Senin, 21 November 2011

Merawat Ingatan Keindonesiaan

Bangun tidur dengan hidung bumpet, tenggorokan sakit, dan kepala pusing selalu tidak mengenakkan. Itu yang saya alami pagi ini, senin ketiga di bulan November. Akumulasi rasa lelah yang bertemu dengan cuaca yang sedang labil memang merupakan perpaduan yang pas untuk sakit. Semua orang akan mewajarkan ketika flu, pilek, radang tenggorokan, sampai hidung tersumbat datang pada masa transisi musim kemarau menuju penghujan ini. Wajar, tapi selalu saja itu menyebalkan. Sakit tidak pernah datang tepat waktu. Setidaknya itu pengalaman yang saya alami sepanjang 22 tahun lebih beberapa bulan di muka bumi. Pernah saya masuk rumah sakit ketika SMA dan itu terjadi hanya beberapa minggu menjelang Ujian Akhir Nasional! Siapa yang tidak kesal dengan hal itu?

Kurang lebih dengan situasi yang hampir sama, saat ini adalah saat di mana saya sedang mengerjakan skripsi. Ya kira-kira sama dengan saat-saat UAN. Dan senin ini saya mengagendakan mengerjakan bab 1 sampai seminggu ke depan. Judul sudah disetujui dosen, materi dan bahan untuk menulis sudah ada di tangan. Tinggal mengesktraksikan gagasan yang bertebaran dalam benak dan menuangkan dalam kata-kata. Tapi malang tak dapat ditolak. Tuhan memberi saya sakit. Kesal hanya membuat energi saya terbuang percuma.

Saya putuskan istirahat di kontrakan, sembari menunggu badan fit jadi bisa berteriak sekerasnya ketika nonton bareng final sepakbola SEA GAMES Indonesia vs Malaysia hari ini. Lebih dari sekadar final, ini soal harga diri. Karena itu saya harus memberikan segenap tenaga untuk mendukung perjuangan tim nasional U-23. Daripada tidur, saya pilih untuk menyelesaikan membaca buku “Meraba Indonesia” kepunyaan sahabat yang setia mendampingi “episode-episode menegangkan” dalam pengerjaan skripsi. Sekitar 6-7 jam, saya kunyah tuntas buku setebal 375 halaman ini. Sambil menahan pusing dan ingus yang meler, buku ini mengajak saya untuk mengelilingi Indonesia dan mencintainya dari dekat.

Ya. Buku karya Ahmad Yunus adalah catatan perjalanan keliling Indonesia yang ia lakukan bersama wartawan senior, Farid Gaban. Kurang lebih selama satu tahun, mereka berdua menghabiskan waktu ke daerah-daerah di Indonesia dari ujung barat sampai timur, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Mereka membawa dua motor butut yang digunakan untuk melakukan perjalanan yang mereka namai sebagai Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa ini.

Saya teringat perjalanan Che Guevara mengelilingi Amerika Selatan bersama sahabatnya. Dengan mengendarai motor butut juga, Che melihat secara langsung dan dari dekat realitas kehidupan masyarakat yang ada di depannya. Kemiskinan yang memilukan, diskriminasi terhadap orang miskin yang keterlaluan dan berbagai problem harian lainnya menjadi jalinan pengalaman yang membentuk pribadi seorang Che. Dengan bekal itu, ia menjadi seorang yang revolusioner. Ia merumuskan problematika masyarakat lantas menerjemahkannya dalam tindakan melawan otoritarianisme Batista di Kuba. Hasta la victoria siempre!

Dengan semangat yang sama dengan Che, Ahmad Yunus dan Farid Gaban ingin memahami kecintaan terhadap Indonesia dari dekat, dari narasi orang-orang biasa. Inilah kecintaan yang sejati, kecintaan yang tumbuh dari kenyataan. Kecintaan yang tumbuh bukan dari slogan-slogan kosong nasionalisme, apalagi dari serangkaian pidato kepala negara yang hanya bisa mengucapkan keprihatinan.

Rasa ingin tahu yang besar membuat saya ingin cepat-cepat menuntaskan buku ini. Pusing dan pilek yang sungguh mengganggu ini harus saya lupakan. Kadang saya menyepakati ungkapan seorang senior Balairung. Dia bilang bahwa sakit itu hanya persoalan sugesti pikiran kita sendiri. Baiklah. Biasanya saya menolak pernyataan itu. Tapi pagi ini saya harus menyetujuinya. Demi memahami Indonesia dari dekat.
Saya tidak akan mengungkapkan isi buku itu dengan detail dalam tulisan ini. Karena tulisan ini memang tidak akan membahasa isi buku secara spesifik. Untuk itu saya sudah siapkan resensinya, semoga ada media yang mau memuatnya. Buku ini saya jadikan sebagai tambahan inspirasi atas pengalaman-pengalaman yang pernah saya alami. Tentu dalam kaitannya dengan Indonesia. Tanah tumpah darah.

Dan batin saya menggelegak. Selesai buku ini dibaca, saya merasa pemahaman keindonesiaan saya masih sangat kurang. Jelas saya tidak mengenal negeri ini. Sedari kecil, Indonesia yang saya pahami adalah Indonesia yang baik-baik saja. Nasionalisme saya dulu tumbuh dari upacara demi upacara di sekolah. Kebanggaan saya muncul ketika kedua orang tua mengajak saya mengikuti kampanye Golkar setiap menjelang pemilihan umum. Perubahan sosial politik pasca reformasi pun tidak mengubah pemahaman saya tentang nasionalisme.

Baru ketika kuliah, ketika jendela ilmu pengetahuan dibuka begitu lebar, saya mulai bagaimana sebenarnya Indonesia. Jelas, saat ini ia bukan Indonesia yang pernah dicita-citakan oleh Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Soedirman, dan founding fathers lainnya. Ketika kuliah saya baru paham bahwa Jawa menjadi pusat kekuatan ekonomi politik di Indonesia. Pembangunanisme ala Orde Baru ternyata hanya menguntungkan elite-elite di Jawa, sementara daerah lain dieksploitasi kekayaan alamnya. Dan ketidakadilan menjadi sebuah kewajaran. Atas nama pembangunan, pembunuhan besar-besaran kepada saudara sendiri mendapat pemakluman.

Saya tiba-tiba merasakan keresahan yang susah diungkapkan. Saya harus memahami Indonesia. Bagaimana bisa mencintai jika tidak memahami? Dan buku ini memaksa saya untuk mulai memahami Indonesia (sekali lagi). Terbersit niat untuk menyusul jejak Ahmad Yunus dan berkeliling Indonesia. Tapi kapan waktunya? Berapa modal yang dibutuhkan? Apa yang harus dilakukan? Untuk saat ini, saya tahu itu adalah hal yang tidak mungkin. Karena itu saya harus melakukan cara yang lain. Apa itu? Merawat ingatan. Ya. Mencintai Indonesia juga bisa ditumbuhkan dengan merawat ingatan indah atas pengalaman di masa lampau.

Saya beberapa kali mendapat kesempatan pergi ke daerah-daerah di Indonesia. Saya pernah ke Aceh, Medan, Makassar, Bali, Tanah Toraja, dan juga Buton. Tentu ini belum termasuk berkunjung ke kota-kota di Jawa. Baru beberapa kota memang. Tapi setidaknya ini menjadi bekal awal untuk memahami Indonesia dengan segala problematikanya. Karena itu, dimulai dengan tulisan ini, saya akan mencoba merekam beberapa perjalanan yang pernah saya lakukan. Tentu hanya sejauh ingatan saya mampu merajutnya dengan kata-kata karena beberapa perjalanan sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Mulai hari ini, setiap hari saya akan mencoba menuliskan dan menggunggahnya ke dalam blog. Ia menjadi ikhtiar saya untuk merawat ingatan keindonesiaan. Semoga.

Tidak ada komentar: