Kamis, 10 Maret 2011

Mengapa Saya Menolak KIK?


Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan datang dan mengajak membicarakan isu-isu seputar kampus. Tanpa basa-basi dia bertanya, “Kenapa kamu menolak KIK, Nu? Apa alasanmu? Bukankah KIK itu baik karena dia menjadi instrumen untuk mendukung terwujudnya kampus educopolis?” Dalam kesempatan yang lain, seorang kawan menanyakan pertanyaan yang hampir mirip. “Kalau banyak mahasiswa yang membuat KIK, itu menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak bermasalah dong. Penolakanmu tentu sebuah kesian-siaan. Bahkan cenderung konyol”. Sementara itu kawan yang lain bilang, “Kampus jelas berhak menarik dana dari masyarakat yang melintas area kampus. Sekarang coba pikir, subsidi negara untuk pendidikan semakin sedikit, sementara kampus dituntut untuk menghidupi diri. Jadi, menarik dana dari masyarakat termasuk menarik ongkos parkir menjadi wajar. Jangan naif, Nu!”

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan banyak kawan kepada saya. Tapi tentu tak akan akan saya tuliskan semua di sini. Terlalu banyak. Dan jujur saja saya kewalahan untuk menjawabnya satu per satu. Selain karena terkadang pertanyaan yang diajukan tidak sesuai kapasitas saya (misal : “Emang kamu pernah ngukur tingkat polusi udara di UGM?!!”), jujur saja saya sudah lelah menjawab pertanyaan yang sama dan berulang kali ditanyakan. Jadi dalam konteks ini, kira-kira tulisan ini secara singkat berupaya untuk menjawab (dengan singkat) banyaknya pertanyaan tadi. Saya tak akan menggunakan referensi-referensi layaknya sebuah karya tulis ilmiah, karena ini bukan karya tulis ilmiah. Tulisan ini cuma sebuah uneg-uneg yang berharap untuk mendapat tanggapan. Namanya uneg-uneg, tentu jangan diletakkan dalam logika benar-salah. Oke?

Mengapa saya menolak KIK?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan untuk sejenak flashback ke Agustus 2009. Sebelum sampai muncul nama KIK, awalnya adalah pemasangan portal di kampus. Portalisasi. Dalam surat yang dikirim Rektor UGM kepada milis Majelis Guru Besar, dijelaskan bahwa Pertama, sudah tercatat sejumlah kematian korban lalu lintas kampus UGM. Kedua, sejumlah pelajar memilih janjian tawuran di kampus UGM. Ketiga, transaksi jual beli barang terlarang terjadi di kampus UGM. Keempat, transaksi Pekerja Seks Komersial dilakukan di UGM. Kelima, sejumlah mahasiswa datang dan pergi ke kampus tiap hari dua tiga kali pakai motor dan mobil, menebar polusi di kampus, seharusnya lebih efisien datang pagi, kuliah, ke perpustakaan, pulang sore atau malam, belajar dan beribadah di kampus sepanjang hari, tidak datang dan pergi menebar polusi.

Dari parameter-parameter yang disampaikan rektor tersebut, ini menjadi alasan pertama saya menolak KIK. Bagi saya, jelas TIDAK ADA KORELASI antara penarikan karcis parkir seribu maupun dua ribu rupiah dengan parameter-parameter di atas. Bagaimanapun juga, penarikan ongkos parkir ini jelas menunjukkan upaya untuk melakukan komersialisasi fasilitas kampus. Sepertinya uang SPP dan BOP yang kita bayarkan kepada kampus memang tidak cukup. Mungkin. Kedua, ternyata pasca pemasangan portal, jumlah kejadian asusila, lakalantas, dan kriminal justru semakin meningkat. (baca tulisan ini http://on.fb.me/hSol14 atau lengkapnya bisa dibaca Balkon edisi 127). Ketiga, mari kita simak realita di lapangan. Sekalipun anda punya KIK, apakah setiap melintas pintu keluar UGM, KIK anda dicek dengan detail oleh SKKK? Apakah ada bedanya anda punya KIK atau tidak? Saya tak yakin kawan-kawan akan menganggap bahwa kartu itu berfungsi. Paling-paling Cuma memunculkan trend baru di kalangan mahasiswa UGM, kalung KIK.

Keempat, dengan adanya KIK, mereka yang tidak memiliki kartu ini akan diberikan karcis setiap masuk kampus. Tidakkah ini sebentuk kesia-siaan juga? Untuk diketahui, setiap hari UGM memproduksi lebih dari 5000 sampah karcis. Dan dalam sepuluh hari, UGM mengeluarkan uang sebesar 5 juta untuk produksi karcis tersebut. Ditambah lagi dengan uang sebesar Rp 375.000 yang diberikan kepada pengelola sampah. Ini belum dilihat dari antrean panjang kendaraan yang melintasi jalan tersebut karena harus mengambil karcis terlebih dahulu. Kelima, mahasiswa sama sekali tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan ini. Kalaupun tidak dilibatkan sejak awal, setidaknya ada ruang dialog yang dibuka untuk mendiskusikan implementasi kebijakan ini.

Yang mengherankan, upaya mahasiswa untuk setidaknya mempertanyakan kebijakan ini pun mulai ditanggapi dengan represif dan menunjukkan kepanikan yang tidak perlu dari pejabat kampus. Dalam selebaran berwarna biru yang dikeluarkan Humas dan bercap resmi UGM bulan Agustus 2010, aksi demonstrasi yang digalang Gerakan Tolak Komersialisasi Kampus justru dianggap sebagai Kelompok yang tidak bertanggungjawab dan tidak jelas identitasnya. Kalimat yang digunakan dalam selebaran itu provokatif dan tidak layak dikeluarkan instansi besar seperti Humas UGM. Simak saja kata-kata di akhir selebaran. Mengikuti demo sangatlah memalukan, ibarat mengikuti jalan kancil yang sedang sembunyi, malah tersesat, bingung dan tidak berprestasi. Belum lagi teror lewat telepon dari Dekan di beberapa fakultas kepada mahasiswanya yang mengikuti aksi demonstrasi. Pejabat kampus ini bagaimana?

5 hal tersebut menjadi alasan awal penolakan saya terhadap KIK. Masih banyak alasan lain yang lebih “ilmiah” tapi tidak terlalu menarik ditulis di sini. Lebih menarik jika didiskusikan di warung kopi (dan tentu saja di ruangan rektor karena beliau yang paling suka meminta argumentasi ilmiah dari mahasiswa). Ya kira-kira begitulah. Bagaimana?

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!”
-Wiji Thukul-

Tidak ada komentar: