Sabtu, 26 Maret 2011

Dominasi dan Resistensi di Bangku Sekolah



Judul Buku : Politik Ruang Publik Sekolah
Penulis : Hairus Salim, Najib Kailani, Nikmal Azekiyah
Penerbit : Center for Religious Cross-cultural Studies, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2011
Tebal : 95 halaman
Peresensi : Wisnu Prasetya Utomo

Ruang publik adalah arena terbuka yang tidak hanya bersifat fisik-spasial tetapi juga melingkupi ranah sosial-kultural. Ia menjadi ruang bagi tindakan komunikatif beragam kepentingan untuk berdialog. Melalui dialog inilah demokratisasi bisa terjadi karena adanya pertukaran gagasan dengan bebas. Secara ideal, pertukaran gagasan yang bebas memunculkan keputusan bersama yang tentu saja bermanfaat bagi kepentingan bersama.

Jika kita baca dalam konteks keindonesiaan, ruang publik menjadi sarana deliberatif dalam membicarakan ide-ide tentang Indonesia. Dalam ruang yang diskursif ini, setiap warga negara tanpa memperhatikan latar belakangnya bisa menyampaikan pendapat dalam posisi yang sama dan setara. Ide-ide keindonesiaan pun menjadi tak mudah kering karena terus menerus dibaca ulang. Bukankah ini menjadi penting ketika proses pelapukan identitas keindonesiaan terjadi dengan cepat?

Namun, karena ruang publik merupakan arena yang terbuka, kontestasi perebutan makna publik tak dapat dihindari. Siapa yang memiliki sumber daya paling kuat akan berusaha untuk menguasai, bahkan mendominasi. Kondisi ini terjadi dalam banyak tempat, tak terkecuali di sekolah menengah umum negeri yang menjadi ruang publik siswa dalam dunia pendidikan. Tidak main-main, kecenderungan ini muncul di berbagai daerah di Indonesia bahkan di Yogyakarta yang mendaku dirinya sebagai the city of tolerance.
Buku Politik Ruang Publik Sekolah ini menjelaskan bagaimana kelompok keagamaan dengan cara pandang tertentu begitu mendominasi dalam kehidupan sekolah di Yogyakarta.

Dengan mengambil contoh kasus di 3 SMU Negeri (yang dalam buku ini namanya sengaja disamarkan demi alasan keamanan), Hairus Salim, Najib Kailani, dan Nikmal Azekiyah ingin mengatakan bahwa kecenderungan dominasi ini sungguh berbahaya. SMU Negeri seharusnya menjadi ruang bersama yang mengakomodasi semua ekspresi keragaman. Perjumpaan beragam etnis, agama, dan budaya siswa mesti menjadi sarana awal untuk belajar mengelola keragaman tersebut. (halaman 14)

Dominasi dan Resistensi

Menggunakan pendekatan etnografi, buku ini secara khusus memotret bagaimana proses dominasi terjadi dalam praktik berislam para siswa muslim. Penggunaan hijab di lingkungan ekstrakulikuler, larangan bersentuhan antara siswa laki-laki dan perempuan, sampai pemaksaan pemakaian jilbab menjadi bukti gejala dominasi tersebut (hal 34). Tak pelak, praktik yang dilakukan dengan masif ini memunculkan pengerasan identitas diri para siswa.

Inilah yang membuat kehidupan sekolah menjadi lahan subur bagi persemaian fundamentalisme agama. Dengan demikian, tak perlu heran ketika mengetahui salah satu pelaku bom bunuh diri di Hotel Marriot tahun 2009 lalu adalah remaja yang baru lulus sekolah menengah. Di titik ini kita patut merasa khawatir karena praktik ini menjadi ancaman bagi pluralisme yang menjadi fondasi keindonesiaan. Namun, dominasi memang akan selalu memunculkan resistensi. Inilah yang juga terjadi di SMU di mana praktik dominasi satu kelompok menemui perlawanan-perlawanan dari kelompok lain.

Perlawanan tersebut berlangsung dari yang paling “halus” seperti menolak memakai jilbab, sampai yang paling “kasar” dengan membentuk geng-geng yang secara ideologis bertentangan (hal 48). Di salah satu SMU bahkan terjadi gesekan keras antara “kelompok kanan” dan “kelompok kiri”. “Kelompok kanan” adalah kumpulan siswa yang memegang ajaran agama dengan teguh dan sering diidentikan dengan pengurus Rohis, sementara “kelompok kiri”dilekatkan pada siswa-siswa yang menentang homogenisasi “kelompok kanan”.

Dalam melihat dominasi sekaligus resistensi yang terjadi tersebut, buku ini bisa dikatakan membosankan karena hanya memaparkannya secara deskriptif. Tidak ada upaya untuk melihatnya dengan lebih kritis, misal menelusuri jaringan eksternal yang melakukan penetrasi ke lingkungan sekolah untuk proses kaderisasi. Namun, sebagaimana diniatkan di awal, buku tipis ini setidaknya mampu menjadi kritik sekaligus rekomendasi bagi pemerintah dalam mengelola dunia pendidikan tanah air. Ruang publik sekolah yang demokratis dan tidak diskriminatif menjadi sangat penting sebagai sarana belajar siswa dalam menumbuhkan identitas keindonesiaan. Identitas yang disangga oleh keragaman dan pluralisme, bukan eksklusivitas.

Tidak ada komentar: