah membuat hati seperti kemropok dalam bahasa salah seorang teman lama. Pelan-pelan tim rapellingnya memasang pengaman ke badanku. Aku sudah ketakutan saja. Mulai berjalan, sepertinya kakiku terasa linu, pegal semuanya, mati rasa, mungkin. Aku terpaksa harus melepas sandal jepit yang aku pakai. Terasa licin keringat dingin yang membasahi hampir seluruh badan. Namun aku beranikan diri, seorang mahasiswa tidak boleh takut hanya dalam hal beginian. Pelan-pelan aku turun, mencoba menikmati, meskipun sebenarnya aku benar-benar takut. Tapi aku beranikan diri, aku turun menyusuri tebing yang agak kasar bebatuannya. Apalagi ditambah aku tidak memakai sandal. Padahal di kedua kakiku masih menempel perban obat mata ikan. Agak sakit, tapi sudah sejauh ini, sudah di tengah jalan. Harus diteruskan. Setidaknya aku kemudian bisa menikmatinya. Di bawah sudah menunggu seorang teman yang membawa kamera. Sambil tersenyum puas aku berteriak lega. Tentu sedikit berpose untuk kenang-kenangan. Akhirnya aku bisa melewati tantangan yang sebenarnya aman tersebut.

Belum selesai petualangan hari itu. Jalan-jalan sebentar menikmati indahnya ciptaan Allah. Sungguh luar biasa. Indonesia dianugerahi negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa. Negeri yang dianugerahi keindahan alam seperti ini seharusnya mampu bersyukur. Tidak hanya warga, termasuk pejabat negeri ini harusnya bersyukur. Bukan malah korupsi dan merusak keindahan alam negeri ini demi tujuan meraih keuntungan pribadi semata.

Setelah liburan ini, seharusnya aku bisa lebih kuat dalam menghadapi badai tekanan yang pasti akan menemuiku sebentar lagi. Tekanan yang bertubi-tubi, pasti segera datang. Tinggal aku kuat menghadapinya atau tidak. Apakah aku akan menyetir badai tekanan itu, atau justru aku yang akan terombang-ambing oleh badai yang siap menerjang apapun yang berada di depannya.

Tidak ada komentar: